Selasa, 18 Oktober 2016


Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara (3)


NURUDDIN AR-RANIRI

Nuruddin dilahirkan di Ranir, sebuah Kota Pelabuhan Tua di Pantai Gujarat, India, nama lengkapnya adalah Nurrudin Muhhammad bin Hasan al-Hāmid as-Syafi’i ar-Raniri. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan besar menjelang akhir ke-16. Ar-Raniri telah wafat kurang lebih pada 21 September 1658 M. Di Ranir ia memulai belajar ilmu agama. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Tarim, Yaman, yang kemudian merupakan pusat studi ilmu agama Islam. Pada tahun 1621 M, ia menuju Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan mengunjungi makam Nabi. Setelah itu, ia kembali ke India. Sebagai seorang ulama, Nuruddin mempunyai sikap yang keras dan tegas dalam menghadapi permasalahan yang bertentantangan dengan keyakinanya. Di India misalnya, ia menentang keras agama sinkretis, yaitu suatu agama baru yang merupakan gabungan antara Islam dan agama Hindu.
Setelah beberapa tahun merantau ke Timur Tengah dan wilayah anak benua India, Nuruddin mulai merantau ke wilayah Nusantara dengan memilih Aceh sebagi tempat tinggalnya. Ia pergi ke Pahang, tinggal lama di sana dan memperdalam penguasaannya terhadap bahasa dankesusastraan Melayu sehingga akhirnya mampu menulis kitab dan karya sastra dalam bahasa ini. Nuruddin tiba di Pahang sejak 1618 M yang telah menjadi wilayah kekuasaan Aceh. Di Pahang inilah ia menulis karya-karyanya. Kemungkinan di Pahang ini juga ia berkenalan dengan Sultan Iskandar Tsani. Jadi disimpulkan bahwa Nuruddin mengalami masa-masa dimana kejayaan Syamsuddin yang menjadi Syaikh Al-Islam pada masa Sultan Iskandar Muda. Di bawah perlindungan Sultan Iskandar Muda inilah, doktrin-doktrin wujudiyah diajarkan oleh Syamsuddin. Karena itu, belum tepat bagi Nuruddin menentang tatanan politik yang mapan.
Ketika Syamsuddin dan Sultan Iskandar Muda secara berturut-turut meninggal, pada tahun 1047 H/1637 M, Nuruddin pergi ke Aceh dan mendapat sambutan hangat dari Sultan Iskandar Tsani. Dia menetap di Aceh selama tahun 1637-1644 M dan menjadi tokoh yang sangat berpengaruh secara politik sebagai penasehat raja. Ia mulai melancarkan pembaharuan Islam di Aceh setelah mendapat pijakan yang kuat di Istana Aceh. Pembaruan utamanya adalah memberantas aliran wujudiyah yang dianggapnya sebagai aliran sesat. Ia dikenal sebagai Syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran wujudiyah. Ia mengeluarkan fatwa untuk memburu orang-orang yang dianggap sesat dan membunuh orang yang menolak bertaubat dari kesesatan. Banyak buku karangan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin dibakar. Dari sini dapat dilihat bahwa penghayatan dan pemahaman keagamaan di Aceh sangat dipengaruhi oleh kekuasaan politik. Selama penguasa mendukung suatu paham keagamaan tertentu, maka paham tersebut akan diterima dan diikuti oleh semua kalangan masyarakat.
Hukum kafir yang di fatwakan oleh Nuruddin terhadap pengikut wujudiyah dan tindakan membunuh mereka itu rupanya telah menjadi suatu peristiwa besar yang menjalar sampai ke Arab. Melauli sebuah tulisan yang di ungkap oleh Voorhoeve, Ibrahim ibn Hasan al-Kurani menjawab pertanyaan yang dikirim oleh Abdurrauf. Ia menjelaskan bahwa seseorang muslim tidak boleh dipandang kafir selagi masih ada jalan menafsirkan dengan cara yang benar. Akhirnya, setelah mendapat dukungan penuh dari Sultan selama tujuh tahun, Nuruddin secara tiba-tiba meninggalkan Aceh dan kembali ke tempat kelahirannya, Ranir. Kejadian itu terjadi pada tahun 1644 yang dicatat oleh salah seorang muridnya dalam karya ar-Raniri, Jawāhir Al-‘Ulȗm fī Kasyf Al-Ma’lȗm.
Tetapi menurut pendapat lain menjelaskan bahwa Nuruddin pindah karena ada orang baru yang bernama Syaifurrijal yang mampu merebut hati banyak orang Aceh karena pengetahuannya dan kesalehannya.  Sebagai ulama dan seorang penasehat kerajaan, Nuruddin merupakan seorang penulis yang hebat. Secara keseluruhan, ia menulis sekitar 29 buah dengan judul.
Di antara 29 karyanya adalah:
a)      Bustān al-Salātīn (Taman Raja-raja) merupakan karyanya yang ditulis di Aceh dala tahun 1638-1641, atas perintah Sultan Iskandar Tsani.74 Kitab ini terdiri dari tujuh bab dan dan tiap bab terdiri dari beberapa fasal.
b)      Sirāt al-Mustaqīm (1634) merupakan karya Nuruddin yang mejelaskan tentang ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain masalh yang dihadapi oleh kaum Muslimin setiap hari.
c)      Durrat al-Farāid (1635) kitab yanga ditulis dalam bahasa Melayu ini merupakan kitab yang menjelaskan tentang akidah.
d)      Asrār al-Insān fī Ma‘rifāt al-Rȗh wa al-Rahmān merupakan karya yang disusun atas perintah Sultan Iskandar Tsani dan baru selesai pada masa Sultanah Safiatuddin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar