Rabu, 19 Oktober 2016

                  Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara(13)
                       

K.H AHMAD DAHLAN

Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis, anak dari seorang Kyai Haji Abubakar bin Kyai Sulaiman, khatib di masjid sulthan kota itu. Ibunya adalah Siti Aminah binti Kyai Haji Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Muhammad Darwis adalah anak ke empat dari tujuh bersaudara. Adapun saudara Muhammad Darwis menurut urutannya adalah: (1) Nyai Chatib Arum, (2) Nyai Muhsinah (Nyai Nur), (3) Nyai H. Sholeh, (4) M. Darwis (K.H.A. Dahlan), (5) Nyai Abdurrahman, (6) Nyai H. Muhammad Fekih (Ibu H. Ahmad Badawi), dan (7) Muhammad Basir.
Muhammad Darwis lahir dan dibesarkan di daerah Yogyakarta, yang terkenal dengan nama kampung Kauman. Kauman secara populer kemudian menjadi nama dari setiap daerah yang berdekatan letaknya dengan masjid, dan kampung Kauman dikenal anti dengan penjajah. Suasana seperti ini tidak memungkinkan bagi Muhammad Darwis untuk memasuki sekolah yang dikelola oleh pemerintah penjajah. Pada waktu itu siapa yang memasuki sekolah Gubernamen, yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah jajahan, dianggap kafir atau kristen. Sebab itu Muhammad Darwis tidak menuntut ilmu pada sekolah Gubernamen, ia mendapatkan pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan dari ayahnya sendiri.
Setelah menginjak dewasa, Muhammad Darwis mulai membuka kebetan kitab mengaji kepada K.H. Muhammad Saleh dalam bidang pelajaran ilmu Fiqih dan kepada K.H. Muhsin dalam bidang ilmu Nahwu. Kedua guru tersebut, merupakan kakak ipar yang rumahnya berdampingan dalam satu komplek. Sedangkan pelajaran yang lain berguru kepada ayahnya sendiri, juga berguru kepada K.H. Muhammad Noor bin K.H. Fadlil, Hoofd Panghulu Hakim Kota Yogyakarta dan K.H. Abdulhamid di Kampung Lempuyang Wangi Yogyakarta.
Selain itu Muhammad Darwis juga berguru kepada beberapa guru, diantaranya: belajar ilmu fikih kepada kiyai Haji Muhammad Shaleh, belajar ilmu nahwu kepada K.H. Muhsin, ilmu falak kepada Kiyai Raden Haji  Dahlan, ilmu hadis kepada Kyai Mahfudh dan Syaikh Khayyat, ilmu Qiraah kepada Syaikh Amin dan Syaikh Bakri Satock. Guru-guru Muhammad Darwis lain yang bisa disebut adalah: Kyai Haji Abdul Khamid, Kyai Haji Muhammad Nur, Syaikh Hasan, dan lain-lain.
Ketika masa dewasa (tahun 1890) K.H Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji ke Makkah. Di Makkah beliau tidak hanya menunaikan ibadah haji saja, tetapi juga memperluas pengetahuannya dengan berguru selama setahun kepada para Alim Ulama’ Indonesia yang sudah bermukim disana seperti; K.H. Mahfudz dari Termas, K.H. Nakhrawi (Muhtaram) dari Banyumas, K.H. Muhammmad Nawawi dari Bantan, serta kepada para alim ulama’ Makkah yang sudah dikenalnya di Jawa. Salah seorang gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib. Dalam kesempatan itu seorang gurunya bernama Sayyid Bakri Syatha memberikan nama baru kepada Muhammad Darwis, yaitu Ahmad Dahlan.
Selepas pulang dari Makkah, K.H. Ahmad Dahlan mengajar dan berjuang ditanah kelahirannya. Sekitar tahun 1898, Ahmad Dahlan berhasil menghimpun para alim ulama’ dari kota Yogyakarta dan sekitarnya untuk membicarakan hal arah kiblat. Ada sekitar 20 orang yang hadir dalam musyawarah di surau Ahmad Dahlan, pertemuan tersebut hanya merupakan forum tukar pikiran saja, tidak menetapkan suatu apapun. Ternyata pikiran Ahmad Dahlan yang belum mencapai kata sepakat dikalangan para ulama’, telah cukup berpengaruh dikalangan generasi muda daerah Kauman. Babarapa hari setelah musyawarah itu selesai, terjadilah hal yang cukup menggemparkan karena lantai masjid Agung Kauman digaris dengan kapur yang menunjuk kearah barat laut. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat dimasjid agung itu kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid dan tanda shaf yang ditulis dengan benar. Ahmad Dahlan kemudian mendirikan langgar pribadi yang dibangun tepat menghadap kiblat. Akan tetapi langgar tersebut dirobohkan. Kemudian ia mendirikan lagi langgar yang persis menghadap kebarat dan lantainya diberi tanda shaf yang tepat menghadap kearah Makkah.
Sesudah peristiwa ini, sekitar tahun 1903 beliau kembali ke Makkah bersama putranya yang baru berumur 6 tahun (Muhammad Siradj) untuk menuntut ilmu dan melaksanakan haji untuk kedua kalinya dan memeperdalam agama selama dua tahun. Disana beliau berguru kepada beberapa guru spesialis, dalam ilmu fiqih berguru kepada Kyai Machful Tremas, Kyai Muhtaram Banyumas, Syeikh Shaleh Bafadhal, Syeikh Sa’id Jamani, Syeikh Sa’id Babusyel. Dalam ilmu hadish berguru kepada Mufti Syafi’i. Kiyai Asy’ari Baweyan dalam ilmu Falak (Cakrawala) dan Syaikh Ali Mishri Makkah dalam ilmu Qira’at.
Selain belajar kepada guru spesialis, K.H. Ahmad Dahlan juga membaca kitab-kitab berjiwa tamaddun dari luar negeri, diantaranya tafsir Qur’an Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Jamaluddin al-Afgani, Imam Ghazali, Rasyid Ridla, Thantawi Jauhari dan lain-lain sebagainya. Yang tentu saja kitab-kitab itu tidak ditelaah mentah-mentah tetapi difahami dengan sesempurna-sempurnanya. Akitab-kitab inilah yang kemudian hari menginspirasi K.H. Ahmad Dahlan dalam memperjuangkan kemurnian Islam di Indonesia.
Penting sekali dicatat bahwa dalam kepergian kedua kali di Makkah ini, Ahmad Dahlan sempat berjumpa dengan Rasyid Ridha, tokoh pembaharuan Islam di Mesir. Perjumpaannya dan dialog dengan Rasyid Ridha ini memberikan pengaruh yang kuat terhadap pemikiran Ahmad Dahlan, karena pandangan para pembaharu Islam itu menitikberatkan pada pemurnian tauhid (keesaan Allah), tidak beriman secara taklid (secara membabi buta percaya kepada keterangan seseorang tanpa mengetahui landasan yang primer); yang selama ini juga dipikirkan oleh Ahmad Dahlan. Selain pertemuan yang sangat bermanfaat dengan para tokoh pembaharu, beliau juga membaca dan menelaah berbagai kitab. Dan kitab-kitab yang menjadi kegemaran dan mengilhami beliau adalah kitab karya Syekh Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyyah, Rasyid Ridha dan Farid Wajdi.
Sekembalinya dari Makkah Ahmad Dahlan diangkat sebagai khatib menggantikan ayahnya, dan mendapat gelar “Mas”. Dengan demikian, dia sudah masuk kelompok kaum bangsawan atau ningrat, meskipun pada strata yang rendah. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Ahmad Dahlan berdagang kain. Oleh karena itu, dia sering bepergian dan mengadakan hubungan dagang pedagang lain, termasuk dengan sejumlah pedagang arab. Selain berdagang, pada hari-hari tertentu ia memberikan pengajian kepada beberapa kelompok orang, terutama pada sekelompok murid pendidikan guru pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan madrasah dengan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam lingkungan keraton Yogyakarta. Di sekolah ini pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan Gubernemen. Sekolah ini dapat dikatakan sebagai sekolah Islam swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah dan kemudian memenuhi subsidi tersebut. Ahmad Dahlan adalah seorang yang lebih bersifat pragmatikus yang sering menekankan semboyan kepada murid-muridnya, sedikit bicara, banyak bekerja. Dia juga salah seorang murid ulama Syafi’iyah, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang terkenal dimakkah. Ahmad Dahlan banyak membaca buku-buku dan majalah-majalah agama dan umum, banyak bergaul dengan berbagai kalangan, selama perjalanannya, terutama dengan orang-orang Arab, sehingga ide-idennya bertambah dan berkembang terus menerus.
Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk meng­ajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut. Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat (Kweekschool Putri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muham­madiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat. Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Perkumpulan ini berdiri pada tanggal 18 Nopember 1912. Sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur'an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan Kejawen.
Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang dikenal dengan nama Pramuka - dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang. Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman.
Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang ada saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai sering diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang. Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri Cabang Muham­madiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk meng­atasinya, maka K.H. Ahmad Dahlan menyiasa­tinya dengan menganjurkan agar Cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain, misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari Cabang Muhammadiyah. Di dalam kota Yogyakarta sendiri, Ahmad Dahlan menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Pada usia 54 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, wilayah bernama Mergangsan di Yogyakarta. Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam mem-bangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pemba­haruan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar