PERANG
SABIL di NUSANTARA 4
PERANG JAWA (2) : PERIODE AWAL
Berita pecahnya perang Jawa sangat
mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia.
Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutuskan untuk mengirimkan
pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik
Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Juli
1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer
terhadap pasukan Diponegoro. Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan
kekuatan 200 prajurit, yang dikirim dari Semarang, di daerah Pisangan dekat
Magelang disergap oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda berhasil dimusnahkan
dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas.
Kekalahan pertama, menyebabkan
Belanda mengirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh
Kolonel Von Jett untuk langsung menyerang Selarong, markas
besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro
telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan Selarong,
di perjalanan, di tempat-tempat yang strategis, pasukan Belanda
diserang, sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar. Ibukota Yogyakarta
di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan
Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng
Belanda untuk menyelamatkan diri.
Pada
tanggal 28 Juli 1825, Belanda mengirimkan pasukan komando gabungan antara
pasukan Belanda dan Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan
Diponegoro di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan
Hamengku Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando
gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas
Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah
pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas
Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong,
markas besar pasukan Diponegoro.
Operasi militer Belanda yang
senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock
menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Diponegoro; surat
pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi
surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia memenuhi
tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat: pertempuran
dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta,
tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta,
semuanya dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini
terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang dibantu
oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh Belanda
dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat kaki
dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal.
Karena tidak ada jalan lain, De
Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan
pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon
dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade pasukan
Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan komando
gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta menyelamatkan pasukan
Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono V.
Pertempuran antara pasukan Belanda
dengan pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar Yogyakarta, tetapi
juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan,
Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari makin
meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan. Pertempuran
yang luas itu memang melumpuhkan dan melelahkan pasukan colonial Belanda
dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas besar Selarong; tidak berhasil
menangkap dan melumpuhkan pasukan Diponegoro.
Pada tahun-tahun pertama (1825
-1826) pasukan Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Dengan
pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat bergerak capat dan mobile
dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan selalu
lolos dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Tetapi
sejak tahun 1827 pasukan kolonial Belanda mulai unggul, selain karena besarnya bala-bantuan
yang didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi pertempuran
yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi Hindia
melaksanakan "bentengstelsel/sistem benteng" dalam operasi
militernya.
Pasukan Belanda mendirikan
benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali. Antara benteng yang
satu dengan benteng yang lain dibuat jalan sehingga pasukan dapat bergerak dengan
cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak dengan
leluasa; hubungan antar pasukan menjadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada daerah
operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini menjadi ciri
pasukan Diponegoro menjadi lumpuh. Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda didirikanlah
benteng-benteng seperti di Minggir, Groyak, Bantul, Brosot; Puluwatu, Kejiwan,
Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede, Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu,
Pijenan. Di daerah-daerah pertempuran
sebelah timur, benteng-benteng itu terdapat di Rembang, Bancar,
Jatiraga, Tuban, Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-lain. Di
daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-benteng didirikan di
Pakeongan, Kemit, Panjer, Merden dan lain lain.
Sistem
benteng ini memang dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah Sultan
Sepuh yang telah berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang
secara psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro. Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick von Pabst,
Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827, Pangeran Natapraja dan Pangeran
Serang Sutawijaya beserta para pengikutnya lebih kurang 850 orang
menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik. Penyerahan Pangeran Natapraja
dan Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali bagi
perang Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah rawan
dan daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah dimaklumi
bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di medan pertempuran
sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak.
Walau demikian, pukulan hebat ini
tidak menyebabkan pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede Yogyakarta
telah terjadi pertempuran yang seru antara pasukan Diponegoro
di bawah pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial
Belanda. Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan
Diponegoro untuk berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai Begowonto. Pertempuran terus
berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda, apalagi
setelah kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil yang
menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan Diponegoro
di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman dengan pasukan
Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di Cirian-Klaten.
Perundingan ini tidak membuahkan
suatu hasil apapun bagi kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat
oleh pihak Belanda, sebaliknya syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda,
termasuk janji-janji untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada Diponegoro,
tidak dapat diterima oleh Kiai Mojo. Perundingan
yang gagal pada bulan Agustus 1827, mengakibatkan pada bulan September
1827 berkobar lagi pertempuran antara pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial
Belanda di daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi
militer Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen.
Pada tanggal 10 Oktober 1827
diadakan kembali gencatan senjata untuk mengadakan perundingan
perdamaian antara kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak Belanda
di pimpin oleh Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa Jawa,
sedangkan di pihak Diponegoro dipimpin oleh Tumenggung Mangun Prawira. Tetapi
perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan syari'at Islam, seperti
pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat ditentang delegasi Belanda. Kegagalan
perundingan kedua ini, diikuti oleh operasi militer Belanda secara besar-besaran di bawah
pimpinan Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-daerah sebelah
selatan Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober 1827
pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan Diponegoro
di Banyumeneng, tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil menghindar.
Tetapi dalam perjalanan pulang pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan diserang
oleh pasukan Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda; dan
hanya dengan susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai
Progo,terus masuk ke kota Yogyakarta. Pertempuran yang terjadi setelah kegagalan perundingan kedua ini, bukan
hanya terjadi di sekitar Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di
daerah-daerah Kedu, Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah payah, pasukan Belanda bisa bertahan
dan menyelamatkan diri.
Pertempuran yang timbul berkecamuk
lagi ini, mendorong Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala bantuan, termasuk dari negeri Belanda
sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di kota Magelang pada tanggal 13 Maret
1828; dengan menempatkan markas besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat
beroperasi lebih mobile, karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau
daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di timur, Yogyakarta di selatan dan Banyumas
di barat. Strategi ini cukup berhasil, karena daerah Kedu hampir seluruhnya dapat
diamankan oleh pasukan Belanda.
Keunggulan Belanda di bidang
militer, diikuti dengan kemenangan di bidang diplomasi, dimana
pada tanggal 28 April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira 20 orang
pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan Natadiningrat
ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu; bolehlah dikatakan
tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang menyerah
kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera kesayangan Pangeran Mangkubumi
yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk menyerah
kepada Belanda dan meninggalkan Diponegoro. Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah
Rembang di bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang semula berhasil memukul
mundur pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan akhirnya pada tanggal 3
oktober 1828 menyerah pula kepada Belanda.
Kemudian operasi militer Belanda
berhasil mempersempit daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan
menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto.
Usaha berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di daerah
Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828. Dengan daerah
gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu dapat mengurung
pasukan Diponegoro. Apalagi banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro
yang menyerah kepada Belanda diikut-sertakan dalam operasi militer ini.
Dalam posisi terus terdesak dan
terjepit, pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan,
tetapi juga kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi
semacam itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan; sehingga
dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan pasukannya menyatakan
keinginannya untuk berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan Belanda.
Pada tanggal 31 oktober 1828
perundingan berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo dengan
delegasi Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan pasukan
kraton Yogyakarta. Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda,
berakhir gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember 1828,
dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel
Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan. Ketika
perundingan gagal, Kiai Mojo beserta pasukannya kembali ke tempat semula, tetapi
senantiasa diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan
Le Bron menyerang pasukan Kiai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit Kiai Mojo
telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan akal untuk dapat
menangkap Kiai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh Le Bron
dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten. Kiai Mojo
dengan pasukannya menyetujui tawaran ini. Kiai Mojo dengan pasukannya memasuki
kota Klaten dengan nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan yang
menang perang dari medan pertempuran.
Setelah sampai Klaten, Kiai Mojo
diajak oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke
sebuah gedung, sedangkan pasukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta
Kiai Mojo ditangkap dan pasukannya yang sedang lengah
disergap oleh pasukan Belanda yang lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam
kondisi tak berdaya, Kiai Mojo beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak
kurang dari 50 pucuk senapan dan 300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai
Mojo.
Bersamanya tertangkap pula para ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di
medan pertempuran, seperti antara lain Kiai Tuku Mojo, Kiai Badren, Kiai Kasan
Basari. Kiai Mojo beserta stafnya dibawa ke Surakarta; dari
sana terus ke Salatiga tempat kediaman Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kiai Mojo
dengan teman-temannya dibawa ke Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia. Tertangkapnya
Kiai Mojo dan stafnya dipergunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan
Diponegoro yang lainnya, yang masih melakukan perang gerilya.
(in sya Allah bersambung Perang Jawa episode 3)