PERANG SABIL DI
NUSANTARA 6
PERANG JAWA (4)
AKHIR PERANG
Memasuki tahun 1830, musibah yang
menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8
Januari 1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh
pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya Patih
Diponegoro menyerah kepada Belanda. Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan damai yang
licik terus dilakukan.
Dengan menggunakan bekas
tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih Danureja
dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda.
Sebab pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan pertama antara Diponegoro
dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda dalam rangka perdamaian
di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen. Pertemuan
perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut perundingan
itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan
dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada saat itu
sedang berada di Batavia.
Untuk menunggu kedatangan Jenderal
De Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di Kecawang sebelah utara desa
Saka. Selama tenggang waktu perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh kedua
belah pihak. Desa Kecawang masih terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di
sana. Oleh karena itu; untuk memudahkan jalan perundingan Diponegoro dengan
pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas
besar pasukan Belanda.
Pada tanggal 21 Februari 1830
rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5
Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan
telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak mau mengadakan
perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk melakukan
ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro dengan Jenderal
De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan selanjutnya
jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan. Menjelang
hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor
kuda tunggang yang sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti dengan
pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan membolehkan
mereka berkumpul dengan Diponegoro di tempat penginapan perundingan
di Magelang.
Pada tanggal 25 Maret 1830,
Jenderal De Kock telah memberikan perintah rahasia kepada
Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan penjagaan
kota Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa
Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya harus
ditangkap!
Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan
akan dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung
Mangunkusuma dating kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar
lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan
Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah
Jenderal De Kock. Jam 07.30 pagi Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus
orang pasukannya memasuki gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima
langsung oleh Jenderal De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja
Jenderal De Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu
Diponegoro Anom, Raden Mas Jonad, Raden Mas Raab, ditambah dengan Basah
Martanegara dan Kiai Badaruddin.
Sedangkan di pihak Jenderal De Kock
disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai
juru bicara. Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan
opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin
pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan Letnan
Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat
melakukan penyergapan, sebagaimana telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock. Kolonel
Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro
dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah memberikan jaminan
diplomasi penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak
berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi
pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang
tidak hadir.
Babak pertama Jadwal perundingan,
menurut Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi perundingan
pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus
langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi
tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi perundingan.
Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar ucapan: "Jika
tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu
dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti
lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami
datang kemari."
Ketika pihak Jenderal De Kock terus
mendesak tentang tujuan penerangan yang telah dilakukan oleh Diponegoro
selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia member jawaban
dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain: "Mendirikan negara merdeka
di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama
Islam di pulau Jawa". Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat,
karena ia tidak mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu.
Sewaktu De Kock member jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat
dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya. Tanda-tanda
perundingan babak pertama akan menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika
perundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro dan
pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan.
Sesuai dengan rencana Belanda bahwa
perundingan adalah semata-mata methoda untuk menangkap Diponegoro dan
stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata: "Kalau begitu,
tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas." Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan
marah menjawab : "Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada
saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya
semula, apabila perundingan ini gagal." Jenderal De Kock berkata lagi: "Jika tuan kembali,
maka peperangan akan berkobar lagi." Diponegoro menjawab: "Apabila tuan
perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?"
Tiba-tiba Jenderal De Kock
menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya
untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti.
Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah ditangkap
dan dilucuti. Dengan cepat Diponegoro dimasukkan ke dalam kendaraan
residen yang telah disiapkan oleh Belanda dengan pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan
De Stuers dan Kapten Roeps berangkat menuju Ungaran. Dari sana kemudian Diponegoro
dibawa ke Semarang untuk selanjutnya dibawa ke Batavia.
Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro
beserta stafnya dibawa ke tempat pembuangannya di Menado. Tidak
kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan
di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke
kota Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia
kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama dua puluh lima tahun.
Perang
Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh
pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan
berdirinya negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap,
baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang
memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syari'at Islam di
dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda
serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa
Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan
negara Islam di tanah Jawa.
Kegagalan
yang diderita oleh Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan methodanya
yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik man power, persenjataan,
perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri yang sebagian besar membantu
Belanda-Kristen yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda-Kristen. Tipu
muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral
rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian penguasa colonial Barat-Kristen
di Indonesia, baik Portugis-Kristen Katholik maupun Belanda-Kristen Protestan.
(Alhamdulillah bersambung ke
episode berikutnya....)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar