Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara
SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI
Syekh Yusuf al-Makassari yang
mempunyai nama asli Muhammad Yusuf Abu al-Mahasin Hadiyallah Tajul-Khalwati al-Makassari
juga dikenal penduduk Makassar sebagai Tuanta Salamaka dilahirkan pada
tahun 1036 H/1626 M. Menurut Hikayat Syekh Yusuf, ia dilahirkan dari perkawinan
seorang tua dengan seorang anak perempuan. Dalam keadaan hamil anak perempuan tersebut diambil istri
oleh Sultan Gowa. Ia dibesarkan di istana dan diangkat oleh raja sebagai
anaknya. Sejak kecil ia belajar ilmu-ilmu agama. Namun kemudian, ia mempunyai kecenderungan yang
kuat kepada ilmu tasawuf.
Dia mula-mula belajar membaca Al-Quran dengan guru setempat bernama Daeng ri
Tasammang. Selanjutnya, dia belajar bahasa Arab, fikih, tauhid, dan tasawuf
dengan Sayyid Ba’Alwi bin
‘Abdullah al-‘allamah Al-Thahir, seorang dai Arab yang tinggal di
Bontoala. Ketika dia berusia 15 tahun, dia melanjutkan pelajarannya ke Cikoang.
Syekh Yusuf belajar di pondok Cikoang di bawah bimbingan dan asuhan Syekh
Jalaluddin. Karena kecemerlangan dan kecerdasannya dalam mengikuti pengajian, akhirnya beliau
disarankan oleh gurunya untuk meneruskan pelajarannya di Makkah dan Madinah.
Pada tanggal 22
September 1644 M, beliau berangkat dengan menumpang kapal Melayu, dengan tujuan
menuntut ilmu-ilmu Islam di Jazirah Arabia terutama di Makkah dan Madinah sebagai pusat pendidikan Islam
pada masa itu. Tujuan pertama adalah Banten, sebagaimana jalur pelayaran niaga pada waktu itu mesti melalui Laut Jawa dan transit di Banten. Ketika ia singgah
di Banten, ia tidak merasa dirinya orang asing. Ia dihormati dan dihargai
sebagai seorang alim. Hal ini disebabkan oleh hubungan antara Makassar dan Banten
sangatlah baik. Ia juga berkenalan dengan ulama dan tokoh agama serta
orang-orang besar di Banten, termasuk Abdul Fattah (putra mahkota), anak Sultan
Abul Mafakhir Abdul Kadir (1598-1650), Sultan kerajaan
Banten pada masa itu.
Setelah beberapa
lama berada di Banten, kemudian beliau meneruskan perjalanannya ke Aceh. Di
sana ia menemui Syekh Nuruddin al-Raniri dan mempelajari tarekat Qadiriyah
sampai berhasil mendapatkan ijazah dari ulama besar itu. Namun pertemuan antara
guru dan murid ini banyak dipertanyakan oleh para sejarawan, sebab pada waktu
Syekh Yusuf sedang berjalan ke tanah suci, Nuruddin telah pulang ke India, dan
tidak adanya bukti bahwa dia kembali ke Aceh kembali. Mungkin yang dimaksud
adalah pamannya Nuruddin yang bernama Muhammad Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniri, yang
datang ke Aceh pada tahun 1580. Perjalanan beliau selanjutnya adalah
menuju Yaman. Kemungkinan kecendrungannya untuk singgah belajar di Yaman adalah
atas saran gurunya, Syekh Muhammad Jilani di Aceh hal mana ia juga pernah
belajar dan menerima ijazah Tarekat di negeri Yaman. Setelah beliau selamat
tiba di Bandara Hadramaut (Yaman) beliau berguru pada Syekh Abu Abdillah
Muhammad Abdul Baqi (w.1664), seorang ulama yang terkenal di Yaman pada masa
itu dan juga Khalifah Tarekat al-Naqshabandiyyah. Setelah beberapa lama
mengaji di Yaman, terutama kepada kedua gurunya yang tersebut di atas, kemudian
beliau meneruskan perjalanannya menuju kota Mekah untuk menunaikan haji dan
beliau menuju Madinah untuk menziarahi makam Rasulullah SAW. Di sinilah
Abdurrauf mungkin belajar bersama dengan Syekh Yusuf.
Syekh Yusuf mengembara kurang lebih selama 22 tahun untuk
menuntut ilmu pengetahuan keislaman. Akhirnya, ia kembali pulang ke tanah air. Kepulangannya ke
Gowa bermaksud untuk menyebarkan agama Islam melalui dakwah dan pendidikan.
Tetapi ia sangat kecewa ketika menyaksikan
kenyataan bahwa masyarakat Gowa sudah menyimpang dari Syariat Islam. Gowa penuh
dengan kemaksiatan seperti minum tuak, adu ayam, dan judi. Ia memberi nasehat
kepada raja Gowa agar meluruskan syariat namun tidak diterima. Akhirnya pada tahun 1672 ia
meninggalkan Gowa dan menuju Banten. Ketika ia kembali ke Banten yang telah
berubah, ia mendapati sahabatnya Sultan Abdul Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa)
telah menduduki tahta Kesultanan Banten. Ia menikahi salah seorang putri Sultan
Ageng Tirtayasa dan diangkat menjadi mufti Kesultanan dan raja muda. Perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan
Sultan Haji yang bersekutu dengan Belanda mengakibatkan peperangan. Perang
terjadi selam dua tahun (Februari 1682-Desember 1683). Sultan Ageng tertangkap
pada Maret 1683 karena tipuan anaknya lantas ia dimasukkan penjara. Perang
gerilya diteruskan oleh Syekh Yusuf namun karena bujukan akhrinya ia ditangkap.
Pada tanggal 12 September 1684, ia dibuang ke Ceylon pada usia 85 tahun bersama
dua istrinya, dua pembantu wanita, dua belas santri, beberapa anak dan
budak-budaknya.
Selama beberapa
tahun dibuang ke Afrika Selatan, akhirnya Syekh Yusuf Al-Makassari meninggal
dunia pada 23 Mei 1699. Ia dimakamkan di daerah pertanian Zandvielt, di distrik
Setellenbosch. Makam Syekh Yusuf kemudian menjadi keramat dan dianggap sebagai
tempat suci.
Pemikiran-pemikiran Syekh Yusuf banyak sekali terpengaruh dari sufi
sunni Abu Hamid al-Ghazālī.
Syaikh Yusuf adalah
figur sufi yang cukup produktif dalam karya tulis, berani, dan tegas menghadapi
penguasa. Hal ini terlihat dari surat-surat yang dialamatkan kepada Sultan
Makassar yang memuat nasihat-nasihat Agama. Menurut Nabila Lubis judul karangan
Syekh Yusuf dalam bahasa Arab sebanyak 32 judul buku. Di antaranya adalah
sebagai berikut:
a) Habl Al-Marīd li Sa’adah Al-Murīd merupakan karya Syekh Yusuf
yang diminta oleh beberapa muridnya yang berisi kata-kata dari Syekh yang
pandai-pandai.
b) Al-Futȗhah Robbaniyyah, Karya ini merupakan risalah
yang berisi tentag keutamaan Syaikh dan kewajiban murid kepada gurunya.
c) Zubdāh al-Asrār fī Taḥqīq Masyārib Al-Akhyār merupakan karya yang telah
ditelaah isinya oleh Nabila Lubis. Karya ini berisikan tentang penjelasan-penjelasan mengenai
konsep waḥdāt al-wujȗd.
d) Thufāh Al-Labib bi
Liqa’ Al-Ḩabīb merupakan karya Syekh Yusuf yang berisikan tentang keutamaan
Dzikir.
e) Safīnah Al-Najāh
Al-Mustāfadah ‘an Al-Masāyikh Al-Tsiqāt merupakan karya Syekh Yusuf yang menerangkan tentang
nasihat-nasihat Syekh mengenai makna baiat.
f) Al-fawāid Al-Yusȗfiyyah
fī Bayān Taḥqiq Al-Shufiyyah merupakan sbuah risalah yang ditulis oleh beliau
sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan murid-muridnya mengenai tasawuf.
g) Muqaddimah Al-Fawāid nila Mā La Buddā min Al-Aqā’id, dalam risalah ini beliau
menguraikan tentang macam-macam zikir dan makna konsep wujud makhluk dalam ilmu
Allah SWT.
Selain itu, Syekh Yusuf juga mempunyai banyak risalah
kecil, antara lain, Al-Barākat al-Saylaniyyah, Bidāyah Al-Mubtadi’, Qurrah
al-‘Ain, Sirr Al-Asrār, Daf’ Al-Bala’, Ghayah Al-Ikhtisar wa Nihāyah
Al-Intizhar, dan Thufāh Al-Abrar li Ahl Al-Asrār.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar