Selasa, 18 Oktober 2016

Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara (1)
HAMZAH FANSURI

Kapan dan di mana Hamzah Fansuri dilahirkan tidak diketahui secara pasti. Ada yang menyebutkan bahwa ia dilahirkan di Barus pada akhir abad ke -16 Barus merupakan sebagian dari Kerajaan Aceh. Sayyid Muhammad Naquib al-Attas menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus atau Fansur kira-kira pada abad ke-16 Masehi.  Konon kemudian nama Fansuri digabungkan di belakang namanya sehingga menjadi Hamzah Fansuri. Penggabungan namatempat asal sebagian gelar seperti ini lazim pada waktu itu, misal Abdul Kadir Jailani, Abdul Rauf Singkel, dan Syamsuddin Sumatrani.
Akan tetapi, ada pendapat lain berdasarkan syair karya Hamzah Fansuri, yang menyatakan bahwa Hamzah Fansuri dikandung di Barus dan dilahirkan di Shahr Nawi. Hamzah Fansuri hidup pada masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV. Saiyidil Mukammil ( 997-1011 H. = 589 -1604 M ). Hamzah Fansuri dikenal sebagai sufi besar pada zamannya di wilayah Nusantara, pada abad ke -17. Bahkan, ia dikenal bukan saja sebagai seorang ahli tasawuf, melainkan juga sebagai pengarang dan penyair besar. Sayyid Naguib Alatas menyatakan bahwa Hamzah Fansuri merupakan pujangga Melayu terbesar dalam abad XVII. Dibandingkannya Hamzah Fansuri sebagai " Jalaluddin Rumi" kepulauan Nusantara. Hamzah Fansuri bersama Syamsuddin Sumatrani dianggap sebagai pengembang Tarekat Wujudiyyah. Ajaran mereka ditentang oleh Nuruddin Ar-Raniri karena dianggap ajaran sesat. Kemudian atas anjuran Nuruddin Ar-Raniri kedua naskah tersebut dibakar di muka Masjid Baiturrahman pada masa pemerintah Sultan Iskandar Thani.
Hamzah Fansuri, dalam ajarannya banyak dipengaruhi Ibn Arabi, ahli tasawauf yang termasyur pada akhir abad ke -12 dan awal abad ke -13. Ibn Arabi beranggapan bahwa segala makhluk itu asasnya esa. Selain Ibn Arabi, dalam karangannya Hamzah Fansuri banyak mengutip pendapat ahli tasawuf Parsi, seperti al-Junaid, Mansur Hallaj, Jalaluddin Rumi, serta Shamsu Tabriz. Semasa hidupnya Hamzah Fansuri kurang dikenal, bahkan dimusuhi karena ajarannya dianggap sesat. Bahkan, dalam Hikayat Aceh keberadaan Hamzah Fansuri sebagai tokoh sastra dan tasawuf tidak disebutkan. Ia justru dikenal setelah wafat. Para pengikutnya yang jumlahnya cukup banyak telah berhasil menyelamatkan salinan karya Hamzah Fansuri sehingga sampai ke tangan kita ini. Hamzah Fansuri wafat pada akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam di daerah Singkel, dekat kota kecil Rundeng di hulu Sungai Singkel. Konon makamnya sangat dimuliakan.
Hamzah Fansuri sangat giat dalam mengembangkan ajaran tasawuf yang ia yakini. Selain menjadi seorang yang ahli tasawuf, Hamzah Fansuri merupakan seorang yang ahli dalam tata bahasa. Ia merupakan penulis yang mempunyai peran dalanm perkembangan bahasa Melayu. Ia berhasil mengangkat naik martabat bahasa Melayu dari sekedar lingua franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan modern. Bahkan Al-Attas menyebutnya sebagai Bapak Kesusastraan Melayu Modern. Hamzah Fansuri menghasilkan karya tulis yang banyak. Sampai saat ini hanya ada tiga risalah tasawuf dan 32 kumpulan syair yang dipandang asli. Karya sastra Hamzah dibakar berdasarkan perintah Sultan Iskandar Tsani atau anjuran Nuruddin ar-Raniri, mufti dan penasehat agama di Istana Sultan tersebut.
Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang berhasil ditemukan, diselamatkan dan diterjemahkan yang berupa prosa adalah:
a) Asrār al-‘Arifīn fi Bayāni ‘Ilmis Sulȗki wa Tauid
Karya ini berbentuk prosa yang paling panjang dari karya-karya Hamzah Fansuri. Kitab ini membahas masalah ilmu tauhid dan ilmu tarekat. Karya ini ditemukan oleh Snouck Hurgronje di Aceh pada akhir abad ke-19 dan sekarang di simpan di museum Perpustakaan Leiden.
b) Syarāb al-‘Asyiqīn
Syarāb al-‘Asyiqīn yang juga dikenal dengan judul Zināt al-Muwāhidīn (perhiasan segala orang yang muwahid) adalah kitab yang membicarakan masalah tarekat, syariat, hakikat, dan makrifat kepada Allah.
c) Al-Muntahī
Karya ini merupakan risalah tasawufnya yang paling ringkas, merupakan esai yang sangat padat, menguraikan pandangan Hamzah Fansuri mengenai ucapan Syahadat sufi yang menimbulkan perdebatan di kalangan ulama.
d) Ruba'i Hamzah Fansuri (syair sufi,yang penuh butir-butir filsafat).

Adapun karyanya yang berupa syair, antara lain Syair si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang, dan Syair Perahu.

*Diolah dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar