PERANG SABIL DI
NUSANTARA 5
PERANG JAWA (3)
JELANG AKHIR PERANG
Pada awal Januari 1829, Komisaris
Jenderal Du Bus telah mengirimkan Kapten Roeps dan seorang staf Kiai Mojo
untuk mengadakan perundingan dengan Diponegoro di markas besarnya di Pengasih.
Pada akhir Januari 1829 mereka dapat diterima di markas perjuangan
Diponegoro dan pembicaraan dimulai antara delegasi Belanda dengan delegasi
Diponegoro. Tetapi di saat pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba terdengar suara
dentuman meriam dari pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bauer. Mendengar
letusan meriam, serentak pasukan Diponegoro mau membunuh delegasi Belanda
yang sedang berada di tengah-tengah meja perundingan. Berkat kebijaksanaan Alibasah
(Sentot) delegasi Belanda itu dapat selamat dan memerintahkan agar pasukan Belanda
mengundurkan diri, jika jiwa para delegasi Belanda ingin selamat.
Pada bulan Februari 1829 Belanda
mengadakan gencatan senjata secara sepihak. Sebab Jenderal De Kock mencoba
membujuk Alibasah, panglima muda remaja yang sangat ditakuti
oleh Belanda. Jenderal De Kock mengirimkan surat kepada Alibasah, yang isinya
antara lain menjamin kebebasan bepergian bagi Alibasah dengan pasukannya di daerah
kekuasaan Belanda tanpa ada gangguan. Bahkan De Kock mengirimkan beberapa
pucuk pistol kepada Alibasah sebagai tanda kenang-kenangan dan keinginan mau
berdamai. Taktik licik Belanda ini mempengaruhi pimpinan pasukan Diponegoro,
apalagi setelah beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Tumenggung
Padmanegara, Pangeran Pakuningrat diberikan kebebasan bepergian di daerah
kekuasaan Belanda pada bulan Ramadhan. Dalam kesempatan gencatan senjata ini
Jenderal De Kock menggunakan waktu untuk terus mengirim surat kepada beberapa
tokoh pasukan Diponegoro seperti Alibasah dan Pangeran Pakuningrat, yang isinya
tidak lain menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh tersebut dan keinginan Belanda untuk
bekerjasama dengan mereka.
Setelah gencatan senjata berjalan
tiga bulan tanpa mendapat hasil yang memuaskan bagi Belanda,
maka pertempuran dan operasi militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran sengit
di antara kedua belah pihak, sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh Johannes
Van Den Bosch sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda di Indonesia, dan Jenderal
Mercus De Kock diganti oleh Jenderal Mayor Benyamin Bischop sebagai pimpinan
tertinggi militer Hindia Belanda, pada bulan Mei 1829. Tetapi karena Jenderal Benyamin
Bischop sakit-sakitan pada tanggal 7 Juli 1829 meninggal dunia, maka praktis
pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda masih tetap berada di tangan Jenderal De Kock.
Pada akhir bulan Mei 1829 pasukan
kolonial Belanda mencari dengan seksama tempat Pangeran
Mangkubumi yang menjadi kepala urusan rumah tangga pasukan Diponegoro. Maksudnya
tidak lain agar dapat menangkap para anggota keluarga tokoh-tokoh pasukan
Diponegoro, untuk dapat memancing tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah. Pada
tanggal 21 Mei 1829 tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan para keluarga
tokoh-tokoh pasukan Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh pasukan Belanda di bawah
pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have. Hasilnya nihil, karena rombongan
Pangeran Mangkubumi telah pergi bersembunyi ke tempat lain. Usaha pengejaran
akan dilakukan, tetapi dengan tiba-tiba pasukan Di ponegoro di bawah pimpinan
Alibasah menyerang pasukan Belanda tersebut, sehingga terpaksa menghadapinya
dan dengan demikian rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari kejaran
Belanda.
Operasi militer untuk menangkap
Pangeran Mangkubumi tidak berhasil; diikuti dengan diplomasi
untuk mengajak berunding. Belanda menggunakan putera Pangeran Mangkubumi
yang telah menyerah yaitu Pangeran Natadiningrat untuk bisa membujuk Pangeran
Mangkubumi agar menghentikan pertempuran dengan Belanda, dengan alas an usia
telah lanjut dan Belanda berjanji untuk memberikan jabatan yang terhormat
dengan tempat dan gaji yang besar. Usaha ini tampak akan
berhasil, sebagaimana dilaporkan oleh Residen Van Nes pada tanggal 28 Juni 1829; tetapi
hasilnya ternyata gagal.
Kegagalan ini mendorong untuk
melakukan operasi militer besar-besaran ke pusat pertahanan pasukan Diponegoro
di desa Geger. Pada tanggal 17 Juli 1829 pasukan kolonial Belanda di bawah
pimpinan Kolonel Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan Mayor
Cox van Spengler dibantu dengan pasukan Mangkunegara menyerang desa Geger.
Dengan kekuatan yang tidak seimbang, markas Geger dapat direbut oleh pasukan
Belanda dan beberapa pimpinan pasukan Diponegoro gugur sebagai syuhada, antara
lain Sheikh Haji Ahmad dan Tunenggung Banuja.
Operasi militer terus ditingkatkan
oleh Belanda terhadap "kantong kantong" persembunyian pasukan
Diponegoro, sehingga pada akhir Juli 1829 putera Diponegoro yakni
Diponegoro Anom dan Raden Hasan Mahmud tertangkap oleh pasukan Letnan Kolonel
Sollewijn. Tertangkapnya putera Diponegoro ini dipergunakan untuk melemahkan
semangat perjuangan Diponegoro dengan cara mengancam akan membunuh
Diponegoro Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan selamat jika Diponegoro
menghentikan pertempuran. Hal ini terlihat dari surat Jenderal De Kock tertanggal
6 Agustus 1829. Tetapi usaha ini tidak berhasil melemahkan semangat tempur
Diponegoro.
Dalam
usaha konsolidasi, karena Alibasah dan Pangeran Bei sakit keras, maka Diponegoro
telah mengangkat pimpinan pasukan infantri kepada Syeikh Muhammad dan Baisah
Usman, sedangkan pasukan kavaleri dipimpin oleh Pangeran Sumanegara. Selesai konsolidasi, pasukan Diponegoro melakukan
serangan terhadap pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten
Have di Serma pada tanggal 3 Agustus 1829. Dalam pertempuran sengit ini, banyak
korban yang jatuh di kedua belah pihak, antara lain Syekh Muhammad dan Hasan
Usman. Untuk meningkatkan efektifitas operasi militer,
Jenderal De Kock telah memindahkan markas besarnya dari Magelang ke Sentolo. Dengan
demikian pasukan Belanda akan lebih dekat dengan pusat-pusat pertempuran yang
dilakukan oleh pasukan Diponegoro.
Bersamaan
dengan operasi militer Belanda yang ditingkatkan, Panglima Alibasah dan Pangeran
Bei telah sembuh, sehingga dapat aktif kembali memimpin pasukan Diponegoro yang
telah kehilangan dua orang panglimanya yaitu Syeikh Muhammad dan Basah Usman. Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi, di
saat pasukan Diponegoro melintasi sungai Brogo menuju Pajang
diserang oleh pasukan Belanda. Kedua belah pihak yang bertempur mati-matian,
mengakibatkan banyak jatuh korban, diantaranya seorang perwira Belanda mati terbunuh yaitu
Letnan Arnold.
Seiring dengan operasi militer yang
ditingkatkan, usaha diplomasi licik juga dilakukan. Pada
tanggal 7 Agustus 1829 Letnan Kolonel Sollewijn datang ke Kreteg untuk membujuk
keluarga Pangeran Mangkubumi untuk menyerah dengan janji jaminan dari Belanda.
Akhirnya Raden Ayu Anom (isteri kedua Pangeran Mangkubumi) beserta anak-anaknya
dan pengawalnya sebanyak 50 orang menyerah kepada Belanda. Dengan
posisi pasukan Diponegoro yang makin terjepit karena daerah operasinya makin diperkecil
oleh Belanda, kelelahan dan kekurangan bahan makanan dengan perang yang telah
berjalan lima tahun, akhirnya satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah kepada
Belanda. Pada tanggal 5 September 1829 Tumenggung Wanareja dan Tumenggung
Wanadirja bersama dengan 44 orang pasukannya menyerah. Pada tanggal 6
September 1829, atas bujukan Tumenggung Surianegara yang sengaja ditugaskan
oleh Jenderal De Kock, menyerah pulalah Tumenggung
Suradeksana dan Sumanegara kepada Belanda di Kalibawang. Pada tanggal 9 September
1829, Pangeran Pakuningrat bersama dengan pasukannya sebanyak 40 orang menyerah
lagi kepada Belanda.
Pada tanggal 21 September 1829 atas
nama pemerintah Hindia Belanda, Jenderal De Kock mengeluarkan pengumuman
tentang 'hadiah besar' bagi setiap orang yang dapat menangkap
hidup atau mati Diponegoro. Pengumuman itu antara lain berisi:
"Barangsiapa yang berani menyerahkan Diponegoro
hidup atau mati kepada penguasa Hindia Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal
Htndia Belanda sebagai seorang yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan
diberikan hadiah berupa uang kontan sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu pounds) dan
diberikan gelar kehormatan dengan gaji dan tanah yang cukup
luas".
Pengumuman yang menyayat hati ini
belum lagi kering, pada akhir September 1829 telah gugur Pangeran Bei
bersama dua orang puteranya yaitu Pangeran Jayakusuma dan Raden Mas Atmakusuma.
Bulan September 1829 benar-benar
bulan yang menyedihkan bagi Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25
September 1829 Mayor Bauer bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran
Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran
Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Tetapi Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock
mengutus Pangeran Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk
membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829 Pangeran Natadiningrat
berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan harinya,
tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke
Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah dijemput
oleh Residen Van Nes dan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta.
Pengaruh dari menyerahnya Pangerang
Mangkubumi sangat besar bagi pasukan Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah
pula pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran
Suryadipura, Pangeran Suryakusuma, Kanjeng Pangeran Dipasana, semuanya adalah mempunyai
hubungan famiIi dengan Diponegoro sendiri. Menyerahnya secara berturut-turut
orang-orang di sekitar Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan
Diponegoro. Apalagi usaha untuk menarik Alibasah, panglima pasukan
Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran
Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan saudara Alibasah sendiri, Belanda telah
berusaha untuk menaklukkannya.
Sejak
tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan walaupun pada permulaannya gagal,
karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah cukup berat; yaitu:
1.
Memberikan
uang jaminan sebesar £ I0.000.-
2.
Menyetujui
pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan
seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakaian seragam;
3.
Memberikan
400 - 500 pucuk senjata api;
4.
Pasukan
Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas
dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia;
5.
Mereka
bebas menjalankan agamanya,
6.
Tidak
ada paksaan minum Jenever atau arak;
7.
Diizinkan
pasukannya memakai surban.
Tawar-menawar syarat-syarat ini
dilakukan pada tanggal 17 Oktober 1829 di Imogiri, antara
delegasi Alibasah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan waktu
untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia.
Dalam surat yang ditulis Jenderal
De Kock kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, tertanggal 20
Oktober 1829, antara lain berisi: "...saya telah menulis surat kepada Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus
sedapat mungkin berusaha menyenangkan hati Alibasah, karena adalah hal yang
penting sekali apabila orang seperti Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan
turut membela kepentingan kita ..... seperti yang hendak saya
nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila
Alibasah sudah berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan
kita. Sungguhpun hal ini harus disertai beberapa pengorbanan dari pada kita."
Surat Jenderal De Kock ini mendapat
jawaban dari pemerintah Hindia Belanda di
Batavia tertanggal 25 Oktbber 1829, antara lain
berbunyi: "Pemerintah pada dasarnya setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal De Kock)
bahwa dari pihak kita harus dipergunakan segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu
dapat sesuai dengan kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin
mencegah kembalinya Alibasah ke pihak pemberontak.
Melihat isi surat-surat pemerintah
Bindia Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia
memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada Residen
Yogyakarta diperintahkan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000,- dan 200
pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasah serta pasukannya itu langsung
dibawah komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada dibawah
wewenang sultan. Syarat-syarat lainnya seluruhnya dipenuhi. Untuk pelaksanaan
penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal 23 Oktober 1829 Jenderal De
Kock datang ke kota Yogyakarta untuk menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober
1829 Alibasah dengan pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh
Jenderal De Kock dengan upacara militer yang meriah.
Dengan menyerahnya Pangeran
Mangkubumi, Alibasah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung serta
tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-tokoh Perang Jawa,
maka secara praktis Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang
dialami oleh Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyaknya
sababat-sahabat meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi yang
demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati syahid
di medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara. Kedua
alternatif itu sama-sama tidak menyenangkan!
Setelah menyerahnya Alibasah dengan
pasukannya, operasi militer Belanda terus ditingkatkan guna memberikan pukulan terakhir terhadap
pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan
Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro yang terus-menerus ditingkatkan, banyak pula
tokoh-tokoh Perang Jawa yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829;
salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga;
Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk
lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi kesehatan, akhirnya wafat
di puncak gunung Sirnabaya Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim (saudara
Diponegoro sendiri).
(bersambung Akhir Perang Diponegoro,
in sya Allah...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar