Selasa, 18 Oktober 2016


Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara (7)


SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI

Syekh Muhammad Arsyad Banjari dilahirkan di Desa Lok Gabang, Martapura, Kabupaten Banjar, Propinsi Kalimantan Selatan pada hari Kamis, pada malam Kamis pukul 3.00 (waktu sahur), 15 Safar 1122 H / 17 maret 1710 M. Wafat pada tanggal 6 Syawal 1227H/ 13 oktober 1812M di desa Dalam Pagar. Muhammad Arsyad Banjari nama lengkapnya Muhammad Arsyad bin Abdullah. Ia merupakan anak pertama dari pasangan Abdullah dan Aminah.
Sejak kecil Muhammad Arsyad al-Banjari kelihatan cerdas serta mempunyai akhlak yang baik. Kehebatannya sejak kecil ialah dalam bidang seni lukis dan seni tulis, sehingga siapa saja yang melihat karyanya akan merasa kagum dan terpukau. Anak sulung dari lima bersaudara ini memulakan pendidikan asas dengan ayahanya sendiri dan guru-guru setempat, dan sewaktu berumur tujuh tahun sudah bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan fasih.
Pada suatu hari, Sultan mengadakan kunjungan ke kampung-kampung. Apabila Sultan ke Kampung Lok Gabang, Sultan berkesempatan melihat hasil karya lukisan Muhammad Arsyad yang indah dan memukau hati. Karena tertarik pada kecerdasan yang luar biasa dan kemahirannya, Sultan berhajat untuk membesarkan dan mendidik Muhammad Arsyad yang waktu itu berusia 7 tahun. Maka ia diambil sebagai anak angkat oleh Sultan Banjar yang bernama Sultan Tahlilullah (1700M-1745M) dan ia mendapat pendidikan penuh dari guru-guru di istana sehingga usianya 30 tahun. Kemudian ia di nikahkan oleh Sultan Banjar dengan seorang wanita yang solehah bernama Tuan Bajut. Hasil perkawinan tersebut, beliau dikaruniai seorang puteri yang diberi nama Syarifah Fathimah.
Tidak lama setelah pernikahan Muhammad Arsyad Al-Banjari kemudian diantar meneruskan pengajian dan pengembaraan ilmunya di Makkah dan Madinah. Ia menuntut ilmu di Makkah selama 30 tahun. Setelah 30 tahun di Mekah Ia pergi belajar di Madinah selama 5 tahun. Selama menuntut ilmu tersebut ditanggung oleh Sultan Tamjidillah (1745-1778 M) dan pengganti baginda Sultan Tahmidillah (1778-1808 M). Selama belajar di Makkah, Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari tinggal di sebuah rumah yang dibelikan oleh Sultan Banjar yang terletak di kampung Samiyyah yang disebut juga dengan Barhat Banjar.
Semasa di Makkah, Syekh Muhammad Arsyad belajar dengan tekun di Masjidil Haram. Ia bersama sahabat-sahabatnya yang semuanya ulama telah mempelajari banyak bidang ilmu, mulai dari ilmu-ilmu agama seperti akidah, akhlak, fiqih, sejarah Islam dan bahasa Arab, termasuk juga geografi, biologi, matematik, geometri, ilmu falaq atau astronomi. Ia dapat menguasai semua ilmu yang dipelajari dari guru-gurunya tersebut dengan sangat baik. Dengan izin seorang gurunya bernama Syaikh ‘Ata’illah bin Ahmad (W.1161 H/1748 M) ia izin untuk mengeluakan fatwa-fatwanya dan mengajar di Masjidil Haram. Selain sangat alim dalam bidang fiqah, ia juga mendalami bidang Tasawuf sehingga ditauliahkan dengan ijazah dan kedudukan bertarap khalifah.
Selama menuntut ilmu di Mekkah ia banyak berguru dengan ulama-ulama besar di sana yang terkenal di seluruh dunia Islam pada masa itu, antaranya: Syeikh ‘Athaillah bin Ahmad al-Misriy, Syeikh Muhammad bin ‘Abdul-Karim as-Samman al-Madani al-Qadiri{tokoh tarekat Samaniah, beliau juga guru Syeikh ‘Abd al-Samad al-Falimbani}, Syeikh Salim bin Abdullah al-Basri dan Ibrahim ar-Rais az-Zamzami, dari guru beliau Syaikh Ibrahim ar-Rais az-Zamzami inilah al-Banjari mempelajari ilmu falak sehingga menjadi ahli pakar dalam bidang tersebut. Ini juga menjadikan beliau menonjol di kalangan ulama Melayu-Indonesia.
Untuk menambah ilmu lagi, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari bersama para sahabatnya ingin merantau pula ke Qahirah atau Mesir, namun setelah mereka bersiap untuk berangkat, mereka mendapati kabar bahawa ulama besar Mesir yaitu Syeikhul-Islam Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi datang ke Madinah. Lantas beliau bersama sahabat-sahabatnya pergi ke Madinah untuk berguru dengan Syeikh tersebut, mereka berada di sana selama 5 tahun.
Suatu ketika, al-Palimbani, al-Banjari, al-Batawi dan al-Bugisi dikabarkan meminta izin kepada guru mereka di Makkah, Syeikh Athallah al Mashri, untuk menimba ilmu ke Mesir. Namun sang guru memberi nasihat lain. Guru mereka menasehatkan bahawa mencari ilmu memang sangat penting, tapi mengajarkan ilmu adalah hal yang juga tak boleh ditinggalkan. Sang guru Syeikh Athallah al-Mashri, meminta mereka untuk kembali ke tanah air dan mengajarkan Islam dan ilmu yang telah banyak mereka perolehi dan pelajari dalam masa yang sangat lama tersebut serta menyebarkan dakwah islamiyah di tempat masing-masing.
Sebelum pulang, keempat sahabat sepakat untuk berhaji kembali di Tanah Suci Mekkah. Pada saat itu tanpa disangka-sangka Syekh Muhammad Arsyad bertemu dengan adik kandung dia yaitu Zainal Abidin bin Abdullah yang sedang menunaikan ibadah haji. Sang adik membawa kabar berita bahwa anak dia yaitu Fatimah sudah beranjak dewasa dan sang anak menitipkan cincin kepada dia. Melihat hal demikian, tiga sahabat Syekh Muhammad Arsyad masing-masing mengajukan lamaran untuk memperisteri anak dia. Setelah berpikir lama, Syekh Muhammad Arsyad memeutuskan untuk mengundi, lamaran yang akan diterima. Hasil pengundian ternyata lamaran Syekh Abdul Wahab Bugis yang diterima. Untuk itu diadakahlah ijab kabul pernikahan antara Syekh Abdul Wahab Bugis dengan Fatimah binti Syekh Muhammad Arsyad, yang dinikahkan langsung oleh Syekh Muhammad Arsyad sambil disaksikan dua sahabat lainnya.
Maka bertolaklah keempat putra Nusantara ini menuju kampung halaman. Memasuki wilayah Nusantara, mula-mula mereka singgah di Sumatera yaitu di Palembang, kampung halaman Syekh Abdussamad al-Falimbani. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Betawi, yaitu kampung halaman Syekh Abdurrahman Misri. Selama di Betawi, Syekh Muhammad Arsyad diminta menetap sebentar untuk mengajarkan ilmu agama dengan masyarakat Betawi. Salah satu peristiwa penting selama di Betawi adalah ketika Syekh Muhammad Arsyad membetulkan arah kiblat Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat sekitar Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas batu dalam aksara Arab Melayu (tulisan Jawi) yang bertuliskan bahwa kiblat masjid ini telah diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Muhammad Arsyad al-Banjari pada tanggal 4 Safar 1186 H. Setelah dirasa cukup, maka Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdul Wahab Bugis berlayar menuju kampung halaman ke Martapura, Banjar.
Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan dia dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" ( Syamsuddin) yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar. Aktivitas dia sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, Sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’. Sultan inilah yang meminta kepada Syekh Muhammad Arsyad agar menulis sebuah Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kelak kemudian dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin.
Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar.
Di samping mendidik, ia juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk keperluan murid-muridnya serta keperluan kerajaan. Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam terjemahan bebas adalah "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk keperluan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, diantaranya ialah Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh, Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat, Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri, Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata. Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk mana biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang tasawuf, ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
Syaikh Arsyad wafat pada 6 Syawal 1227 H atau 3 Oktober 1812 M. Beliau meninggal dunia pada usia 105 tahun dan masyarakat Martapura memberi gelar Datuk Kalampayan kepada beliau.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar