Jumat, 23 September 2016

PERANG SABIL di NUSANTARA 4



PERANG JAWA (2) : PERIODE AWAL

Berita pecahnya perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutuskan untuk mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan Diponegoro. Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit, yang dikirim dari Semarang, di daerah Pisangan dekat Magelang disergap oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas.
Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda mengirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung menyerang Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang strategis, pasukan Belanda diserang, sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar. Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Belanda untuk menyelamatkan diri.
Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong, markas besar pasukan Diponegoro.
Operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Diponegoro; surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat: pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta, semuanya dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal.
Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta menyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono V.
Pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar Yogyakarta, tetapi juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan, Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari makin meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan. Pertempuran yang luas itu memang melumpuhkan dan melelahkan pasukan colonial Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas besar Selarong; tidak berhasil menangkap dan melumpuhkan pasukan Diponegoro.
Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826) pasukan Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Dengan pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat bergerak capat dan mobile dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan selalu lolos dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial Belanda mulai unggul, selain karena besarnya bala-bantuan yang didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi pertempuran yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi Hindia melaksanakan "bentengstelsel/sistem benteng" dalam operasi militernya.
Pasukan Belanda mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali. Antara benteng yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan sehingga pasukan dapat bergerak dengan cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa; hubungan antar pasukan menjadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada daerah operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini menjadi ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh. Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda didirikanlah benteng-benteng seperti di Minggir, Groyak, Bantul, Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede, Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan. Di daerah-daerah pertempuran sebelah timur, benteng-benteng itu terdapat di Rembang, Bancar, Jatiraga, Tuban, Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-lain. Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-benteng didirikan di Pakeongan, Kemit, Panjer, Merden dan lain lain.
Sistem benteng ini memang dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah Sultan Sepuh yang telah berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang secara psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro. Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827, Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya beserta para pengikutnya lebih kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik. Penyerahan Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali bagi perang Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah rawan dan daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di medan pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak.
Walau demikian, pukulan hebat ini tidak menyebabkan pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede Yogyakarta telah terjadi pertempuran yang seru antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial Belanda. Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan Diponegoro untuk berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai Begowonto. Pertempuran terus berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda, apalagi setelah kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di Cirian-Klaten.
Perundingan ini tidak membuahkan suatu hasil apapun bagi kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak Belanda, sebaliknya syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada Diponegoro, tidak dapat diterima oleh Kiai Mojo. Perundingan yang gagal pada bulan Agustus 1827, mengakibatkan pada bulan September 1827 berkobar lagi pertempuran antara pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial Belanda di daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi militer Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen.
Pada tanggal 10 Oktober 1827 diadakan kembali gencatan senjata untuk mengadakan perundingan perdamaian antara kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak Belanda di pimpin oleh Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa Jawa, sedangkan di pihak Diponegoro dipimpin oleh Tumenggung Mangun Prawira. Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan syari'at Islam, seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat ditentang delegasi Belanda. Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti oleh operasi militer Belanda secara besar-besaran di bawah pimpinan Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-daerah sebelah selatan Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober 1827 pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan Diponegoro di Banyumeneng, tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil menghindar. Tetapi dalam perjalanan pulang pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan diserang oleh pasukan Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda; dan hanya dengan susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo,terus masuk ke kota Yogyakarta. Pertempuran yang terjadi setelah kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi di sekitar Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah Kedu, Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah payah, pasukan Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri.
Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi ini, mendorong Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala bantuan, termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di kota Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan markas besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih mobile, karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di timur, Yogyakarta di selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup berhasil, karena daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan Belanda.
Keunggulan Belanda di bidang militer, diikuti dengan kemenangan di bidang diplomasi, dimana pada tanggal 28 April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira 20 orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu; bolehlah dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera kesayangan Pangeran Mangkubumi yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk menyerah kepada Belanda dan meninggalkan Diponegoro. Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah Rembang di bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang semula berhasil memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan akhirnya pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada Belanda.
Kemudian operasi militer Belanda berhasil mempersempit daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto. Usaha berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di daerah Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828. Dengan daerah gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu dapat mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro yang menyerah kepada Belanda diikut-sertakan dalam operasi militer ini.
Dalam posisi terus terdesak dan terjepit, pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan, tetapi juga kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi semacam itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan; sehingga dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan pasukannya menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan Belanda.
Pada tanggal 31 oktober 1828 perundingan berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo dengan delegasi Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan pasukan kraton Yogyakarta. Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda, berakhir gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember 1828, dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan. Ketika perundingan gagal, Kiai Mojo beserta pasukannya kembali ke tempat semula, tetapi senantiasa diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan Le Bron menyerang pasukan Kiai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit Kiai Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan akal untuk dapat menangkap Kiai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh Le Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten. Kiai Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran ini. Kiai Mojo dengan pasukannya memasuki kota Klaten dengan nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan yang menang perang dari medan pertempuran.

Setelah sampai Klaten, Kiai Mojo diajak oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke sebuah gedung, sedangkan pasukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kiai Mojo ditangkap dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda yang lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kiai Mojo beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50 pucuk senapan dan 300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai Mojo. 
Bersamanya tertangkap pula para ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di medan pertempuran, seperti antara lain Kiai Tuku Mojo, Kiai Badren, Kiai Kasan Basari. Kiai Mojo beserta stafnya dibawa ke Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat kediaman Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kiai Mojo dengan teman-temannya dibawa ke Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia. Tertangkapnya Kiai Mojo dan stafnya dipergunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan Diponegoro yang lainnya, yang masih melakukan perang gerilya.

(in sya Allah bersambung Perang Jawa episode 3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar