Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara
Abdush Shamad adalah putra
Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad al-Mahdani (ada yang
mengatakan al-Mahdali), seorang ulama keturunan Arab (Yaman) yang diangkat
menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti
adalah seorang wanita Palembang. Syekh Abdul Jalil adalah ulama besar sufi yang
menjadi guru agama di Palembang, tidak dijelaskan latar belakang kedatangannya
ke Palembang. Diperkirakan hanya bagian dari pengembaraannya dalam upaya
menyiarkan Islam sebagaimana banyak dilakukan oleh warga Arab lainnya pada
waktu itu.
Dalam pengembaraan putra mahkota Kedah, Tengku Muhammad
Jiwa ke Palembang, ia bertemu dengan Syekh Abdul Jalil dan berguru padanya,
bahkan mengikutinya mengembara ke berbagai negeri sampai ke India. Dalam sebuah
perjalanan mereka, Tengku Muhammad Jiwa mendapat kabar bahwa Sultan Kedah telah
mangkat. Tengku Muhammad Jiwa lalu mengajak gurunya itu (Syekh Abdul Jalil)
pulang bersamanya ke negeri Kedah. Ia dinobatkan menjadi sultan pada tahun 1112
H/1700 M dan Syekh Abdul Jalil diangkat menjadi mufti Kedah dan dinikahkan
dengan Wan Zainab, putri Dato’ Sri Maharaja Dewa, Sultan Kedah. Tiga tahun
kemudian Syekh Abdul Jalil kembali ke Palembang karena permintaan beberapa
muridnya yang rindu padanya. Di Palembang ia menikah dengan Radin Ranti dan
memperoleh putra, Abdusshamad. Dengan demikian kemungkinan Abdusshamad lahir
tahun 1116 H/1704 M.
Al-Palimbani mengawali pendidikannya di Kedah dan Pattani
(Thailand Selatan). Tidak ada penjelasan kapan dia berangkat ke Makkah
melanjutkan pendidikannya. Kemungkinan besar setelah ia menginjak dewasa dan
mendapat pendidikan agama yang cukup di negeri Melayu itu. Dan agaknya sebelum
ke Makkah dia telah mempelajari kitab-kitab para sufi (tasawuf) Aceh, karena di
dalam Sayr al-Salikin dia menyebutkan nama Syamsuddin al-Sumatrani dan Abdul
Rauf al-Jawi al-Fansuri (Abdul Rauf Singkel). Namun sumber lain mengatakan
bahwa ia pernah bertemu dan berguru pada Syamsuddin al-Sumatrani dan Abdul Rauf
Singkel di Makkah.
Di Makkah dan Madinah, al-Palimbani banyak mempelajari
berbagai disiplin ilmu kepada ulama-ulama besar masa itu serta para ulama yang
berkunjung ke sana. Walaupun pendidikannya sangat tuntas mengingat ragam ulama
tempatnya belajar, al-Palimbani mempunyai kecenderungan pada tasawuf. Karena
itu, di samping belajar tasawuf di Masjidil Haram, ia juga mencari guru lain
dan membaca kitab-kitab tasawuf yang tidak diajarkan di sana. Dari Syekh Abdurrahman
bin Abdul ‘Aziz al-Magribi dia belajar kitab Al-Tuhfatul Mursalah (Anugerah
yang Diberikan) karangan Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1030 H/1620 M).
Dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani (w. 1190 H/1776 M) ia
belajar kitab tauhid (suluk) Syekh Mustafa al-Bakri (w. 1162 H/1749 M). Dan
bersama Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis dan Abdurrahman Masri
Al-Batawi dari Jakarta, mereka membentuk empat serangkai yang sama-sama
menuntut ilmu di Makkah dan belajar tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad
al-Samman (w. 1162 H/1749 M), juga bersama-sama dengan Dawud al-Fatani dari
Patani, Thailand Selatan.
Selama belajar pada Syekh Muhammad al-Samman, al-Palimbani
dipercaya mengajar rnurid-murid as-Sammani yang asli orang Arab. Karena itu
sepanjarig menyangkut kepatuhannya pada tarekat, al-Palimbani banyak
dipengaruhi as-Sammani dan dari dialah al-Palimbani mengambil tarekat
Khalwatiyyah dan Sammaniyyah. Sebaliknya, melalui al-Palimbani-lah tarekat
Sammaniyyah mendapat lahan subur dan berkembang tidak hanya di Palembang tetapi
juga di bagian lain wilayah Nusantara bahkan di Thailand, Malaysia, Singapura
dan Filipina. Beberapa orang guru yang masyhur dan berandil besar dalam proses
peningkatan intelektualitas dan spiritualitasnya antara lain Muhammad bin Abdul
Karim as-Sammani, Muhammad bin Sulayman al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun’im al-Damanhuri.
Juga tercatat ulama besar Ibrahim al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad al-Jawhari,
dan Athaullah al-Mashri.
Al-Palimbani rnemantapkan karirnya di Haramayn (Mekkah
dan Madinah) dan mencurahkan waktunya untuk menulis dan mengajar. Meski
demikian dia tetap menaruh perhatian yang besar terhadap Islam dan kaum Muslimun
di negeri asalnya. Di Haramain ia terlibat dalam ‘komunitas Jawi’ yang
membuatnya tetap tanggap terhadap perkembangan sosio-religius dan politik di
Nusantara. Peran pentingnya tidak hanya karena keterlibatannya dalam jaringan
ulama, melainkan lebih penting lagi karena tulisan-tulisannya yang tidak hanya
menyebarkan ajaran-ajaran sufisme tetapi juga menghimbau kaum Muslimun
melancarkan jihad melawan kolonialis Eropa, dibaca secara luas di wilayah
Melayu-Indonesia. Peranan dan perhatian tersebut memantapkannya sebagai ulama
asal Palembang yang paling menonjol dan paling berpengaruh melalui
karya-karyanya.
Al-Palimbani berperan aktif dalam memecahkan dua
persoalan pokok yang saat itu dihadapi bangsa dan tanah airnya, baik di
kesultanan Palembang maupun di kepulauan Nusantara pada umumnya, yaitu
menyangkut dakwah Islamiyah dan kolonialisme Barat. Mengenai dakwah Islam, ia
menulis selain dua kitab tersebut di atas, yang menggabungkan mistisisme dengan
syariat, ia juga menulis Tuhfah al-Ragibin fi Bayan Haqiqah Iman al-Mukmin
wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin (1188). Di mana ia memperingatkan
pembaca agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang menyimpang dari Islam
seperti ajaran tasawuf yang mengabaikan syariat, tradisi menyanggar (memberi
sesajen) dan paham wujudiyah muthid yang sedang marak pada waktu itu. Kitab ini
ditulis atas permintaan Sultan Palembang, Najmuddin, atau putranya Bahauddin
karena di awal kitab itu ia memang menyebutkan bahwa ia diminta seorang
pembesar pada waktu itu untuk menulis kitab tersebut.
Mengenai kolonialisme Barat, al-Palimbani menulis kitab Nasihah
al-Muslimin wa tazkirah al-Mu’min fi Fadail Jihad ti Sabilillah, dalam
bahasa Arab, untuk menggugah semangat jihad umat Islam sedunia. Tulisannya ini
sangat berpengaruh pada perjuangan kaum Muslimun dalam melawan penjajahan
Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya.Hikayat Perang
Sabil-nya Tengku Cik di Tiro dikabarkan juga mengutip kitab tersebut. Masalah
jihad fi sabililiah sangat banyak dibicarakan al-Palimbani. Pada tahun 1772 M,
ia mengirim dua pucuk surat kepada Sultan Mataram (Hamengkubuwono I) dan
Pangeran Singasari Susuhunan Prabu Jaka yang secara halus menganjurkan
pemimpin-pemimpin negeri Islam itu meneruskan perjuangan para Sultan Mataram
melawan Belanda. Mengenai tahun wafatnya juga tidak diketahui dengan pasti.
Al-Tarikh Salasilah Negeri Kendah menyebutkan tahun 1244 H/1828 M. Namun
kebanyakan peneliti lebih cenderung menduga ia wafat tidak berapa lama setelah
meyelesaikan Sayr al-Salikin (1203 H/1788 M). Argumen mereka, Sayr
al-Salikin adalah karya terakhirnya dan jika dia masih hidup sampai 1788 M
kemungkinan dia masih tetap aktif menulis.
Tercatat delapan karya tulis Al-Palimbani, selain empat
buah yang telah disebutkan di atas, karya yang lain adalah:
1)
Zuhrah al-Murid fi Bayan
Kalimah al-Tauhid, ditulis pada 1178 H/1764 M di Makkah dalam bahasa
Melayu, memuat masalah tauhid yang ditulisnya atas perrnintaan pelajar
Indonesia yang belurn menguasai bahasa Arab;
2)
Al-‘Uwah al-Wusqa wa
Silsilah Ulil-Ittiqa’, ditulis dalam bahasa Arab, berisikan wirid-wirid yang
perlu dibaca pada waktu-waktu tertentu;
3)
Ratib ‘Abdassamad, semacam buku saku yang
berisi zikir, puji-pujian dan doa yang dilakukan setelah shalat Isya;
4)
Zad al-Muttaqin fi Tauhid
Rabb al-‘Alamin, berisi ringkasan ajaran tauhid yang disampaikan oleh
Syekh Muhammad al-Samman di Madinah.
Mengenai Hidayah al-Salikin yang ditulisnya dalam bahasa
Melayu pada 1192 H/1778 M, sering disebut sebagai terjemahan dari Bidayah
al-Hidayah karya Al-Ghazali. Sedangkan Sayr al-Salikin yang terdiri dari empat
bagian, juga berbahasa Melayu, ditulisnya di dua kota, yaitu Makkah dan Ta’if,
1779 hingga 1788. Kitab ini selain berisi terjemahan Lubab Ihya’ Ulum al-Din
karya Al-Ghazali, juga memuat beberapa masalah lain yang diambilnya dari kitab-kitab
lain. Semua karya tulisnya tersebut masih dijumpai di Perpustakaan Nasional
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar