Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara (1)
HAMZAH FANSURI
Kapan dan di mana Hamzah Fansuri dilahirkan tidak
diketahui secara pasti. Ada yang menyebutkan bahwa ia dilahirkan di Barus pada
akhir abad ke -16 Barus merupakan sebagian dari Kerajaan Aceh. Sayyid Muhammad
Naquib al-Attas menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus atau
Fansur kira-kira pada abad ke-16 Masehi.
Konon kemudian nama Fansuri digabungkan di belakang namanya sehingga
menjadi Hamzah Fansuri. Penggabungan namatempat asal sebagian gelar seperti ini
lazim pada waktu itu, misal Abdul Kadir Jailani, Abdul Rauf Singkel, dan
Syamsuddin Sumatrani.
Akan tetapi, ada pendapat lain berdasarkan syair karya
Hamzah Fansuri, yang menyatakan bahwa Hamzah Fansuri dikandung di Barus dan
dilahirkan di Shahr Nawi. Hamzah Fansuri hidup pada masa Kerajaan Aceh
Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV. Saiyidil
Mukammil ( 997-1011 H. = 589 -1604 M ). Hamzah Fansuri dikenal sebagai sufi
besar pada zamannya di wilayah Nusantara, pada abad ke -17. Bahkan, ia dikenal
bukan saja sebagai seorang ahli tasawuf, melainkan juga sebagai pengarang dan
penyair besar. Sayyid Naguib Alatas menyatakan bahwa Hamzah Fansuri merupakan
pujangga Melayu terbesar dalam abad XVII. Dibandingkannya Hamzah Fansuri
sebagai " Jalaluddin Rumi" kepulauan Nusantara. Hamzah Fansuri bersama
Syamsuddin Sumatrani dianggap sebagai pengembang Tarekat Wujudiyyah. Ajaran
mereka ditentang oleh Nuruddin Ar-Raniri karena dianggap ajaran sesat. Kemudian
atas anjuran Nuruddin Ar-Raniri kedua naskah tersebut dibakar di muka Masjid
Baiturrahman pada masa pemerintah Sultan Iskandar Thani.
Hamzah Fansuri, dalam ajarannya banyak dipengaruhi Ibn
Arabi, ahli tasawauf yang termasyur pada akhir abad ke -12 dan awal abad ke
-13. Ibn Arabi beranggapan bahwa segala makhluk itu asasnya esa. Selain Ibn
Arabi, dalam karangannya Hamzah Fansuri banyak mengutip pendapat ahli tasawuf
Parsi, seperti al-Junaid, Mansur Hallaj, Jalaluddin Rumi, serta Shamsu Tabriz.
Semasa hidupnya Hamzah Fansuri kurang dikenal, bahkan dimusuhi karena ajarannya
dianggap sesat. Bahkan, dalam Hikayat Aceh keberadaan Hamzah Fansuri sebagai
tokoh sastra dan tasawuf tidak disebutkan. Ia justru dikenal setelah wafat.
Para pengikutnya yang jumlahnya cukup banyak telah berhasil menyelamatkan
salinan karya Hamzah Fansuri sehingga sampai ke tangan kita ini. Hamzah Fansuri
wafat pada akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam di daerah Singkel,
dekat kota kecil Rundeng di hulu Sungai Singkel. Konon makamnya sangat
dimuliakan.
Hamzah Fansuri sangat giat dalam mengembangkan ajaran tasawuf yang
ia yakini. Selain menjadi seorang yang ahli tasawuf, Hamzah Fansuri merupakan
seorang yang ahli dalam tata bahasa. Ia merupakan penulis yang mempunyai peran
dalanm perkembangan bahasa Melayu. Ia berhasil mengangkat naik martabat bahasa
Melayu dari sekedar lingua franca menjadi suatu bahasa intelektual dan
ekspresi keilmuan yang canggih dan modern. Bahkan Al-Attas menyebutnya sebagai
Bapak Kesusastraan Melayu Modern. Hamzah Fansuri menghasilkan karya tulis yang banyak. Sampai
saat ini hanya ada tiga risalah tasawuf dan 32 kumpulan syair yang dipandang
asli. Karya sastra Hamzah dibakar berdasarkan perintah Sultan Iskandar Tsani atau anjuran Nuruddin ar-Raniri, mufti dan penasehat agama di Istana Sultan
tersebut.
Karangan-karangan
Syeikh Hamzah Fansuri yang berhasil ditemukan, diselamatkan dan diterjemahkan yang berupa prosa adalah:
a) Asrār al-‘Arifīn fi Bayāni ‘Ilmis Sulȗki
wa Tauḥid
Karya ini berbentuk prosa
yang paling panjang dari karya-karya Hamzah Fansuri. Kitab ini membahas masalah ilmu tauhid dan
ilmu tarekat. Karya ini ditemukan oleh Snouck Hurgronje di Aceh pada
akhir abad ke-19 dan sekarang di simpan di museum Perpustakaan Leiden.
b) Syarāb al-‘Asyiqīn
Syarāb al-‘Asyiqīn yang juga dikenal dengan
judul Zināt al-Muwāhidīn (perhiasan segala orang yang muwahid) adalah
kitab yang membicarakan masalah tarekat, syariat, hakikat, dan makrifat kepada Allah.
c) Al-Muntahī
Karya ini merupakan risalah tasawufnya yang paling ringkas, merupakan esai
yang sangat padat, menguraikan pandangan Hamzah Fansuri mengenai ucapan Syahadat
sufi yang menimbulkan perdebatan di kalangan ulama.
d) Ruba'i Hamzah Fansuri (syair sufi,yang penuh butir-butir filsafat).
Adapun karyanya yang berupa syair, antara lain Syair si
Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang, dan
Syair Perahu.
*Diolah dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar