Ulama
Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara (14)
HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin
Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis
Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia dilahirkan pada tanggal 17
Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Hindia Belanda (saat
itu). Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji
Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari
Makkah pada tahun 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas
dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera
Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami
bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid
yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid,
Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Hamka mula-mula
bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan
dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik
sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah,
Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat
menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas
Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai
Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan
itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau
bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun
Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki
karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan,
Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab
juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert
Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl
Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran
dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas
Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil
mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia
mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat,
bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau
mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka
mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau
menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua
Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah,
menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali
pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada
tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26
Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai
ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan
pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi
anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu
menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan
menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka
diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi
anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum
1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno
karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis
Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari
penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional,
Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga
Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang
wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi
wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang
Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah
Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan
majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman
Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel
dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara
novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di
Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah
Lindungan Ka’bah dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah
pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor
Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas
Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah
Indonesia.
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan
pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia
bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara
kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan
Singapura, turut dihargai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar