Selasa, 18 Oktober 2016


Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara (10)


SYEKH MUHAMMAD NAWAWI AL-BANTANI

Nama aslinya ialah Abu Abdil Mu’thi Muhammad ibn Umar at-Tanari al-Jawi al- Bantani atau Syekh Nawawi al-Bantani. Ia dilahirkan di desa Tanara, wilayah Tirtayasa, Serang, Banten (dulu termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat) Indonesia pada 1230 H/1813 M. Ia adalah keturunan Maulana Sultan Hasanuddin, Sultan Banten yang pertama. Pengggunaan nisbat al-Jawi itu digunakan untuk menyatakan bahwa Syekh Nawawi berasal atau berkebangsaan Jawa. Pada waktu itu Jawa lebih dikenal sebagai layaknya suatu negeri karena secara dejure Indonesia belum ada. Ayahnya bernama ‘Umar bin ‘Arabi, dia adalah seorang penghulu daerah Tanara. Ia mengajar sendiri anak-anaknya dalam ilmu-ilmu keislaman seperti: tauhid, tafsir, nahwu, dan fiqh. Pada umur lima tahun, Syekh Nawawi mulai belajar kepada ayahnya, K.H. umar. Bersama saudara-saudaranya ia belajar bahasa Arab, Ilmu Kalam, Fiqh, dan Tafsir al-Qur’an. Ia juga belajar ilmu agama kepada Haji Sahal, seorang guru yang dihormati di Banten pada masa itu. Dengan niat menuntut ilmu yang tinggi, pergi ke Karawang dimana ia berguru kepada Haji Yusuf, kemudian ke Jawa Timur.
Belajar selama lima tahun di pusat-pusat ilmu di tanah Jawa menjadikan ia sebagai seorang yang memiliki ilmu yang memadai untuk mengajar di Banten, tetapi, ia adalah pribadi yang tidak pernah puas dengan ilmu yang telah diperolehnya. Ketika itu diyakini bahwa keunggulan dalam ilmu agama hanya bisa didapat di Mekkah, maka pada umur lima belas tahun (1828 M), berangkat ke Mekkah untuk belajar ilmu agama yang lebih tinggi sekaligus menunaikan ibadah haji. Mekkah merupakan pusat kebangkitan Islam.  Selama mukim di Mekkah, beliau tinggal di perkemahan Syi’ib Ali, tempat komunitas Jawi banyak menetap. Perkampungan ini terletak kira-kira 500 meter dari Masjidil Haram. Rumahnya bersebelahan dengan rumah Syekh Arsyad dari Betawi dan Syekh Syukur dari Alwan. Syekh Nawawi bermadzhab Syafi’i. Seperti muslim lain dari kepulauan Melayu-Indonesia yang datang ke Mekkah untuk belajar pada masa itu, pertama kali belajar kepada guru sarjana Jawi yang sudah menetap di Mekkah. Pertama kali ia belajar kepada Abdul Ghani dari Bima (NTB), Ahmad Khattib dari Sambas (Kalimantan Barat), dan Ahmad bin Zaid, seorang syekh agen haji asal Solo, Jawa Tengah. Kemudian berguru kepada Ahmad Dimyati (w. 1270 H) dan Ahmad bin ‘Abdul Rahman al-Nahrawi. Lalu ia belajar kepada Ahmad Zaini Dahlan (w. 1304 H), seorang mufti Syafi’iyah di Mekkah pada waktu itu.
Pada saat mengajar murid-muridnya, terutama di Ma’had Nasr al- Ma’arif al-Diniyyah di Masjid al-Haram, Syekh Nawawi dikenal sebagai seorang guru yang baik hati, yang menyampaikan pelajaran secara jelas dan mendalam dan menjalin komunikasi yang baik dengan murid-muridnya. Dalam keadaan belajar, para pelajar bebas memilih guru mana yang mereka sukai, murid-murid Syekh Nawawi berjumlah tidak kurang dari 200 orang. Reputasi Syekh Nawawi menarik banyak Muslim Jawi untuk belajar kepadanya di Mekkah. Murid-murid Syekh Nawawi datang dari berbagai wilayah kepulauan Melayu-Indonesia. tetapi kebanyakan muridnya berasal dari Jawa, terutama Jawa Barat dan Banten.  Ajaran-ajaran Syekh Nawawi pada batas-batas tertentu memberikan inspirasi bagi munculnya gerakan-gerakan oposisi melawan pemerintah kolonial Belanda. Salah satunya pemberontakan Petani di Cilegon, Banten pada tahun 1888 yang dimotori oleh beberapa murid Syekh Nawawi yang belajar di Mekkah.
Diantara murid beliau yang berasal dari Indonesia kemudian menjadi tokoh terkemuka adalah K.H. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Jombang, Jawa Timur (pendiri Nahdlatul Ulama),K.H. Khalil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H. Asnawi dari Carigin, Labuan, Pandeglang, Banten, Kiai Mahfudz Termas, salah seorang ulama terkenal di Mekkah, berasal dari Pondok Pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur, K.H.R. Asnawi Kudus, seorang pemimpin Pesantren al-Qur’an di Kudus, Jawa Tengah,  K.H. Wasith, seorang ulama dan pemimpin pemberontakan Cilegon pada 1888, K.H. Tubagus Ismail, salah seorang tokoh Islam di daerah Banten yang juga turut berjuang dalam pemberontakan Cilegon pimpinan K.H. Wasith,  K.H. Ahmad Dahlan, tokoh dan pendiri organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah. Muhammadiyah berdiri di Yogyakarta pada tahun 1912 Masehi. K.H. Ahmad Dahlan merupakan murid Syekh Nawawi saat berada di Mekkah, dan Kyai Abdussattar ad-Dahlawi, salah seorang murid Syekh Nawawi dari Delhi, India, yang menjadi tokoh Islam di Arab.
Setelah tiga puluh tahun di negeri Arab, beliau pulang ke Tanara, Banten, atas restu guru-gurunya. Sesampainya di Banten, Syekh Nawawi mencoba menyebarluaskan ilmunya melalui santri-santri pesantren orang tuanya, dari para santri itu diharapkan pengetahuan agama Islam akan semakin tersebar luas dan dia juga mengadakan ceramah-ceramah umum di masyarakat sekitarnya. Ceramah-ceramah yang ia lakukan di depan umum mampu menyedot massa dan mampu membangkitkan kesadaran masyarakat untuk bangkit melawan para kolonial. Tetapi situasi politik Banten pada saat itu belum berubah jauh dari saat ditinggalkan. Pihak kolonial Belanda terus menerus melakukan pengawasan terhadap kegiatan keagamaan, tidak terkecuali kegiatan Syekh Nawawi. Kemampuannya memobilisasi massa semakin membuat pihak Belanda ketakutan. Untuk mengurangi pengaruh Syekh Nawawi, pihak Belanda merasa perlu mengadakan cara yang dapat menghalangi kontak antara Syekh Nawawi dan pengikutnya. Akhirnya dengan menggunakan cara kekuatan, ceramah-ceramah Syekh Nawawi diberanguskan dan dibekukan oleh pihak Belanda.
Kondisi diatas membuat Syekh Nawawi merasa tidak leluasa menyebarkan paham keagamaan pada masyarakatnya. Niatan untuk memberantas kebodohan dan ketakutan terhadap kolonial ternyata mendapat ganjalan keras dari pihak kolonial Belanda. Hal ini membuat Nawawi tidak betah tinggal lama-lama di tanah kelahirannya. Setelah kurang lebih tiga tahun dia berada di Banten, Syekh Nawawi berangkat kembali ke Mekkah untuk menimba ilmu.
Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan keputusan Syekh Nawawi meninggalkan tanah air dan memilih menetap di Mekkah. Pertama, karena sudah menjadi sebuah tradisi bagi orang Jawi, dalam hal ini untuk pergi ke Mekkah dengan tujuan melaksanakan ibadah haji dan menuntut ilmu agama, kemudian menikah dan menetap disana. Kedua, berkaitan dengan kondisi Nusantara khususnya Banten yang brada di bawah tekanan pemerintah kolonial Belanda – setelah melihat keadaan yang tidak kondusif di Nusantara, khususnya dalam masalah sosial (pendidikan) memerlukan ruang yang luas dan kebebasan untuk meningkatkan aktivitas kesarjanaannya dan beliau menemukan Mekkah sebagai tempat yang cocok untuk hal tersebut. Ketiga, ia ingin menjaga sebuah tradisi panjang yang dimulai sejak periode Abdul Samad al-Palimbani, dan Syekh Sambas yaitu ia ingin mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengajar komunitas Jawi, yang dari tahun ke tahun jumlahnya terus bertambah, yang hendak menuntut ilmu kepadanya.
Setelah memutuskan untuk menetap di Mekkah, sebagai seorang yang haus akan ilmu pengetahuan, meskipun ia telah dipandang sebagai seorang alim dan maha guru khususnya dikalangan komunitas Jawi, untuk menambah pengusaaan dalam berbagai cabang ilmu keislaman, beliau banyak berguru dan mengadakan rihlah ‘ilmiah (perjalanan untuk menuntut ilmu) ke berbagai daerah di sekitar Mekkah. Hal ini terlihat dari keterangan yang disampaikan oleh salah satu murid terkenal beliau, Abdul Sattar al-Dihlawi (1869 -1936 M), yang mengatakan bahwa beliau pernah pergi ke Madinan untuk belajar hadis kepada Muhammad Khatib Duma al-Hanbali, yang darinya dilaporkan memperoleh Ijazah. Disamping mengunjungi Madinah utnuk menambah perbendaharaan ilmunya, beliau juga pernah pergi ke Syiria dan Mesir, tetapi ia tidak memberikan informasi tentang guru-guru di kedua kota tersebut. Beliau sendiri dalam karyanya Nasha’ih al-‘Ibad menyebutkan bahwa ia juga mendapatkan ijazah dari guru lain, Sayyid Ahmad al-Marsafi al-Misri, yang dari namanya bisa diketahui bahwa beliau adalah seorang ulama yang berasal dari Mesir. Tetapi meskipun demikian, belum bisa diyakini apakah beliau memang pernah belajar kepada al-Marsafi di Mekkah atau kota lain di Hijaz. Namun, ada informasi yang mengatakan bahwa ia memang pernah mengadakan perjalanan ke Mesir. Disebutkan pada tahun 1870, bahwa Syekh Nawawi menerima undangan dari para ulama Universitas al-Azhar Cairo untuk memberikan kuliah umum di suatu forum diskusi ilmiah dengan tujuan mendengarkan secara langsung dari beliau terkait dengan banyaknya karya-karya beliau yang telah tersebar di Mesir pada waktu itu.
Perjalanan Syekh Nawawi yang ditemani muridnya Muhammad Yusuf ke Mesir ini, mengindikasikan adanya kontak intelektual antara Mekkah dengan dinamika gejolak pemikiran yang terjadi di negeri tersebut.  Syekh Nawawi memilih Syekh Sumbulanewi asal Kairo sebagai guru utamanya di Kairo.  Sebagai salah seorang ulama yang memiliki pengaruh luas di tanah Hijaz pada waktu itu, setiap forum pengajian yang beliau adakan selalu mendapat respon yang baik dari para penuntut ilmu. Setiap kali Syekh Nawawi mengajar di Masjidil Haram terdapat sekitar dua ratus murid dan anak didiknya yang selalu setia menghadiri perkuliahan yang ia beri.
Syekh Nawawi juga menggunakan waktunya untuk menulis berbagai kitab. Lantaran karyanya yang terbilang cukup banyak, Syekh Nawawi sering disebut-sebut sebagai pengarang produktif. Karya beliau berjumlah 115 kitab. Dari keseluruhan kitab tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu, diantaranya tafsir, fiqh, hadits, sejarah, tauhid, akhlak, tasawuf, dan ilmu bahasa. Karangan-karangan Syekh Nawawi semuanya berbahasa Arab, sehingga nama pengarangnya dapat terkenal sampai ke Mesir, Syam, Turki dan Hindustan. Malah ia pernah diundang ke Mesir dan disambut oleh para ulamanya dengan sambutan yang mulia.
Produktivitas Nawawi dalam menulis kitab memang hampir-hampir tak terbendung. Seorang murid Nawawi bernama Syekh Abdus Satar ad-Dahlawi menceritakan, salah satu keistimewaan Nawawi adalah kemampuannya mengarang kitab sambil mengajar. Ketika dia mengajar para murid-muridnya, di tengah-tengah itu pula beliau menuliskan karya-karyanya. Puluhan sampai ratusan kitab yang lahir dari tangannya itu juga terdiri dari beragam kajian dan pembahasan. Karya Nawawi meliputi delapan cabang utama ilmu keislaman, yakin tafsir, fikih, ushuluddin, tasawuf, biografi Nabi, tata bahasa Arab, dan retorika. Karangan Syekh Nawawi pada umumnya memberikan pembahasan dan penjelasan beberapa kitab yang ditulis oleh para guru dan ulama sebelumnya, hanya kitab tafsirnya Tafsir Munir, yang murni merupakan hasil karyanya (pemikirannya) sendiri.
Diantara sebagian karya beliau adalah:
As-Simar al-Yani’at, Syarh ‘ala Riyadh al-Badi’at, kitab fiqh ini merupakan komentar terhadap karya Syekh Muhammad Hasbullah. Tanqih al-Qaul al-Hatsis, Syarh ‘ala Lubab al-Hadits, kitab yang membahas empat puluh hadits tentang perilaku utama ini merupakan ulasan terhadap karya Imam Jalaluddin asy-Suyuthi. At-Tausyih, Syarh ‘ala Fatkhu al-Qarib al-Mujib, kitab fiqh ini merupakan komentar terhadap karya Ibn Qasim al-Ghazi. Nur az-Zhalam, Syarh ‘ala Manzhumah bi Aqidah al-Awwam, kitab tauhid ini merupakan komentar terhadap karya Sayyid Ahmad Marzuki al-Makki. Tafsir al-Munir li Muallim at-Tanzil (Murah al-labid li Kasyfi ma’na Qur’an al-Majid), kitab ini adalah tafsir al-Qur’an 30 juz yang terdiri dari dua jilid besar. Jilid I terdiri dari 510 Halaman, sedangkan jilid II terdiri dari 476 halaman. Kitab ini merupakan karya terbesar Syekh Nawawi dan lantaran kitab ini pula beliau mendapat predikat Sayyid Ulama Hijaz (Penghulu Ulama Hijaz), dan masih banyak kitab lainnya.
      Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Mekkah pada tanggal 25 Syawal 1314 H / 1897 M dan dimakamkan di perkuburan Ma’la (Mekkah) berdekatan dengan makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa, khususnya di Banten, umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawal diadakan acara haul (memperingati 100 hari) untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi al-Bantani. Beliau wafat pada saat sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan kitab Minhaj al-Talibin karya Yahya ibn Syaraf ibn Mura ibn Hasan ibn Husain.


1 komentar:

  1. Assalamu Alaikum Wr Wb
    Ada nggak info tentang Syech Alwan Al Bantani, terima kasih.

    BalasHapus