Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara
SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI
Syekh Muhammad Arsyad Banjari dilahirkan di Desa Lok Gabang, Martapura,
Kabupaten Banjar, Propinsi Kalimantan Selatan pada hari Kamis, pada malam Kamis
pukul 3.00 (waktu sahur), 15 Safar 1122 H / 17 maret 1710 M. Wafat pada tanggal
6 Syawal 1227H/ 13 oktober 1812M di desa Dalam Pagar. Muhammad Arsyad
Banjari nama lengkapnya Muhammad Arsyad bin Abdullah. Ia merupakan anak pertama
dari pasangan Abdullah dan Aminah.
Sejak kecil
Muhammad Arsyad al-Banjari kelihatan cerdas serta mempunyai akhlak yang baik.
Kehebatannya sejak kecil ialah dalam bidang seni lukis dan seni tulis, sehingga
siapa saja yang melihat karyanya akan merasa kagum dan terpukau. Anak sulung
dari lima bersaudara ini memulakan pendidikan asas dengan ayahanya sendiri dan
guru-guru setempat, dan sewaktu berumur tujuh tahun sudah bisa membaca
Al-Qur’an dengan baik dan fasih.
Pada suatu
hari, Sultan mengadakan kunjungan ke kampung-kampung. Apabila Sultan ke Kampung
Lok Gabang, Sultan berkesempatan melihat hasil karya lukisan Muhammad Arsyad
yang indah dan memukau hati. Karena tertarik pada kecerdasan yang luar biasa
dan kemahirannya, Sultan berhajat untuk membesarkan dan mendidik Muhammad
Arsyad yang waktu itu berusia 7 tahun. Maka ia diambil sebagai anak angkat oleh
Sultan Banjar yang bernama Sultan Tahlilullah (1700M-1745M) dan ia mendapat
pendidikan penuh dari guru-guru di istana sehingga usianya 30 tahun. Kemudian
ia di nikahkan oleh Sultan Banjar dengan seorang wanita yang solehah bernama
Tuan Bajut. Hasil perkawinan tersebut, beliau dikaruniai seorang puteri yang
diberi nama Syarifah Fathimah.
Tidak lama
setelah pernikahan Muhammad Arsyad Al-Banjari kemudian diantar meneruskan
pengajian dan pengembaraan ilmunya di Makkah dan Madinah. Ia menuntut ilmu di
Makkah selama 30 tahun. Setelah 30 tahun di Mekah Ia pergi belajar di Madinah
selama 5 tahun. Selama menuntut ilmu tersebut ditanggung oleh Sultan
Tamjidillah (1745-1778 M) dan pengganti baginda Sultan Tahmidillah (1778-1808
M). Selama belajar di Makkah, Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari tinggal di
sebuah rumah yang dibelikan oleh Sultan Banjar yang terletak di kampung
Samiyyah yang disebut juga dengan Barhat Banjar.
Semasa di
Makkah, Syekh Muhammad Arsyad belajar dengan tekun di Masjidil Haram. Ia
bersama sahabat-sahabatnya yang semuanya ulama telah mempelajari banyak bidang
ilmu, mulai dari ilmu-ilmu agama seperti akidah, akhlak, fiqih, sejarah Islam
dan bahasa Arab, termasuk juga geografi, biologi, matematik, geometri, ilmu
falaq atau astronomi. Ia dapat menguasai semua ilmu yang dipelajari dari
guru-gurunya tersebut dengan sangat baik. Dengan izin seorang gurunya bernama
Syaikh ‘Ata’illah bin Ahmad (W.1161 H/1748 M) ia izin untuk mengeluakan
fatwa-fatwanya dan mengajar di Masjidil Haram. Selain sangat alim dalam bidang
fiqah, ia juga mendalami bidang Tasawuf sehingga ditauliahkan dengan ijazah dan
kedudukan bertarap khalifah.
Selama menuntut ilmu di Mekkah ia banyak berguru dengan ulama-ulama besar
di sana yang terkenal di seluruh dunia Islam pada masa itu, antaranya: Syeikh
‘Athaillah bin Ahmad al-Misriy, Syeikh Muhammad bin ‘Abdul-Karim as-Samman
al-Madani al-Qadiri{tokoh tarekat Samaniah, beliau juga guru Syeikh ‘Abd al-Samad
al-Falimbani}, Syeikh Salim bin Abdullah al-Basri dan Ibrahim ar-Rais
az-Zamzami, dari guru beliau Syaikh Ibrahim ar-Rais az-Zamzami inilah
al-Banjari mempelajari ilmu falak sehingga menjadi ahli pakar dalam bidang
tersebut. Ini
juga menjadikan beliau menonjol di kalangan ulama Melayu-Indonesia.
Sewaktu di sana
beliau bertemu dan bersahabat dengan beberapa ulama terkenal lainnya dari
rantau Asia. Sahabatnya yang paling penting yang banyak disebut adalah
Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Abdur Rahman al-Mashri al-Batawi dan
Syeikh Abdul Wahhab Bugis (yang kemudian menjadi menantu Syaikh). Guru yang
banyak disebut adalah Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Syeikh `Athaullah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Madani.
Selama belajar di Mekah Syeikh Arsyad tinggal di sebuah rumah di Samiyah yang
dibeli oleh Sultan Banjar. Syeikh Arsyad juga belajar kepada guru-guru Melayu
di Arab Saudi, seperti Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok al-Fathani (Thailand Selatan), Syeikh Muhammad Zain
bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syeikh Muhammad `Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani.
Untuk menambah ilmu lagi, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari bersama para sahabatnya
ingin merantau pula ke Qahirah atau Mesir, namun setelah mereka bersiap untuk
berangkat, mereka mendapati kabar bahawa ulama besar Mesir yaitu Syeikhul-Islam
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi datang ke Madinah. Lantas beliau
bersama sahabat-sahabatnya pergi ke Madinah untuk berguru dengan Syeikh
tersebut, mereka berada di sana selama 5 tahun.
Suatu ketika, al-Palimbani, al-Banjari, al-Batawi dan al-Bugisi dikabarkan
meminta izin kepada guru mereka di Makkah, Syeikh Athallah al Mashri, untuk
menimba ilmu ke Mesir. Namun sang guru memberi nasihat lain. Guru mereka
menasehatkan bahawa mencari ilmu memang sangat penting, tapi mengajarkan ilmu
adalah hal yang juga tak boleh ditinggalkan. Sang guru Syeikh Athallah al-Mashri,
meminta mereka untuk kembali ke tanah air dan mengajarkan Islam dan ilmu yang
telah banyak mereka perolehi dan pelajari dalam masa yang sangat lama tersebut
serta menyebarkan dakwah islamiyah di tempat masing-masing.
Sebelum pulang,
keempat sahabat sepakat untuk berhaji kembali di Tanah Suci Mekkah. Pada saat
itu tanpa disangka-sangka Syekh Muhammad Arsyad bertemu dengan adik kandung dia
yaitu Zainal Abidin bin Abdullah yang sedang menunaikan ibadah
haji. Sang adik membawa kabar berita bahwa anak dia yaitu Fatimah sudah
beranjak dewasa dan sang anak menitipkan cincin kepada dia. Melihat hal
demikian, tiga sahabat Syekh Muhammad Arsyad masing-masing mengajukan lamaran
untuk memperisteri anak dia. Setelah berpikir lama, Syekh Muhammad Arsyad
memeutuskan untuk mengundi, lamaran yang akan diterima. Hasil pengundian
ternyata lamaran Syekh Abdul Wahab Bugis yang
diterima. Untuk itu diadakahlah ijab kabul pernikahan
antara Syekh Abdul Wahab Bugis dengan Fatimah binti Syekh Muhammad
Arsyad, yang dinikahkan langsung oleh Syekh Muhammad Arsyad sambil
disaksikan dua sahabat lainnya.
Maka
bertolaklah keempat putra Nusantara ini menuju kampung halaman. Memasuki
wilayah Nusantara, mula-mula mereka singgah di Sumatera yaitu di Palembang,
kampung halaman Syekh Abdussamad al-Falimbani. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Betawi, yaitu
kampung halaman Syekh Abdurrahman Misri. Selama di Betawi, Syekh Muhammad
Arsyad diminta menetap sebentar untuk mengajarkan ilmu agama dengan masyarakat
Betawi. Salah satu peristiwa penting selama di Betawi adalah ketika Syekh
Muhammad Arsyad membetulkan arah kiblat Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar
Batang dan Masjid Pekojan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat sekitar
Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas batu dalam aksara Arab Melayu
(tulisan Jawi) yang bertuliskan bahwa kiblat masjid ini telah diputar ke
kanan sekitar 25 derajat oleh Muhammad Arsyad al-Banjari
pada tanggal 4 Safar 1186 H. Setelah dirasa cukup, maka Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdul Wahab
Bugis berlayar menuju kampung halaman ke Martapura, Banjar.
Pada Bulan
Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura,
pusat Kesultanan Banjar pada masa itu. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak
membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah
II bin Sultan Tamjidullah I,
yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan
Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta
kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan dia
dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai
seorang ulama "Matahari Agama" ( Syamsuddin) yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar.
Aktivitas dia sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu
pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat
pada umumnya. Bahkan, Sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja
yang ‘alim lagi wara’. Sultan inilah
yang meminta kepada Syekh Muhammad Arsyad agar menulis sebuah Kitab Hukum
Ibadat (Hukum Fiqh),
yang kelak kemudian dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin.
Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama
yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren)
bernama Dalam Pagar, yang kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah
kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki
tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan
dari suraunya di Desa Dalam Pagar.
Di
samping mendidik, ia juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk keperluan
murid-muridnya serta keperluan kerajaan. Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang
paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah
Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam
terjemahan bebas adalah "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk
untuk mendalami urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah
menulis untuk keperluan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta
risalah lainnya, diantaranya ialah Kitab Ushuluddin yang biasa disebut
Kitab Sifat Duapuluh, Tuhfatur Raghibin,
yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat, Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab
tentang wanita serta tertib suami-isteri, Kitabul Fara-idl, semacam
hukum-perdata. Dari
beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya,
oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum
Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang
berhubungan dengan itu, dan untuk mana biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan
mengenai bidang tasawuf,
ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
Syaikh
Arsyad wafat pada 6 Syawal 1227 H atau 3 Oktober 1812 M. Beliau meninggal dunia
pada usia 105 tahun dan masyarakat Martapura
memberi gelar Datuk Kalampayan kepada beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar