Ulama
Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara (13)
K.H AHMAD DAHLAN
Ahmad Dahlan
dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis, anak
dari seorang Kyai Haji Abubakar bin Kyai Sulaiman, khatib di masjid sulthan
kota itu. Ibunya
adalah Siti Aminah binti Kyai Haji Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Muhammad Darwis adalah anak ke empat dari tujuh bersaudara. Adapun
saudara Muhammad Darwis menurut urutannya adalah: (1) Nyai Chatib Arum, (2)
Nyai Muhsinah (Nyai Nur), (3) Nyai H. Sholeh, (4) M. Darwis (K.H.A. Dahlan),
(5) Nyai Abdurrahman, (6) Nyai H. Muhammad Fekih (Ibu H. Ahmad Badawi), dan (7)
Muhammad Basir.
Muhammad Darwis lahir dan dibesarkan di daerah Yogyakarta, yang terkenal
dengan nama kampung Kauman. Kauman secara populer kemudian menjadi nama dari
setiap daerah yang berdekatan letaknya dengan masjid, dan kampung
Kauman dikenal anti dengan penjajah. Suasana seperti ini tidak memungkinkan bagi Muhammad Darwis untuk
memasuki sekolah yang dikelola oleh pemerintah penjajah. Pada waktu itu
siapa yang memasuki sekolah Gubernamen, yaitu sekolah yang diselenggarakan
oleh pemerintah jajahan, dianggap kafir atau kristen. Sebab itu
Muhammad Darwis tidak menuntut ilmu pada sekolah Gubernamen, ia mendapatkan
pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan dari ayahnya sendiri.
Setelah
menginjak dewasa, Muhammad Darwis mulai membuka kebetan kitab mengaji
kepada K.H. Muhammad Saleh dalam bidang pelajaran ilmu Fiqih dan kepada K.H.
Muhsin dalam bidang ilmu Nahwu. Kedua guru tersebut, merupakan kakak ipar yang rumahnya berdampingan dalam
satu komplek. Sedangkan pelajaran yang lain berguru kepada ayahnya
sendiri, juga berguru kepada K.H. Muhammad Noor bin K.H. Fadlil, Hoofd Panghulu Hakim
Kota Yogyakarta dan K.H. Abdulhamid di Kampung Lempuyang Wangi
Yogyakarta.
Selain itu
Muhammad Darwis juga berguru kepada beberapa guru, diantaranya: belajar ilmu
fikih kepada kiyai Haji Muhammad Shaleh, belajar ilmu nahwu kepada K.H. Muhsin,
ilmu falak kepada Kiyai Raden Haji
Dahlan, ilmu hadis kepada Kyai Mahfudh dan Syaikh Khayyat, ilmu Qiraah
kepada Syaikh Amin dan Syaikh Bakri Satock. Guru-guru Muhammad Darwis
lain yang bisa disebut adalah: Kyai Haji Abdul Khamid, Kyai Haji Muhammad
Nur, Syaikh Hasan, dan lain-lain.
Ketika masa dewasa (tahun 1890) K.H Ahmad Dahlan menunaikan ibadah
haji ke Makkah. Di Makkah beliau tidak hanya menunaikan ibadah haji
saja, tetapi juga memperluas pengetahuannya dengan berguru selama setahun kepada para Alim Ulama’ Indonesia yang sudah bermukim disana seperti; K.H. Mahfudz
dari Termas, K.H. Nakhrawi (Muhtaram) dari Banyumas, K.H. Muhammmad
Nawawi dari Bantan, serta kepada para alim ulama’ Makkah yang
sudah dikenalnya di Jawa. Salah seorang gurunya adalah Syaikh Ahmad
Khatib. Dalam kesempatan itu seorang gurunya bernama Sayyid Bakri Syatha
memberikan nama baru kepada Muhammad Darwis, yaitu Ahmad Dahlan.
Selepas pulang
dari Makkah, K.H. Ahmad Dahlan mengajar dan berjuang ditanah kelahirannya.
Sekitar tahun 1898, Ahmad Dahlan berhasil menghimpun para alim ulama’ dari kota
Yogyakarta dan sekitarnya untuk membicarakan hal arah kiblat. Ada sekitar 20
orang yang hadir dalam musyawarah di surau Ahmad Dahlan,
pertemuan tersebut hanya merupakan forum tukar pikiran saja, tidak menetapkan
suatu apapun. Ternyata pikiran Ahmad Dahlan yang belum mencapai
kata sepakat dikalangan para ulama’, telah cukup berpengaruh dikalangan
generasi muda daerah Kauman. Babarapa hari setelah musyawarah
itu selesai, terjadilah hal yang cukup menggemparkan karena lantai
masjid Agung Kauman digaris dengan kapur yang menunjuk kearah barat
laut. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam
masjid. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan
bahwa kiblat dimasjid agung itu kurang benar, dan oleh karena itu
harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid agung dengan
cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid dan tanda shaf yang
ditulis dengan benar. Ahmad Dahlan kemudian mendirikan langgar pribadi yang dibangun tepat
menghadap kiblat. Akan tetapi langgar tersebut dirobohkan. Kemudian ia
mendirikan lagi langgar yang persis menghadap kebarat dan lantainya diberi
tanda shaf yang tepat menghadap kearah Makkah.
Sesudah
peristiwa ini, sekitar tahun 1903 beliau kembali ke Makkah bersama putranya
yang baru berumur 6 tahun (Muhammad Siradj) untuk menuntut ilmu dan
melaksanakan haji untuk kedua kalinya dan memeperdalam agama selama dua tahun.
Disana beliau berguru kepada beberapa guru spesialis, dalam ilmu fiqih
berguru kepada Kyai Machful Tremas, Kyai Muhtaram Banyumas, Syeikh Shaleh
Bafadhal, Syeikh Sa’id Jamani, Syeikh Sa’id Babusyel. Dalam ilmu hadish berguru
kepada Mufti Syafi’i. Kiyai Asy’ari Baweyan dalam ilmu Falak (Cakrawala) dan
Syaikh Ali Mishri Makkah dalam ilmu Qira’at.
Selain belajar
kepada guru spesialis, K.H. Ahmad Dahlan juga membaca kitab-kitab berjiwa tamaddun
dari luar negeri, diantaranya tafsir Qur’an Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh
Jamaluddin al-Afgani, Imam Ghazali, Rasyid Ridla, Thantawi Jauhari dan
lain-lain sebagainya. Yang tentu saja kitab-kitab itu tidak ditelaah mentah-mentah tetapi difahami
dengan sesempurna-sempurnanya. Akitab-kitab inilah yang kemudian hari menginspirasi
K.H. Ahmad Dahlan dalam memperjuangkan kemurnian Islam di
Indonesia.
Penting sekali dicatat bahwa dalam kepergian kedua kali di Makkah ini,
Ahmad Dahlan sempat berjumpa dengan Rasyid Ridha, tokoh pembaharuan
Islam di Mesir. Perjumpaannya dan dialog dengan Rasyid Ridha
ini memberikan pengaruh yang kuat terhadap pemikiran Ahmad Dahlan,
karena pandangan para pembaharu Islam itu menitikberatkan pada pemurnian
tauhid (keesaan Allah), tidak beriman secara taklid (secara membabi buta percaya kepada keterangan seseorang tanpa mengetahui landasan
yang primer); yang selama ini juga dipikirkan oleh Ahmad Dahlan. Selain
pertemuan yang sangat bermanfaat dengan para tokoh pembaharu, beliau
juga membaca dan menelaah berbagai kitab. Dan
kitab-kitab yang menjadi kegemaran dan mengilhami beliau adalah kitab karya
Syekh Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyyah, Rasyid Ridha dan Farid Wajdi.
Sekembalinya
dari Makkah Ahmad Dahlan diangkat sebagai khatib menggantikan ayahnya, dan mendapat
gelar “Mas”. Dengan demikian, dia sudah masuk kelompok kaum bangsawan
atau ningrat, meskipun pada strata yang rendah. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Ahmad Dahlan berdagang
kain. Oleh karena itu, dia sering bepergian dan mengadakan hubungan
dagang pedagang lain, termasuk dengan sejumlah pedagang arab. Selain
berdagang, pada hari-hari tertentu ia memberikan pengajian kepada beberapa
kelompok orang, terutama pada sekelompok murid pendidikan guru pribumi
di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan madrasah dengan
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam lingkungan
keraton Yogyakarta. Di sekolah ini pelajaran umum diberikan oleh beberapa
guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan Gubernemen. Sekolah ini
dapat dikatakan sebagai sekolah Islam swasta pertama yang memenuhi persyaratan
untuk mendapatkan subsidi pemerintah dan kemudian memenuhi subsidi
tersebut. Ahmad Dahlan adalah seorang yang lebih bersifat pragmatikus yang sering
menekankan semboyan kepada murid-muridnya, sedikit bicara, banyak bekerja.
Dia juga salah seorang murid ulama Syafi’iyah, Syeikh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi yang terkenal dimakkah. Ahmad Dahlan banyak membaca buku-buku dan
majalah-majalah agama dan umum, banyak bergaul dengan berbagai kalangan,
selama perjalanannya, terutama dengan orang-orang
Arab, sehingga ide-idennya bertambah dan berkembang terus menerus.
Untuk membangun
upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, Dahlan gigih membina angkatan
muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga
untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa
ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat
Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas
gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon
pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru
yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh
pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut. Dengan
mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera
memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai
pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon
guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang
gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh
karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan
Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat
(Kweekschool Putri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa
menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Di samping
aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia
juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab
pada keluarganya. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan
yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi
entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat. Sebagai seorang yang
aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang,
Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat,
sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam’iyatul
Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad
Saw.
Pada tahun
1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan
cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan
suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam.
Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan
Al-Qur’an dan Al-Hadis. Perkumpulan ini berdiri pada tanggal 18 Nopember 1912.
Sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik
tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Di bidang pendidikan,
Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang
menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran
mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Kiai
Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan
umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S.
met de Qur'an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada
sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah.
Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid,
langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah
pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran
pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa
semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau
juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang
berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan
tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran
ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan Kejawen.
Di bidang
organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus
untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian
dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam
hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara
untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang dikenal
dengan nama Pramuka - dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para
pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi,
dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam,
mirip Pramuka sekarang. Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai
tempat pendidikan para pemuda yang merupakan bunga harapan agama dan bangsa.
Sebagai tempat persemaian kader-kader terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa
Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak ketinggalan zaman,
namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman.
Karena semua
pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang ada
saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang
Kiai sering diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran
binatang. Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan
resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai
fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak
mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai
palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam
tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun
rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk
melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa
mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20
Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia
Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada
tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914.
Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh
bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul
kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya
dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti
Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri Cabang
Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah
Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka K.H. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan
menganjurkan agar Cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain,
misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan di Garut dengan
nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh
Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari Cabang Muhammadiyah. Di dalam kota
Yogyakarta sendiri, Ahmad Dahlan menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan
untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Perkumpulan-perkumpulan dan Jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya
Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub,
Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri,
Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Gagasan
pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan
tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang
dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari
masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain
berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah.
Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh
karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada
pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di
seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda
pada tanggal 2 September 1921.
Pada usia 54
tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di
Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman,
wilayah bernama Mergangsan di Yogyakarta. Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan
dalam mem-bangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan
pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan
Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar