Selasa, 18 Oktober 2016


Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara (4)


SYEKH ABDURRAUF AS-SINKILY

Nama lengkapnya Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri as-Sinkili atau seringkali disebut Abdurrauf as-Singkil. Lahir sekitar 1024 Hijriyah atau 1615 Masehi di Singkil, wilayah pantai barat-laut Aceh. Ayahnya adalah ulama ternama Aceh bernama Syaikh Ali Fansuri, yang memiliki hubungan saudara dengan Hamzah Fansuri, penyair dan ulama sufi ternama Melayu.
Pendidikan as-Singkili di masa kecil ditangani oleh ayahnya sendiri dalam pengetahuan agama di Dayan (Madrasah) Simpang Kanan, di kawasan pedalaman Singkel. Selepas itu melanjutkan pendidikan  ke sekolah tinggi di Barus (Dayan Tengku Chik) yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri.  Beliau belajar ilmu agama, sejarah, mantik, falsafah, sastra Arab/Melayu dan juga bahasa Parsi.Kemudian belajar ke Barus atau Fansur, sebuah kawasan di Sumatra Utara yang menjadi pusat pembelajaran Islam bangsa Melayu dan Asia kala itu. Setelah itu ia pergi ke Banda Aceh di sekolah Samudra Pasai untuk berguru kepada Syekh Syamsuddin as-Sumatrani. Sewaktu Syekh Syamsuddin diangkat menjadi Qadli Malikul Adil (Qadi Besar) pada zaman Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah, yakni tahun 1052 H/1642 M, as-Sinkili pergi menuntut ilmu ke Timur Tengah. Dari Doha, kemudian ke Yaman, Jeddah, kemudian menetap lebih lama di Makkah dan Madinah. Selama perjalanannya tersebut, beliau berguru pada 19 ulama di berbagai bidang ilmu agama ditambah lagi 27 ulama masyhur, dan 15 tokoh sufi ternama.
Perkenalannya dengan banyak tokoh ulama seperti Muhammad al-Babili dari Mesir dan Muhammad al-Barzanji dari Anatolia menjadi ladang pencarian ilmu secara informal. Syeikh Muhammad al-Babili merupakan salah satu ulama Muhadis terkemuka kala itu di Haramain. Adapaun Syeikh Muhammad al Barzanji dikenal sebagai sufi tersohor. Syeikh Abdurrauf tinggal selama 19 tahun di Mekah. Syeikh Abdurauf bercerita bahwa dirinya banyak mendapatkan ilmu “lahir’ dari Syeikh Ibrahim bin Abdullah Jam’an di Bait al faqih dan Mauza’. Lewat gurunya ini, ia berkenalan dengan tokoh tarekat seperti Syeikh Ahmad Qusyaysi dan Syeikh Ibrahim al-Qurani. Lewat keduanya Syeikh Abdurauf mendapatkan ijazah tarekat Syattariyah. Tentang gurunya ini Syaikh Abdurrauf menyebutnya sebagai pembimbing spiritual di jalan Allah.
Pada sekitar tahun 1584 H/1661 M, as-Singkili kembali ke Aceh. Kemudian ia mengajar dan mendirikan sekolah Islam di Aceh atas izin dari gurunya yang bernama Syekh Ibrahim al-Qurani. Tak lama setelah pulang dari Haramain, as- Singkili diangkat sebagai mufti atau qadi oleh Sultanah Safiyyatuddin Tajul Alam yang memerintah Kesultanan Aceh kala itu. Beliau juga diangkat menjadi ulama besar bergelar Syekh Jamiaturrahman dan mufti atau kadi dengan sebutan Malik al-Adil atau mufti yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan. Ia juga kemudian mengajarkan tarikat Syathariyah di daerahnya. Banyak santri yang berdatangan untuk berguru. Muridnyapun berasal dari berbagai daerah di wilayah Nusantara. Diantara muridnya yang paling terkenal adalah Syeikh Burhanuddin Ulakan Sumatera Barat dan  Syeikh Abdullah Muhyi, Pamijahan, Jawa Barat.
As-Singkili adalah ulama yang sangat produktif. Tak kurang dari 30 kitab dari berbagai disiplin ilmu telah ditetaskannya. Karya utama Abdurrauf dalam fikih adalah Mir’at al-Thullāb fī Tasyil Ma’rifāt al-Ahkām al-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhab. Karya ini, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyyatuddin, diselesaikan pada tahun 1663 M dan menjadi kitab panduan para qadi di Kesultanan Aceh. Karya ini mengungkapkan tentang aspek muamalat dari fikih Madzhab Syafi’i, termasuk kehidupan politik, sosial, ekonomi dan keagamaan kaum muslim. Abdurrauf merupakan ulama pertama yang menghasilkan karya tafsir Al-qur’an yang pertama berbahasa Melayu. Karya itu berjudul Tarjumal al-Mustafīd. Karya ini beredar luas di wilayah Melayu-Indonesia. Bahkan edisi cetaknya menyebar hingga ke Timur Tengah. Karya ini merupakan karya terjemahan dari Tafsir Jalalain. Hanya pada bagian-bagian tertentu saja ia memanfaatkan tafsir Al-Baydhawi dan Al-Khazin.
Dalam bidang tasawuf, ia menghasilkan karya seperti Umdāt al-Muhtajīn yang isinya memuat tentang zikir, sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya dan asal usul mistik. Di akhir buku dicantumkan tentang sedikit riwayat hidupnya., Kifāyat al-Muhtajīn, Daqā’iq al-Hurȗf, Tanbih al-Masyi berisi tentang akidah, sariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Syeikh Abdurauf juga sangat tidak sepakat dengan paham wahdatul wujud. Dalam bukunya yang berjudul Bayan Tajalli, Abdurrauf menyatakan bahwa betapapun asyiknya seorang hamba dengan Tuhan, Khalik dan makhluk tetap mempunyai arti sendiri. Selain itu, terdapat Mawa’iz Al Badi yang berisi nasihat tentang akhlak Muslimin.

As-Singkili menghembuskan napas terakhir di usia 73 tahun. Beliau meninggal di Kuala Aceh pada 110 Hijriyah atau 1693 Masehi, dan dikuburkan di dekat kuala atau muara sungai Aceh. Jasadnya disemayamkan di samping makam Teungku Anjong yang dipandang keramat oleh orang Aceh. Tempat itu juga menjadi kuburan untuk istri-istrinya, Dawud al-Rumi dan murid-muridnya. Karena tempat beliau dimakamkan itulah maka Syekh Abdurrauf as-Sinkili dikemudian hari dikenal sebagai Tengku Syah Kuala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar