Selasa, 18 Oktober 2016


Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara (6)


SYEKH AHMAD KHATIB AL-MINANGKABAWY

Nama lengkapnya adalah Syaikh Ahmad Khatib bin ‘Abdul Lathif bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz al-Khathib al-Minangkabawi al-Jawi al-Makki asy-Syafi’i al-Atsari, dilahirkan di Koto Tuo, kenagarian Balai Gurah, Kec. Ampek Angkek Candung, Kab. Agam, Prov. Sumatera Barat pada hari Senin 6 Dzul Hijjah 1276 H bertepatan dengan 26 Mei 1860 M dan wafat di Mekkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M). Ibunya bernama Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak. Ayahnya bernama 'Abdul Lathif yang berasal dari Koto Gadang. ‘Abdullah, kakek Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah atau buyut menurut riwayat lain, adalah seorang ulama kenamaan.  
Oleh masyarakat Koto Gadang, ‘Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khathib. Sejak itulah gelar Khatib Nagari melekat dibelakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.
Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweekschool yang tamat tahun 1871 M. Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Al Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz. Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, ‘Abdul Lathif, ke Tanah Suci mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, ‘Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di mekkah untuk menyelesaikan hafalan Al Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Mekkah terutama yang mengajar di Masjid Al Haram terutama yang mengajar di Masjid Al Haram.
Di antara guru-guru Syaikhul Ahmad Khatib di Mekkah adalah Sayyid ‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha al-Makki asy-Syafi’i (1259-1330 H), Sayyid ‘Utsman bin Muhammad Syatha al-Makki asy-Syafi’i (1263-1295 H), Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi al-Makki asy-Syafi’i (1266-1310 H), penulis I’anatuth Thalibin, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304), mufti Madzhab Syafi’i di Mekkah, Yahya Al Qalyubi, Muhammad Shalih al-Kurdi. Selain mempelajari ilmu Islam, Ahmad juga gemar mempelajari ilmu-ilmu keduniaan yang mendukung ilmu diennya seperti ilmu pasti untuk membantu menghitung waris dan juga bahasa Inggris sampai betul-betul kokoh.
Mengenai murid-murid Syaikhul Ahmad Khatib di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Buya Hamka; Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi, SyaikhMuhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syaikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syaikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, Syaikh Khatib Ali Padang, Syaikh Ibrahim Musa Parabek, Syaikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan Syaikh Hasan Maksum, Medan. Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, merupakan murid dari Syaikhul Ahmad Khatib. K.H Abdul Halim Majalengka pendiri Jam’iyyah I’anatul Mubta’allimin yang bekerja sama dengan Jam’iyyah Khairiyyah dan Al-Irsyad, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif Al Banjari mufti Kerajaan Indragiri dan lainnya.
Di antara kebiasaan Syaikhul Ahmad Khatib di Mekkah adalah menyeringkan diri mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih al-Kurdi yang terletak di dekat Masjid Al Haram untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekadar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena seringnya Syaikhul Ahmad Khatib mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Shalih Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.
Ketertarikan Shalih al-Kurdi terhadap Syaikhul Ahmad Khatib dibuktikan dengan dijadikannya Syaikhul Ahmad Khatib sebagai menantu yakni menikahkannya dengan putri pertamanya yang bernama Khadijah. Sebenarnya Syaikhul Ahmad Khatib sempat ragu menerima tawaran dari al-Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi dan telah mengatakan terus terang, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari al-Kurdi untuk menjaqdikannya menantu. Bahkan al-Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Syaikhul Ahmad Khatib. Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syaikhul Ahmad Khatib dikaruniai seorang putra, yaitu ‘Abdul Karim (1300-1357 H).
Ternyata pernikahan Syaikhul Ahmad Khatib dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia. Muhammad Shalih al-Kurdi, sang mertua, untuk menikah kembali dengan purinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan Al Quran yang baik. Oleh karena itu tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu: ‘Abdul Malik, ketua redaksi koran al-Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di al-Hasyimiyyah (Yordan), ‘Abdul Hamid al-Khathib, seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjidil Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan.
Kealiman Syaikhul Ahmad Khatib dibuktikan dengan dilangkatnya ia menjadi imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjid Al Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi. Mengenai sebab pengangkatan Syaikhul Ahmad Khatib menjadi imam dan khathib. Berawal suatu ketika dalam sebuah salat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur Rafiq. Di tengah salat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu Syaikhul Ahmad Khatib pun, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Setelah usai salat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi. Lalu ditunjukkannya Syaikhul Ahmad Khatib yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib sebagai imam dan khatib Masjid al-Haram untuk madzhab Syafi’i.
Perhatiannya terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Ia menulis buku yang secara khusus membahas perihal harta pusaka tersebut, berjudul Ad-Da'il Masmu' fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat ma'a Wujudil Ushl wal Furu' (dengan versi terjemahan berjudul al-Manhajul Masyru'). Buku tersebut membahas pembagian harta waris menurut Islam dan membantah aturan harta pusaka menurut adat Minangkabau. Di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu. Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Ia juga menyanggah beberapa pendapat Barat tentang kedudukan bumi, bulan, dan matahari, serta peredaran planet yang ia anggap bertentangan dengan pemikiran ulama-ulama Islam dalam bidang tersebut.  Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu salat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya. Syaikhul Ahmad Khatib juga pakar dalam geometri dan tringonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab.
Karya-karya tulis Syaikhul Ahmad Khatib dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan Al Quran & Sunnah. Karya-karya Syekh Khatib dalam bahasa arab antara lain, Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli; Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah; Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’; Raudhatul Hussab; Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz; As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir dan puluhan karya lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar