Rabu, 05 Oktober 2016

PERANG SABIL DI NUSANTARA 6




PERANG JAWA (4)
AKHIR PERANG


Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya Patih Diponegoro menyerah kepada Belanda. Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan damai yang licik terus dilakukan.
Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan pertama antara Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda dalam rangka perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen. Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada saat itu sedang berada di Batavia.
Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di Kecawang sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk memudahkan jalan perundingan Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar pasukan Belanda.
Pada tanggal 21 Februari 1830 rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5 Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak mau mengadakan perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro dengan Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan. Menjelang hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggang yang sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti dengan pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan membolehkan mereka berkumpul dengan Diponegoro di tempat penginapan perundingan di Magelang.
Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De Kock telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya harus ditangkap!
Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma dating kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30 pagi Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas Jonad, Raden Mas Raab, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kiai Badaruddin.
Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bicara. Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan Letnan Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock. Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah memberikan jaminan diplomasi penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir.
Babak pertama Jadwal perundingan, menurut Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi perundingan. Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar ucapan: "Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari."
Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan penerangan yang telah dilakukan oleh Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia member jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain: "Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa". Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock member jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya. Tanda-tanda perundingan babak pertama akan menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika perundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan.
Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata: "Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas." Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan marah menjawab : "Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal." Jenderal De Kock berkata lagi: "Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar lagi." Diponegoro menjawab: "Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?"
Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan dilucuti. Dengan cepat Diponegoro dimasukkan ke dalam kendaraan residen yang telah disiapkan oleh Belanda dengan pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps berangkat menuju Ungaran. Dari sana kemudian Diponegoro dibawa ke Semarang untuk selanjutnya dibawa ke Batavia.
Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta stafnya dibawa ke tempat pembuangannya di Menado. Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama dua puluh lima tahun.
Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan berdirinya negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syari'at Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa.
Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan methodanya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik man power, persenjataan, perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri yang sebagian besar membantu Belanda-Kristen yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda-Kristen. Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian penguasa colonial Barat-Kristen di Indonesia, baik Portugis-Kristen Katholik maupun Belanda-Kristen Protestan.


(Alhamdulillah bersambung ke episode berikutnya....)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar