Ulama
Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara (12)
K.H HASYIM ASY’ARI
KH. Hasyim Asy’ari
atau nama lengkapnya Muhammad Hasyim, lahir di desa Gedang Jombang pada 24
Zulkaidah 1287 H/14 Februari 1871, dan wafat di Jombang pada Juli 1947. Secara
genealogi, KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kyai, karena kakek buyutnya
adalah Kyai Sihah yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras,
sedangkan kakeknya Kyai Usman adalah kyai terkenal pendiri pondok pesantren
Gedang, sedangkan ayahnya Asy’ari adalah pengasuh pondok pesantren Keras di
Jombang.
Dari silsilah ini maka dapat dilihat bahwa KH. Hasyim Asy’ari lahir
dan dibesarkan di lingkungan pondok pesantren. Bahkan pada usia
13 tahun ia sudah menguasai kitab-kitab Islam klasik dan diangkat
menjadi badal (asisten pengajar) di pondok pesantren ayahnya. Pada
usia 15 tahun, Hasyim Asy’ari mulai mengembara ke berbagai
pesantren di pulau Jawa untuk memperdalam ilmu agama, seperti
di Pesantren Wonocolo Jombang, Pesantren Probolinggo, Pesantren
Langitan, Pesantern Tranggilis, dan berguru kepada Kyai Kholil
di Bangkalan, Madura. Tak lama di sini, Hasyim pindah
lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya’qub
inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.
Kiai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama.
Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai
Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka,
Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21
tahun, dinikahkan dengan Chadijah, salah satu puteri Kiai Ya’qub. Tidak lama
setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan
ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri
dan anaknya meninggal.
Pada 1893, KH. Hasyim Asy’ari berangkat ke Mekah untuk memperdalam
ilmu agama dan berguru kepada Syekh Mahfudh At- Tarmisi yang
berasal dari Tremas, Jawa Timur. Syekh Mahfudh At- Tarmisi
menjadi pengajar di Masjidil Haram dan merupakan ulama ahli
hadits di Mekah, beliau adalah murid Syekh Nawawi al-Bantany yang
menjadi murid Syekh Ahmad Khatib Sambasi (tokoh tasawuf yang
berhasil menggabungkan tarikat Qadariah dan tarikat Naqsyabandiah).
Untuk melengkapi pengetahuannya di bidang agama, KH. Hasyim
Asy’ari kemudian berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al- Minangkabau.
Namun dari sekian banyak gurunya itu, yang paling mempengaruhi
jalan pikiran KH. Hasyim Asy’ari adalah Syekh Mahfudh
At-Tarmisi. Dari gurunya inilah dia memperoleh ijazah tarikat
Qadariah dan Naqsabandiah. Setelah 7 tahun belajar di Mekah, KH. Hasyim Asy’ari pulang ke Jawa
dan mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang pada 26
Rabiul Awal 1317 H/1899 M. Di pondok pesantren inilah KH. Hasyim
Asy’ari mengajarkan kitab-kitab klasik kepada santrinya yang oleh
kalangan NU dikenal dengan “kitab kuning”. Dari pesantren ini pula
kemudian banyak bermunculan kyai dan ulama terkemuka yang mewarnai
pemikiran Islam di Indonesia.
Setelah mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng, KH. Hasyim Asy’ari
mewarnai lembaga pendidikannya dengan pandangan dan metodologi
tradisional. Ia banyak mengadopsi pendidikan Islam klasik
yang lebih mengedepankan aspek-aspek normatif, tradisi belajar-mengajar,
dan etika dalam belajar yang dipandangnya telah mengantarkan
umat Islam kepada zaman keeemasan. Dalam karyanya, Adab al-‘Alim wa-Al-Mutta’allim, KH. Hasyim
Asy’ari terlihat banyak dipengaruhi oleh tradisi pendidikan Islam klasik
dan penulis-penulis klasik seperti Imam al-Ghazali dan Al-Zarnuji.
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam paham keagamaan terlihat dari pembelaannya
terhadap cara beragama dengan sistem bermazhab. Inilah
pandangannya yang erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas
kaum Muslimin yang disebut sebagai “ahli sunnah wal jama’ah”.
Pemikirannya
tentang paham bermazhab ini tertuang dalam karyanya Qanun Asasy li-Jam’iyyati Nahdlatul Ulama yang kemudian
dijadikan pijakan dasar organisasi NU. Menurut KH.
Hasyim Asy’ari, paham bermazhab timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran
al-Qur’an dan al-Sunnah secara benar, sebab dalam sejarahnya, sebagai upaya
pemahaman terhadap dua sumber utama ajaran Islam itu, sering terjadi
perselisihan pendapat. Hal ini menyebabkan banyak lahir pemikir besar (mujtahid).
Namun karena pemikiran mereka tidak gampang dirumuskan secara sederhana,
KH. Hasyim Asy’ari menyimpulkan bahwa untuk pemahaman
keagamaan dan fiqih ditetapkan empat mazhab (Syafi’i, Maliki,
Hambali, dan Hanafi) yang menjadi cirri utama paham ahlusunnah
dan
NU.
KH. Hasyim
Asy’ari dalam karyanya yang berjudul al-Risalah al- Tauhidiyyah dan
al-Qaid fi Bayan Ma Yajib Min al-Qaid menjelaskan bahwa ada tiga tingkat
apresiasi manusia tentang Tuhan. Pertama, meliputi penilaian tentang keesaan Tuhan (adalah pemahaman tauhid untuk
orang awam). Kedua, pengetahuan dan teori kepastian adalah bersumber
dari Allah (pemahaman tauhid untuk para ulama). Ketiga, menggambarkan
dari perasaan yang paling dalam akan keagungan Tuhan (untuk
para sufi yang membawa kepada pengetahuan tentang Tuhan atau
Ma’rifat). Tarikat juga tidak luput dari perhatian
KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini sebagaimana tertuang dalam karyanya al-Durar
al-Muntasyirah fi Masail al-Tis’a ‘Asyarah yang berisi tentang
bimbingan praktis agar umat Islam lebih berhati-hati memasuki dunia tarikat. Dalam kitab tersebut,
KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan apa arti wali Allah yang selama
ini dijadikan sandaran kaum tarikat.
Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa,
dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan yang kemudian pada 1912 membentuk
organisasi Muhammadiyah yang banyak melakukan kritik terhadap
praktik-praktik keagamaan yang dilakukan kelompok muslim
tradisional, seperti menolak tarikat atau praktik seperti talqin yang
berkembang sebagai tradisi keagamaan muslim tradisional. Puncak dari pertentangan muslim “modern” dan muslim “tradisional” ini
terjadi ketika pemerintah Ibnu Saud dari kerajaan Saudi Arabia ingin mengadakan
kongres tentang kekhalifahan di Mekah dalam usahanya untuk mendirikan
kekhalifahan baru, bahkan terdapat keinginan membongkar makam Rasulullah SAW.
Hal ini mendapatkan respons yang positif dari tokoh-tokoh Islam di Indonesia,
sehingga diadakanlah kongres di Bandung yang dihadiri kelompok
Islam modernis dan tradisional. Hasil dari kongres ini menunjuk
Tjokroaminoto dari SI dan KH. Mas Mansyur dari Muhammadiyah
(keduanya kelompok modernis) untuk mengikuti kongres tentang
kekhalifahan di Mekah tersebut. Hal ini menimbulkan kekecewaan kelompok Islam tradisional karena tidak terwakili
mengikuti kongres tersebut. Karena itu KH. Wahab Hasbullah
(kelompok tradisional) mengusulkan agar utusan Indonesia
meminta kepada pemerintah Wahabi Saudi Arabia agar tetap
mempertahankan ajaran dan praktik keagamaan empat mazhab, walaupun
permintaan itu ditolak.
Untuk memperjuangkan aspirasi ulama-ulama tradisional agar dapat
bertemu dengan Raja Ibnu Su’ud, pada 31 Januari 1926 KH. Wahab
Hasbullah mengundang ulama tradional terkemuka seperti KH.
Hasyim Asy’ari, KH. Asnawi, dan beberapa tokoh lainnya untuk membicarakan
langkah-langkah atas utusan ulama tradisional untuk dapat
mengirimkan utusan sendiri mengikuti kongres kekhalifahan di
Arab Saudi, dalam pertemuan tersebut dihasilkan beberapa keputusan
penting sebagai berikut:
a.
Mereka secara resmi membentuk komite
Hijaz, yang akan mengirimkan utusan sendiri untuk menghadapi Raja Ibnu Su’ud.
b.
Membentuk organisasi yang berfungsi
sebagai wahana para ulama dalam membimbing ulama mencapai kejayaan, dan organisasi
tersebut diberi nama “Nahdlatul Ulama”.
Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 sebenarnya tak
bisa dilepaskan dengan perkembangan kelompok Islam yang secara relatif
berhaluan pembaruan ke arah “yang disebut” pemurnian (purifikasi) ajaran Islam.
Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada 1912 oleh KH Ahmad Dahan
yang kemudian gerakannya dianggap cenderung berbeda dengan kebiasaan
praktik-praktik keagamaan (Islam) masyarakat lokal merupakan bagian dari efek
picu (trigger effect) yang mempercepat lahirnya NU. Ditambah lagi pada saat itu
gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah di bawah pengaruh kuat ajaran Muhammad
bin Abdul Wahab (Wahabi) dianggap sudah kebablasan karena sudah sampai pada
keinginan membongkar makam Rasulullah SAW. Kalangan ulama Indonesia berhaluan
Sunni akhirnya membentuk komite (yang disebut Komite Hijaz) yang selanjutnya
diutus khusus untuk menemui Raja Fahd di Arab Saudi.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan
Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah, baik Belanda maupun Jepang
berusaha untuk merangkulnya. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng
bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat
Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang
dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak
luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim
seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan
dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh
Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam
pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu
menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari
jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan
beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri
10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda,
dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus
berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada
tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda
kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad
(perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih
melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah
mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa
Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der
Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah
mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya. Namun sempat juga Kyai Hasyim
mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai
Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya,
saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan
bersama Kyainya itu.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah
kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure,
kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon
menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang
represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan
kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah
satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh
beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim
menolak melakukan seikerei, yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan
badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada
Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).
Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan
Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai
Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan
manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah,
mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara
Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada
di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam
tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari
tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus
Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum
total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai
berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren
Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18
Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang
karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai
Hasyim juga berkat usaha dari KH Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah
dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil
Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu
yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya)
dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama
menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.
Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya,
meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang
bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari
kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan
gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai
Hari Pahlawan Nasional. Resolusi itu sendiri didasarkan atas fatwa Kyai Hasyim bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan Soekarno-Hatta adalah
sah secara fikih.
Pada tanggal 7 Nopember 1945, tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember
1945 di Surabaya umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro
Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah
konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is
‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan
mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus
jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah,
Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo
senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
Di samping seorang nasionalis, Kyai Hasyim juga bukan sosok yang
haus jabatan. Ia tidak pernah tergoda untuk berpolitik praktis. Ketika diberi
jabatan oleh Jepang sebagai Kepala Shumubu (Kantor Urusan Agama), misalnya,
jabatan itu ia serahkan kepada putranya, KH. A Wahid Hasyim. Jadi Kyai Hasyim
hanya menjadi kepala secara de jure. Demikian juga jabatan sebagai
Ketua Masyumi. Semua urusan politik praktis didelegasikan kepada putranya, sementara
Kyai Hasyim sendiri tetap istiqamah berdakwah dan menjadi guru di pesantren. Ia tidak pernah
meninggalkan-apalagi melalaikan-tugas utamanya sebagai kyai pesantren.
Kyai Hasyim tidak pernah melarang kyai dan santri-santrinya berpolitik.
Ia sendiri memberi contoh bagaimana berpolitik. Namun politik
Kyai Hasyim adalah politik makrostrategis. Ia benar-benar melibatkan
dirinya dalam urusan politik jika ada situasi darurat yang mengancam
kedaulatan bangsa dan kemerdekaan umat untuk menjalankan
ajaran agamanya. Demikian juga Kyai Hasyim. Ia hanya terjun ke dunia politik dalam
situasi dan alasan khusus. Selebihnya ia kembali ke pesantren mengabdikan
hidupnya untuk pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan umat. Pada tanggal
25 Juli 1947, K.H Hasyim Asy’ari wafat dan dimakamkan di Tebu Ireng,
Jombang, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar