Selasa, 18 Oktober 2016


Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara (9)

SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI

Syekh Yusuf al-Makassari yang mempunyai nama asli Muhammad Yusuf Abu al-Mahasin Hadiyallah Tajul-Khalwati al-Makassari juga dikenal penduduk Makassar sebagai Tuanta Salamaka dilahirkan pada tahun 1036 H/1626 M. Menurut Hikayat Syekh Yusuf, ia dilahirkan dari perkawinan seorang tua dengan seorang anak perempuan. Dalam keadaan hamil anak perempuan tersebut diambil istri oleh Sultan Gowa. Ia dibesarkan di istana dan diangkat oleh raja sebagai anaknya. Sejak kecil ia belajar ilmu-ilmu agama. Namun kemudian, ia mempunyai kecenderungan yang kuat kepada ilmu tasawuf. Dia mula-mula belajar membaca Al-Quran dengan guru setempat bernama Daeng ri Tasammang. Selanjutnya, dia belajar bahasa Arab, fikih, tauhid, dan tasawuf dengan Sayyid Ba’Alwi bin ‘Abdullah al-‘allamah Al-Thahir, seorang dai Arab yang tinggal di Bontoala. Ketika dia berusia 15 tahun, dia melanjutkan pelajarannya ke Cikoang. Syekh Yusuf belajar di pondok Cikoang di bawah bimbingan dan asuhan Syekh Jalaluddin. Karena kecemerlangan dan kecerdasannya dalam mengikuti pengajian, akhirnya beliau disarankan oleh gurunya untuk meneruskan pelajarannya di Makkah dan Madinah.
Pada tanggal 22 September 1644 M, beliau berangkat dengan menumpang kapal Melayu, dengan tujuan menuntut ilmu-ilmu Islam di Jazirah Arabia terutama di Makkah dan Madinah sebagai pusat pendidikan Islam pada masa itu. Tujuan pertama adalah Banten, sebagaimana jalur pelayaran niaga pada waktu itu mesti melalui Laut Jawa dan transit di Banten. Ketika ia singgah di Banten, ia tidak merasa dirinya orang asing. Ia dihormati dan dihargai sebagai seorang alim. Hal ini disebabkan oleh hubungan antara Makassar dan Banten sangatlah baik. Ia juga berkenalan dengan ulama dan tokoh agama serta orang-orang besar di Banten, termasuk Abdul Fattah (putra mahkota), anak Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir (1598-1650), Sultan kerajaan Banten pada masa itu.
Setelah beberapa lama berada di Banten, kemudian beliau meneruskan perjalanannya ke Aceh. Di sana ia menemui Syekh Nuruddin al-Raniri dan mempelajari tarekat Qadiriyah sampai berhasil mendapatkan ijazah dari ulama besar itu. Namun pertemuan antara guru dan murid ini banyak dipertanyakan oleh para sejarawan, sebab pada waktu Syekh Yusuf sedang berjalan ke tanah suci, Nuruddin telah pulang ke India, dan tidak adanya bukti bahwa dia kembali ke Aceh kembali. Mungkin yang dimaksud adalah pamannya Nuruddin yang bernama Muhammad Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniri, yang datang ke Aceh pada tahun 1580. Perjalanan beliau selanjutnya adalah menuju Yaman. Kemungkinan kecendrungannya untuk singgah belajar di Yaman adalah atas saran gurunya, Syekh Muhammad Jilani di Aceh hal mana ia juga pernah belajar dan menerima ijazah Tarekat di negeri Yaman. Setelah beliau selamat tiba di Bandara Hadramaut (Yaman) beliau berguru pada Syekh Abu Abdillah Muhammad Abdul Baqi (w.1664), seorang ulama yang terkenal di Yaman pada masa itu dan juga Khalifah Tarekat al-Naqshabandiyyah. Setelah beberapa lama mengaji di Yaman, terutama kepada kedua gurunya yang tersebut di atas, kemudian beliau meneruskan perjalanannya menuju kota Mekah untuk menunaikan haji dan beliau menuju Madinah untuk menziarahi makam Rasulullah SAW. Di sinilah Abdurrauf mungkin belajar bersama dengan Syekh Yusuf.
Syekh Yusuf mengembara kurang lebih selama 22 tahun untuk menuntut ilmu pengetahuan keislaman. Akhirnya, ia kembali pulang ke tanah air. Kepulangannya ke Gowa bermaksud untuk menyebarkan agama Islam melalui dakwah dan pendidikan. Tetapi ia sangat kecewa ketika menyaksikan kenyataan bahwa masyarakat Gowa sudah menyimpang dari Syariat Islam. Gowa penuh dengan kemaksiatan seperti minum tuak, adu ayam, dan judi. Ia memberi nasehat kepada raja Gowa agar meluruskan syariat namun tidak diterima. Akhirnya pada tahun 1672 ia meninggalkan Gowa dan menuju Banten. Ketika ia kembali ke Banten yang telah berubah, ia mendapati sahabatnya Sultan Abdul Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa) telah menduduki tahta Kesultanan Banten. Ia menikahi salah seorang putri Sultan Ageng Tirtayasa dan diangkat menjadi mufti Kesultanan dan raja muda. Perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji yang bersekutu dengan Belanda mengakibatkan peperangan. Perang terjadi selam dua tahun (Februari 1682-Desember 1683). Sultan Ageng tertangkap pada Maret 1683 karena tipuan anaknya lantas ia dimasukkan penjara. Perang gerilya diteruskan oleh Syekh Yusuf namun karena bujukan akhrinya ia ditangkap. Pada tanggal 12 September 1684, ia dibuang ke Ceylon pada usia 85 tahun bersama dua istrinya, dua pembantu wanita, dua belas santri, beberapa anak dan budak-budaknya.
Selama beberapa tahun dibuang ke Afrika Selatan, akhirnya Syekh Yusuf Al-Makassari meninggal dunia pada 23 Mei 1699. Ia dimakamkan di daerah pertanian Zandvielt, di distrik Setellenbosch. Makam Syekh Yusuf kemudian menjadi keramat dan dianggap sebagai tempat suci.  Pemikiran-pemikiran Syekh Yusuf banyak sekali terpengaruh dari sufi sunni Abu Hamid al-Ghazālī.
Syaikh Yusuf adalah figur sufi yang cukup produktif dalam karya tulis, berani, dan tegas menghadapi penguasa. Hal ini terlihat dari surat-surat yang dialamatkan kepada Sultan Makassar yang memuat nasihat-nasihat Agama. Menurut Nabila Lubis judul karangan Syekh Yusuf dalam bahasa Arab sebanyak 32 judul buku. Di antaranya adalah sebagai berikut:
a)      Habl Al-Marīd li Sa’adah Al-Murīd merupakan karya Syekh Yusuf yang diminta oleh beberapa muridnya yang berisi kata-kata dari Syekh yang pandai-pandai.
b)      Al-Futȗhah Robbaniyyah, Karya ini merupakan risalah yang berisi tentag keutamaan Syaikh dan kewajiban murid kepada gurunya.
c)      Zubdāh al-Asrār fī Taqīq Masyārib Al-Akhyār merupakan karya yang telah ditelaah isinya oleh Nabila Lubis. Karya ini berisikan tentang penjelasan-penjelasan mengenai konsep wadāt al-wujȗd.
d)      Thufāh Al-Labib bi Liqa’ Al-abīb merupakan karya Syekh Yusuf yang berisikan tentang keutamaan Dzikir.
e)      Safīnah Al-Najāh Al-Mustāfadah ‘an Al-Masāyikh Al-Tsiqāt merupakan karya Syekh Yusuf yang menerangkan tentang nasihat-nasihat Syekh mengenai makna baiat.
f)       Al-fawāid Al-Yusȗfiyyah fī Bayān Taqiq Al-Shufiyyah merupakan sbuah risalah yang ditulis oleh beliau sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan murid-muridnya mengenai tasawuf.
g)      Muqaddimah Al-Fawāid nila Mā La Buddā min Al-Aqā’id, dalam risalah ini beliau menguraikan tentang macam-macam zikir dan makna konsep wujud makhluk dalam ilmu Allah SWT.
Selain itu, Syekh Yusuf juga mempunyai banyak risalah kecil, antara lain, Al-Barākat al-Saylaniyyah, Bidāyah Al-Mubtadi’, Qurrah al-‘Ain, Sirr Al-Asrār, Daf’ Al-Bala’, Ghayah Al-Ikhtisar wa Nihāyah Al-Intizhar, dan Thufāh Al-Abrar li Ahl Al-Asrār.

                                                                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar