Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara
SYEKH MUHAMMAD NAWAWI AL-BANTANI
Nama aslinya ialah Abu Abdil Mu’thi Muhammad
ibn Umar at-Tanari al-Jawi al- Bantani atau Syekh Nawawi al-Bantani. Ia dilahirkan
di desa Tanara, wilayah Tirtayasa, Serang, Banten (dulu termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat)
Indonesia pada 1230 H/1813 M. Ia adalah keturunan Maulana Sultan Hasanuddin,
Sultan Banten yang pertama. Pengggunaan nisbat al-Jawi itu digunakan untuk
menyatakan bahwa Syekh Nawawi berasal atau berkebangsaan Jawa. Pada waktu itu
Jawa lebih dikenal sebagai layaknya suatu negeri karena secara dejure Indonesia
belum ada. Ayahnya bernama ‘Umar bin ‘Arabi, dia adalah seorang penghulu daerah
Tanara. Ia mengajar sendiri anak-anaknya dalam ilmu-ilmu keislaman
seperti: tauhid, tafsir, nahwu, dan fiqh. Pada umur lima tahun, Syekh Nawawi
mulai belajar kepada ayahnya, K.H. umar. Bersama saudara-saudaranya ia belajar bahasa
Arab, Ilmu Kalam, Fiqh, dan Tafsir al-Qur’an. Ia juga belajar ilmu agama
kepada Haji Sahal, seorang guru yang dihormati di Banten pada masa itu.
Dengan niat menuntut ilmu yang tinggi, pergi ke Karawang dimana ia berguru kepada
Haji Yusuf, kemudian ke Jawa Timur.
Belajar selama lima tahun di pusat-pusat ilmu di tanah Jawa menjadikan ia
sebagai seorang yang memiliki ilmu yang memadai untuk mengajar di Banten,
tetapi, ia adalah pribadi yang tidak pernah puas dengan ilmu yang telah
diperolehnya. Ketika itu diyakini bahwa keunggulan dalam ilmu agama hanya bisa
didapat di Mekkah, maka pada umur lima belas tahun (1828 M), berangkat ke
Mekkah untuk belajar ilmu agama yang lebih tinggi sekaligus menunaikan ibadah
haji. Mekkah merupakan pusat kebangkitan Islam. Selama mukim di Mekkah, beliau tinggal di
perkemahan Syi’ib Ali, tempat komunitas Jawi banyak menetap. Perkampungan
ini terletak kira-kira 500 meter dari Masjidil Haram. Rumahnya
bersebelahan dengan rumah Syekh Arsyad dari Betawi dan
Syekh Syukur dari Alwan. Syekh Nawawi bermadzhab Syafi’i. Seperti
muslim lain dari kepulauan Melayu-Indonesia yang datang ke Mekkah untuk belajar
pada masa itu, pertama kali belajar kepada guru sarjana Jawi yang sudah
menetap di Mekkah. Pertama kali ia belajar kepada Abdul Ghani dari Bima (NTB),
Ahmad Khattib dari Sambas (Kalimantan Barat), dan Ahmad bin Zaid, seorang syekh
agen haji asal Solo, Jawa Tengah. Kemudian berguru kepada Ahmad Dimyati (w. 1270 H) dan Ahmad
bin ‘Abdul Rahman al-Nahrawi. Lalu ia belajar kepada Ahmad Zaini
Dahlan (w. 1304 H), seorang mufti Syafi’iyah di Mekkah pada waktu itu.
Pada saat mengajar murid-muridnya, terutama di Ma’had Nasr al- Ma’arif
al-Diniyyah di Masjid al-Haram, Syekh Nawawi dikenal sebagai seorang guru yang
baik hati, yang menyampaikan pelajaran secara jelas dan mendalam dan menjalin
komunikasi yang baik dengan murid-muridnya. Dalam keadaan belajar, para pelajar
bebas memilih guru mana yang mereka sukai, murid-murid Syekh Nawawi berjumlah
tidak kurang dari 200 orang. Reputasi Syekh Nawawi menarik banyak Muslim Jawi untuk belajar kepadanya
di Mekkah. Murid-murid Syekh Nawawi datang dari berbagai wilayah
kepulauan Melayu-Indonesia. tetapi kebanyakan muridnya berasal dari
Jawa, terutama Jawa Barat dan Banten. Ajaran-ajaran
Syekh Nawawi pada batas-batas tertentu memberikan inspirasi bagi
munculnya gerakan-gerakan oposisi melawan pemerintah kolonial
Belanda. Salah satunya pemberontakan Petani di Cilegon, Banten pada
tahun 1888 yang dimotori oleh beberapa murid Syekh Nawawi yang belajar di Mekkah.
Diantara murid beliau yang berasal dari Indonesia kemudian menjadi tokoh
terkemuka adalah K.H. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Jombang, Jawa Timur
(pendiri Nahdlatul Ulama),K.H. Khalil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H.
Asnawi dari Carigin, Labuan, Pandeglang, Banten, Kiai Mahfudz Termas, salah
seorang ulama terkenal di Mekkah, berasal dari Pondok Pesantren Termas,
Pacitan, Jawa Timur, K.H.R. Asnawi Kudus, seorang pemimpin Pesantren al-Qur’an
di Kudus, Jawa Tengah, K.H. Wasith,
seorang ulama dan pemimpin pemberontakan Cilegon pada 1888, K.H. Tubagus
Ismail, salah seorang tokoh Islam di daerah Banten yang juga turut berjuang
dalam pemberontakan Cilegon pimpinan K.H. Wasith, K.H. Ahmad Dahlan, tokoh dan pendiri
organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah. Muhammadiyah berdiri di Yogyakarta
pada tahun 1912 Masehi. K.H. Ahmad Dahlan merupakan murid Syekh Nawawi saat
berada di Mekkah, dan Kyai Abdussattar ad-Dahlawi, salah seorang murid Syekh
Nawawi dari Delhi, India, yang menjadi tokoh Islam di Arab.
Setelah tiga
puluh tahun di negeri Arab, beliau pulang ke Tanara, Banten,
atas restu guru-gurunya. Sesampainya di Banten, Syekh Nawawi mencoba
menyebarluaskan ilmunya melalui santri-santri pesantren orang tuanya,
dari para santri itu diharapkan pengetahuan agama Islam akan semakin
tersebar luas dan dia juga mengadakan ceramah-ceramah umum di masyarakat
sekitarnya. Ceramah-ceramah yang ia lakukan di depan umum mampu
menyedot massa dan mampu membangkitkan kesadaran masyarakat untuk
bangkit melawan para kolonial. Tetapi situasi politik Banten pada saat itu belum berubah jauh dari saat
ditinggalkan. Pihak kolonial Belanda terus menerus melakukan pengawasan
terhadap kegiatan keagamaan, tidak terkecuali kegiatan Syekh Nawawi.
Kemampuannya memobilisasi massa semakin membuat pihak Belanda
ketakutan. Untuk mengurangi pengaruh Syekh Nawawi, pihak Belanda
merasa perlu mengadakan cara yang dapat menghalangi kontak antara
Syekh Nawawi dan pengikutnya. Akhirnya dengan menggunakan cara
kekuatan, ceramah-ceramah Syekh Nawawi diberanguskan dan dibekukan
oleh pihak Belanda.
Kondisi diatas
membuat Syekh Nawawi merasa tidak leluasa menyebarkan paham keagamaan pada masyarakatnya. Niatan untuk memberantas
kebodohan dan ketakutan terhadap kolonial ternyata mendapat ganjalan
keras dari pihak kolonial Belanda. Hal ini membuat Nawawi tidak betah
tinggal lama-lama di tanah kelahirannya. Setelah kurang lebih
tiga tahun dia berada di Banten, Syekh Nawawi berangkat kembali ke
Mekkah untuk menimba ilmu.
Ada beberapa
alasan yang dapat menjelaskan keputusan Syekh Nawawi
meninggalkan tanah air dan memilih menetap di Mekkah. Pertama, karena
sudah menjadi sebuah tradisi bagi orang Jawi, dalam hal ini untuk pergi
ke Mekkah dengan tujuan melaksanakan ibadah haji dan menuntut ilmu
agama, kemudian menikah dan menetap disana. Kedua, berkaitan dengan
kondisi Nusantara khususnya Banten yang brada di bawah tekanan pemerintah
kolonial Belanda – setelah melihat keadaan yang tidak kondusif di
Nusantara, khususnya dalam masalah sosial (pendidikan) memerlukan ruang
yang luas dan kebebasan untuk meningkatkan aktivitas kesarjanaannya
dan beliau menemukan Mekkah sebagai tempat yang cocok untuk
hal tersebut. Ketiga, ia ingin menjaga sebuah tradisi panjang yang dimulai
sejak periode Abdul Samad al-Palimbani, dan Syekh Sambas yaitu
ia ingin mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengajar komunitas Jawi, yang dari
tahun ke tahun jumlahnya terus bertambah, yang hendak menuntut
ilmu kepadanya.
Setelah memutuskan untuk menetap di Mekkah, sebagai seorang yang haus akan
ilmu pengetahuan, meskipun ia telah dipandang sebagai seorang alim dan maha
guru khususnya dikalangan komunitas Jawi, untuk menambah pengusaaan
dalam berbagai cabang ilmu keislaman, beliau banyak berguru dan mengadakan rihlah
‘ilmiah (perjalanan untuk menuntut ilmu) ke berbagai daerah di sekitar
Mekkah. Hal ini terlihat dari keterangan yang disampaikan oleh salah satu murid
terkenal beliau, Abdul Sattar al-Dihlawi (1869 -1936 M), yang mengatakan bahwa
beliau pernah pergi ke Madinan untuk belajar hadis kepada Muhammad Khatib Duma
al-Hanbali, yang darinya dilaporkan memperoleh Ijazah. Disamping
mengunjungi Madinah utnuk menambah perbendaharaan ilmunya, beliau juga pernah
pergi ke Syiria dan Mesir, tetapi ia tidak memberikan informasi tentang
guru-guru di kedua kota tersebut. Beliau sendiri dalam karyanya Nasha’ih
al-‘Ibad menyebutkan bahwa ia juga mendapatkan ijazah dari guru lain,
Sayyid Ahmad al-Marsafi al-Misri, yang dari namanya bisa diketahui bahwa beliau
adalah seorang ulama yang berasal dari Mesir. Tetapi meskipun demikian, belum
bisa diyakini apakah beliau memang pernah belajar kepada al-Marsafi di Mekkah
atau kota lain di Hijaz. Namun, ada informasi yang mengatakan bahwa ia memang pernah mengadakan
perjalanan ke Mesir. Disebutkan pada tahun 1870, bahwa Syekh
Nawawi menerima undangan dari para ulama Universitas al-Azhar Cairo
untuk memberikan kuliah umum di suatu forum diskusi ilmiah dengan tujuan
mendengarkan secara langsung dari beliau terkait dengan banyaknya karya-karya
beliau yang telah tersebar di Mesir pada waktu itu.
Perjalanan Syekh Nawawi yang ditemani muridnya Muhammad Yusuf ke Mesir ini,
mengindikasikan adanya kontak intelektual antara Mekkah dengan dinamika gejolak
pemikiran yang terjadi di negeri tersebut.
Syekh Nawawi memilih Syekh Sumbulanewi asal Kairo sebagai guru utamanya
di Kairo. Sebagai salah seorang ulama
yang memiliki pengaruh luas di tanah Hijaz pada waktu itu, setiap forum
pengajian yang beliau adakan selalu mendapat respon yang baik dari para
penuntut ilmu. Setiap kali Syekh Nawawi mengajar di Masjidil Haram terdapat
sekitar dua ratus murid dan anak didiknya yang selalu setia menghadiri
perkuliahan yang ia beri.
Syekh Nawawi
juga menggunakan waktunya untuk menulis berbagai kitab. Lantaran karyanya yang terbilang cukup
banyak, Syekh Nawawi sering disebut-sebut sebagai pengarang produktif. Karya beliau berjumlah 115 kitab. Dari keseluruhan kitab tersebut terdiri dari
berbagai disiplin ilmu, diantaranya tafsir, fiqh, hadits, sejarah, tauhid, akhlak,
tasawuf, dan ilmu bahasa. Karangan-karangan Syekh Nawawi semuanya berbahasa Arab, sehingga
nama pengarangnya dapat terkenal sampai ke Mesir, Syam, Turki dan
Hindustan. Malah ia pernah diundang ke Mesir dan disambut oleh para ulamanya
dengan sambutan yang mulia.
Produktivitas Nawawi dalam menulis kitab memang hampir-hampir tak
terbendung. Seorang murid Nawawi bernama Syekh Abdus Satar ad-Dahlawi menceritakan,
salah satu keistimewaan Nawawi adalah kemampuannya mengarang kitab sambil
mengajar. Ketika dia mengajar para murid-muridnya, di tengah-tengah itu pula
beliau menuliskan karya-karyanya. Puluhan sampai ratusan kitab yang lahir dari
tangannya itu juga terdiri dari beragam kajian dan pembahasan. Karya Nawawi
meliputi delapan cabang utama ilmu keislaman, yakin tafsir, fikih, ushuluddin,
tasawuf, biografi Nabi, tata bahasa Arab, dan retorika. Karangan Syekh Nawawi
pada umumnya memberikan pembahasan dan penjelasan beberapa kitab yang ditulis
oleh para guru dan ulama sebelumnya, hanya kitab tafsirnya Tafsir Munir, yang
murni merupakan hasil karyanya (pemikirannya) sendiri.
Diantara sebagian karya beliau adalah:
As-Simar al-Yani’at, Syarh ‘ala Riyadh al-Badi’at, kitab fiqh ini merupakan komentar terhadap karya Syekh Muhammad Hasbullah. Tanqih
al-Qaul al-Hatsis, Syarh ‘ala Lubab al-Hadits, kitab yang membahas empat
puluh hadits tentang perilaku utama ini merupakan ulasan terhadap karya Imam
Jalaluddin asy-Suyuthi. At-Tausyih, Syarh ‘ala Fatkhu al-Qarib al-Mujib, kitab
fiqh ini merupakan komentar terhadap karya Ibn Qasim al-Ghazi. Nur
az-Zhalam, Syarh ‘ala Manzhumah bi Aqidah al-Awwam, kitab tauhid ini
merupakan komentar terhadap karya Sayyid Ahmad Marzuki al-Makki. Tafsir
al-Munir li Muallim at-Tanzil (Murah al-labid li Kasyfi ma’na Qur’an al-Majid),
kitab ini adalah tafsir al-Qur’an 30 juz yang terdiri dari dua jilid besar.
Jilid I terdiri dari 510 Halaman, sedangkan jilid II terdiri dari 476 halaman.
Kitab ini merupakan karya terbesar Syekh Nawawi dan lantaran kitab ini pula
beliau mendapat predikat Sayyid Ulama Hijaz (Penghulu Ulama Hijaz), dan masih
banyak kitab lainnya.
Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia
84 tahun di Mekkah pada tanggal 25 Syawal 1314 H / 1897 M dan dimakamkan di
perkuburan Ma’la (Mekkah) berdekatan dengan makam Siti Khadijah, Ummul
Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa,
khususnya di Banten, umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun
di hari Jum’at terakhir bulan Syawal diadakan acara haul (memperingati
100 hari) untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi al-Bantani. Beliau
wafat pada saat sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan
kitab Minhaj al-Talibin karya Yahya ibn Syaraf ibn Mura ibn Hasan ibn
Husain.
Assalamu Alaikum Wr Wb
BalasHapusAda nggak info tentang Syech Alwan Al Bantani, terima kasih.