Rabu, 19 Oktober 2016

                  Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara(12)
                       


K.H HASYIM ASY’ARI

KH. Hasyim Asy’ari atau nama lengkapnya Muhammad Hasyim, lahir di desa Gedang Jombang pada 24 Zulkaidah 1287 H/14 Februari 1871, dan wafat di Jombang pada Juli 1947. Secara genealogi, KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kyai, karena kakek buyutnya adalah Kyai Sihah yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, sedangkan kakeknya Kyai Usman adalah kyai terkenal pendiri pondok pesantren Gedang, sedangkan ayahnya Asy’ari adalah pengasuh pondok pesantren Keras di Jombang.
Dari silsilah ini maka dapat dilihat bahwa KH. Hasyim Asy’ari lahir dan dibesarkan di lingkungan pondok pesantren. Bahkan pada usia 13 tahun ia sudah menguasai kitab-kitab Islam klasik dan diangkat menjadi badal (asisten pengajar) di pondok pesantren ayahnya. Pada usia 15 tahun, Hasyim Asy’ari mulai mengembara ke berbagai pesantren di pulau Jawa untuk memperdalam ilmu agama, seperti di Pesantren Wonocolo Jombang, Pesantren Probolinggo, Pesantren Langitan, Pesantern Tranggilis, dan berguru kepada Kyai Kholil di Bangkalan, Madura. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadijah, salah satu puteri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.
Pada 1893, KH. Hasyim Asy’ari berangkat ke Mekah untuk memperdalam ilmu agama dan berguru kepada Syekh Mahfudh At- Tarmisi yang berasal dari Tremas, Jawa Timur. Syekh Mahfudh At- Tarmisi menjadi pengajar di Masjidil Haram dan merupakan ulama ahli hadits di Mekah, beliau adalah murid Syekh Nawawi al-Bantany yang menjadi murid Syekh Ahmad Khatib Sambasi (tokoh tasawuf yang berhasil menggabungkan tarikat Qadariah dan tarikat Naqsyabandiah).
Untuk melengkapi pengetahuannya di bidang agama, KH. Hasyim Asy’ari kemudian berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al- Minangkabau. Namun dari sekian banyak gurunya itu, yang paling mempengaruhi jalan pikiran KH. Hasyim Asy’ari adalah Syekh Mahfudh At-Tarmisi. Dari gurunya inilah dia memperoleh ijazah tarikat Qadariah dan Naqsabandiah. Setelah 7 tahun belajar di Mekah, KH. Hasyim Asy’ari pulang ke Jawa dan mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang pada 26 Rabiul Awal 1317 H/1899 M. Di pondok pesantren inilah KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan kitab-kitab klasik kepada santrinya yang oleh kalangan NU dikenal dengan “kitab kuning”. Dari pesantren ini pula kemudian banyak bermunculan kyai dan ulama terkemuka yang mewarnai pemikiran Islam di Indonesia.
Setelah mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng, KH. Hasyim Asy’ari mewarnai lembaga pendidikannya dengan pandangan dan metodologi tradisional. Ia banyak mengadopsi pendidikan Islam klasik yang lebih mengedepankan aspek-aspek normatif, tradisi belajar-mengajar, dan etika dalam belajar yang dipandangnya telah mengantarkan umat Islam kepada zaman keeemasan. Dalam karyanya, Adab al-‘Alim wa-Al-Mutta’allim, KH. Hasyim Asy’ari terlihat banyak dipengaruhi oleh tradisi pendidikan Islam klasik dan penulis-penulis klasik seperti Imam al-Ghazali dan Al-Zarnuji.
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam paham keagamaan terlihat dari pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem bermazhab. Inilah pandangannya yang erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas kaum Muslimin yang disebut sebagai “ahli sunnah wal jama’ah”. Pemikirannya tentang paham bermazhab ini tertuang dalam karyanya Qanun Asasy li-Jam’iyyati Nahdlatul Ulama yang kemudian dijadikan pijakan dasar organisasi NU. Menurut KH. Hasyim Asy’ari, paham bermazhab timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah secara benar, sebab dalam sejarahnya, sebagai upaya pemahaman terhadap dua sumber utama ajaran Islam itu, sering terjadi perselisihan pendapat. Hal ini menyebabkan banyak lahir pemikir besar (mujtahid). Namun karena pemikiran mereka tidak gampang dirumuskan secara sederhana, KH. Hasyim Asy’ari menyimpulkan bahwa untuk pemahaman keagamaan dan fiqih ditetapkan empat mazhab (Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi) yang menjadi cirri utama paham ahlusunnah dan NU.
KH. Hasyim Asy’ari dalam karyanya yang berjudul al-Risalah al- Tauhidiyyah dan al-Qaid fi Bayan Ma Yajib Min al-Qaid menjelaskan bahwa ada tiga tingkat apresiasi manusia tentang Tuhan. Pertama, meliputi penilaian tentang keesaan Tuhan (adalah pemahaman tauhid untuk orang awam). Kedua, pengetahuan dan teori kepastian adalah bersumber dari Allah (pemahaman tauhid untuk para ulama). Ketiga, menggambarkan dari perasaan yang paling dalam akan keagungan Tuhan (untuk para sufi yang membawa kepada pengetahuan tentang Tuhan atau Ma’rifat). Tarikat juga tidak luput dari perhatian KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini sebagaimana tertuang dalam karyanya al-Durar al-Muntasyirah fi Masail al-Tis’a ‘Asyarah yang berisi tentang bimbingan praktis agar umat Islam lebih berhati-hati memasuki dunia tarikat. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan apa arti wali Allah yang selama ini dijadikan sandaran kaum tarikat.
Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan yang kemudian pada 1912 membentuk organisasi Muhammadiyah yang banyak melakukan kritik terhadap praktik-praktik keagamaan yang dilakukan kelompok muslim tradisional, seperti menolak tarikat atau praktik seperti talqin yang berkembang sebagai tradisi keagamaan muslim tradisional. Puncak dari pertentangan muslim “modern” dan muslim “tradisional” ini terjadi ketika pemerintah Ibnu Saud dari kerajaan Saudi Arabia ingin mengadakan kongres tentang kekhalifahan di Mekah dalam usahanya untuk mendirikan kekhalifahan baru, bahkan terdapat keinginan membongkar makam Rasulullah SAW.
Hal ini mendapatkan respons yang positif dari tokoh-tokoh Islam di Indonesia, sehingga diadakanlah kongres di Bandung yang dihadiri kelompok Islam modernis dan tradisional. Hasil dari kongres ini menunjuk Tjokroaminoto dari SI dan KH. Mas Mansyur dari Muhammadiyah (keduanya kelompok modernis) untuk mengikuti kongres tentang kekhalifahan di Mekah tersebut. Hal ini menimbulkan kekecewaan kelompok Islam tradisional karena tidak terwakili mengikuti kongres tersebut. Karena itu KH. Wahab Hasbullah (kelompok tradisional) mengusulkan agar utusan Indonesia meminta kepada pemerintah Wahabi Saudi Arabia agar tetap mempertahankan ajaran dan praktik keagamaan empat mazhab, walaupun permintaan itu ditolak.
Untuk memperjuangkan aspirasi ulama-ulama tradisional agar dapat bertemu dengan Raja Ibnu Su’ud, pada 31 Januari 1926 KH. Wahab Hasbullah mengundang ulama tradional terkemuka seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Asnawi, dan beberapa tokoh lainnya untuk membicarakan langkah-langkah atas utusan ulama tradisional untuk dapat mengirimkan utusan sendiri mengikuti kongres kekhalifahan di Arab Saudi, dalam pertemuan tersebut dihasilkan beberapa keputusan penting sebagai berikut:
a.       Mereka secara resmi membentuk komite Hijaz, yang akan mengirimkan utusan sendiri untuk menghadapi Raja Ibnu Su’ud.
b.      Membentuk organisasi yang berfungsi sebagai wahana para ulama dalam membimbing ulama mencapai kejayaan, dan organisasi tersebut diberi nama “Nahdlatul Ulama”.
Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 sebenarnya tak bisa dilepaskan dengan perkembangan kelompok Islam yang secara relatif berhaluan pembaruan ke arah “yang disebut” pemurnian (purifikasi) ajaran Islam. Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada 1912 oleh KH Ahmad Dahan yang kemudian gerakannya dianggap cenderung berbeda dengan kebiasaan praktik-praktik keagamaan (Islam) masyarakat lokal merupakan bagian dari efek picu (trigger effect) yang mempercepat lahirnya NU. Ditambah lagi pada saat itu gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah di bawah pengaruh kuat ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) dianggap sudah kebablasan karena sudah sampai pada keinginan membongkar makam Rasulullah SAW. Kalangan ulama Indonesia berhaluan Sunni akhirnya membentuk komite (yang disebut Komite Hijaz) yang selanjutnya diutus khusus untuk menemui Raja Fahd di Arab Saudi.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah, baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya. Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei, yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari KH Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Resolusi itu sendiri didasarkan atas fatwa Kyai Hasyim bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan Soekarno-Hatta adalah sah secara fikih.
Pada tanggal 7 Nopember 1945, tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
Di samping seorang nasionalis, Kyai Hasyim juga bukan sosok yang haus jabatan. Ia tidak pernah tergoda untuk berpolitik praktis. Ketika diberi jabatan oleh Jepang sebagai Kepala Shumubu (Kantor Urusan Agama), misalnya, jabatan itu ia serahkan kepada putranya, KH. A Wahid Hasyim. Jadi Kyai Hasyim hanya menjadi kepala secara de jure. Demikian juga jabatan sebagai Ketua Masyumi. Semua urusan politik praktis didelegasikan kepada putranya, sementara Kyai Hasyim sendiri tetap istiqamah berdakwah dan menjadi guru di pesantren. Ia tidak pernah meninggalkan-apalagi melalaikan-tugas utamanya sebagai kyai pesantren.
Kyai Hasyim tidak pernah melarang kyai dan santri-santrinya berpolitik. Ia sendiri memberi contoh bagaimana berpolitik. Namun politik Kyai Hasyim adalah politik makrostrategis. Ia benar-benar melibatkan dirinya dalam urusan politik jika ada situasi darurat yang mengancam kedaulatan bangsa dan kemerdekaan umat untuk menjalankan ajaran agamanya. Demikian juga Kyai Hasyim. Ia hanya terjun ke dunia politik dalam situasi dan alasan khusus. Selebihnya ia kembali ke pesantren mengabdikan hidupnya untuk pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan umat. Pada tanggal  25 Juli 1947, K.H Hasyim Asy’ari wafat dan dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar