Jumat, 23 September 2016

PERANG SABIL di NUSANTARA 4



PERANG JAWA (2) : PERIODE AWAL

Berita pecahnya perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutuskan untuk mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan Diponegoro. Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit, yang dikirim dari Semarang, di daerah Pisangan dekat Magelang disergap oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas.
Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda mengirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung menyerang Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang strategis, pasukan Belanda diserang, sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar. Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Belanda untuk menyelamatkan diri.
Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong, markas besar pasukan Diponegoro.
Operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Diponegoro; surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat: pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta, semuanya dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal.
Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta menyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono V.
Pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar Yogyakarta, tetapi juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan, Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari makin meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan. Pertempuran yang luas itu memang melumpuhkan dan melelahkan pasukan colonial Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas besar Selarong; tidak berhasil menangkap dan melumpuhkan pasukan Diponegoro.
Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826) pasukan Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Dengan pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat bergerak capat dan mobile dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan selalu lolos dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial Belanda mulai unggul, selain karena besarnya bala-bantuan yang didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi pertempuran yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi Hindia melaksanakan "bentengstelsel/sistem benteng" dalam operasi militernya.
Pasukan Belanda mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali. Antara benteng yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan sehingga pasukan dapat bergerak dengan cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa; hubungan antar pasukan menjadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada daerah operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini menjadi ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh. Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda didirikanlah benteng-benteng seperti di Minggir, Groyak, Bantul, Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede, Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan. Di daerah-daerah pertempuran sebelah timur, benteng-benteng itu terdapat di Rembang, Bancar, Jatiraga, Tuban, Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-lain. Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-benteng didirikan di Pakeongan, Kemit, Panjer, Merden dan lain lain.
Sistem benteng ini memang dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah Sultan Sepuh yang telah berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang secara psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro. Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827, Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya beserta para pengikutnya lebih kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik. Penyerahan Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali bagi perang Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah rawan dan daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di medan pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak.
Walau demikian, pukulan hebat ini tidak menyebabkan pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede Yogyakarta telah terjadi pertempuran yang seru antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial Belanda. Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan Diponegoro untuk berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai Begowonto. Pertempuran terus berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda, apalagi setelah kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di Cirian-Klaten.
Perundingan ini tidak membuahkan suatu hasil apapun bagi kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak Belanda, sebaliknya syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada Diponegoro, tidak dapat diterima oleh Kiai Mojo. Perundingan yang gagal pada bulan Agustus 1827, mengakibatkan pada bulan September 1827 berkobar lagi pertempuran antara pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial Belanda di daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi militer Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen.
Pada tanggal 10 Oktober 1827 diadakan kembali gencatan senjata untuk mengadakan perundingan perdamaian antara kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak Belanda di pimpin oleh Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa Jawa, sedangkan di pihak Diponegoro dipimpin oleh Tumenggung Mangun Prawira. Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan syari'at Islam, seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat ditentang delegasi Belanda. Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti oleh operasi militer Belanda secara besar-besaran di bawah pimpinan Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-daerah sebelah selatan Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober 1827 pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan Diponegoro di Banyumeneng, tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil menghindar. Tetapi dalam perjalanan pulang pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan diserang oleh pasukan Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda; dan hanya dengan susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo,terus masuk ke kota Yogyakarta. Pertempuran yang terjadi setelah kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi di sekitar Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah Kedu, Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah payah, pasukan Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri.
Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi ini, mendorong Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala bantuan, termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di kota Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan markas besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih mobile, karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di timur, Yogyakarta di selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup berhasil, karena daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan Belanda.
Keunggulan Belanda di bidang militer, diikuti dengan kemenangan di bidang diplomasi, dimana pada tanggal 28 April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira 20 orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu; bolehlah dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera kesayangan Pangeran Mangkubumi yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk menyerah kepada Belanda dan meninggalkan Diponegoro. Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah Rembang di bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang semula berhasil memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan akhirnya pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada Belanda.
Kemudian operasi militer Belanda berhasil mempersempit daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto. Usaha berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di daerah Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828. Dengan daerah gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu dapat mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro yang menyerah kepada Belanda diikut-sertakan dalam operasi militer ini.
Dalam posisi terus terdesak dan terjepit, pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan, tetapi juga kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi semacam itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan; sehingga dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan pasukannya menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan Belanda.
Pada tanggal 31 oktober 1828 perundingan berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo dengan delegasi Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan pasukan kraton Yogyakarta. Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda, berakhir gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember 1828, dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan. Ketika perundingan gagal, Kiai Mojo beserta pasukannya kembali ke tempat semula, tetapi senantiasa diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan Le Bron menyerang pasukan Kiai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit Kiai Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan akal untuk dapat menangkap Kiai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh Le Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten. Kiai Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran ini. Kiai Mojo dengan pasukannya memasuki kota Klaten dengan nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan yang menang perang dari medan pertempuran.

Setelah sampai Klaten, Kiai Mojo diajak oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke sebuah gedung, sedangkan pasukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kiai Mojo ditangkap dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda yang lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kiai Mojo beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50 pucuk senapan dan 300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai Mojo. 
Bersamanya tertangkap pula para ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di medan pertempuran, seperti antara lain Kiai Tuku Mojo, Kiai Badren, Kiai Kasan Basari. Kiai Mojo beserta stafnya dibawa ke Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat kediaman Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kiai Mojo dengan teman-temannya dibawa ke Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia. Tertangkapnya Kiai Mojo dan stafnya dipergunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan Diponegoro yang lainnya, yang masih melakukan perang gerilya.

(in sya Allah bersambung Perang Jawa episode 3)
MATERI SKI KELAS 9

BAB 1
MATERI 1
http://gg.gg/materi1bab1kelas9

MATERI 2
http://gg.gg/materi2bab1kelas9

BAB 2
MATERI 1
http://gg.gg/materi1bab2kelas9

MATERI 2
http://gg.gg/materi2bab2kelas9

Kamis, 22 September 2016

MATERI SKI KELAS 8

BAB 1 MATERI 1
http://gg.gg/materi1skikelas8


BAB 1MATERI 2
http://gg.gg/materi2ski8

BAB 2
http://gg.gg/materibab2ski8
PERANG SABIL di NUSANTARA 4


PERANG JAWA (1): PERMULAAN PERANG

Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk membicarakan sekitar 'Perang Jawa', sebaiknya kita berbicara serba sedikit tentang pelaku-pelaku utama dari perang Jawa tersebut, untuk mendapat gambaran mengenai corak perang yang menggoncangkan eksistensi kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia. Pangeran Diponegoro, menurut Babad Diponegoro yang ditulisnya sendiri di Penjara Manado, menceritakan bahwa ia sejak muda telah mengabdi pada agama, mengikuti jejak dan hidup moyangnya yang sangat taat pada agama. Moyangnya itu tinggal di Tegalrejo. Untuk menghindari diri dari pengaruh kraton Yogyakarta, ia tinggal bersama neneknya di Tegalrejo. Di tempat ini, selain memperdalam pengetahuannya tentang Islam, ia juga secara tekun untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan syari'at Islam. Hal ini menyebabkan ia kurang senang mengikuti kakeknya Sultan Yogyakarta dan karenanya jarang sekali datang di kraton, kecuali pada waktu perayaan Grebeg, seperti perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW, Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha dimana kehadirannya diharuskan.
Pada waktu ia berumur 20 tahun telah berhasrat hidup sebagai fakir (sufi), sehingga seringkali keliling mengunjungi masjid, di mana ia dapat bergaul dengan para santri. Di bagian lain dari bukunya itu, Diponegoro bercerita, ketika ia sedang berada di gua Secang, ia dikunjungi oleh seorang berpakaian haji yang mengaku dirinya utusan Ratu Adil, yang meminta pada Diponegoro untuk menemuinya di puncak gunung yang bernama gunung Rasamani, seorang diri. Diponegoro segera mengikuti utusan itu hingga sampai di puncak gunung. Di sana ia berjumpa dengan Ratu Adil yang memakai serban (ikat kepala model Arab) hijau dan jubah (pakaian khas Arab yang panjang dengan lengan tangan lebar pula) dari sutera; dengan celana dari sutera juga. Ratu Adil mengatakan kepada Abdul Hamid (Diponegoro) bahwa sebabnya ia memanggil Diponegoro adalah karena ia mewajibkannya untuk memimpin prajuritnya untuk menaklukkan Pulau Jawa. Kalau ada orang yang menanyakan padanya, kata Ratu Adil, "siapa yang memberi kuasa padanya?" Diponegoro harus menjawab, bahwa: "yang memberi kuasa padanya adalah Al-Qur'an".
Di bagian lain Diponegoro menceritakan, bahwa pada suatu waktu, ketika ia duduk di bawah pohon beringin, ia mendengar suara yang mengatakan bahwa ia akan diangkat menjadi Sultan Erucakra, Sayidina Panatagama, Khalifah daripada Rasulullah. Oleh karena itu Diponegoro dalam memimpin "Perang Jawa" ini senantiasa diwarnai oleh ajaran Islam dan bahkan berusaha agar syari'at Islam itu tegak di dalam daerah kekuasaannya.
Hal ini dapat dilihat dari surat Diponegoro yang ditujukan kepada penduduk Kedu, yang ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain berbunyi "Surat ini datangnya dari saya Kanjeng Gusti Pangeran Diponegoro bersama dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta Adiningrat kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan bahwa sekarang kami sudah minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui oleh semua orang baik laki-laki maupun perempun, besar atau kecil tidak usah kami sebutkan satu demi satu. Adapun orang yang kami suruh bernama Kasan Basari. Jikalau sudah menurut surat undangan kami ini, segeralah sediakan senjata, rebutlah negeri dan 'betulkan agama Rasul'. Jikalau ada yang berani tidak mau percaya akan bunyi surat saya ini, maka dia akan kami penggal lehernya…" Kamis tanggal 5 bulan Kaji tahun Be (31 Juli 1825).
Kiai Mojo adalah seorang ulama terkenal dari daerah Mojo Solo. Ia adalah seorang penasehat keagamaan Diponegoro yang memberikan corak dan jiwa Islam kepada perjuangan yang dipimpinnya. Disamping penasehat Diponegoro, ia juga memimpin pasukan bersama-sama anaknya di daerah Solo. Sebelum 'perang Jawa' pecah, ia telah berkenalan erat dengan Diponegoro, sehingga tatkala perang dicetuskan ia bersama anaknya Kiai GazaIi dan para santrinya bergabung dengan pasukan Diponegoro. Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) adalah putera Raden Rangga Prawiradirja III yang gugur di dalam pertempuran melawan pasukan Belanda. Ibu Prawiradirja (nenek Alibasah) adalah puteri Sultan Hamengku Buwono I. Jadi apabila dilihat dari silsilah keturunannya, ia adalah keturunan kraton Yogyakarta yang mempunyai hubungan darah dengan Diponegoro. Dilihat dari namanya, ia adalah seorang muslim. Pada saat 'perang Jawa' pecah, Alibasah masih muda sekali yaitu berumur 16 tahun. Sebagai remaja yang penuh semangat perjuangan yang diwarisi dari ayahnya, pengaruh agama Islam juga sangat besar dari tokoh utama perang Jawa, yaitu Diponegoro dan Kiai Mojo.
Dilihat dari para pelaku utama dalam Perang Jawa ini dapat disimpulkan bahwa Islam memegang peranan penting dalam memberikan motivasi dan inspirasi untuk menentang kezaliman dan tirani yang bertitik kulminasi dengan meletusnya perang tersebut. Kesimpulan ini sejalan dengan tulisan W.F. Wertheim yang antara lain menyatakan bahwa faktor baru muncul pada abad ke-19, di mana daerah-daerah di Indonesia rakyat tani banyak yang masuk Islam. Hal ini memperkuat posisi para kiai, karena sekarang mereka dapat mengandalkan untuk mendapatkan dukungan kuat dari rakyat.
Para penguasa kolonial Belanda terus menerus konfrontasi dengan sultan-sultan Indonesia mendorong mereka untuk mempersatukan diri dengan para kiai serta mengibarkan bendera Istam, sultan-sultan itu dapat mengobarkan pemberontakan umum. Ini dapat disaksikan dalam perang Jawa, perang Bonjol, perang Aceh. Lebih daripada itu keadaan perang ternyata menambah prestise dan kekuatan para 'ekstremis' di antara kiai itu untuk menggunakan senjata "Perang Sabil".
Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa Sultan Hamengku Buwono II dinobatkan pada tanggal 2 April 1792. Dalam masa kesultanannya, Gubernur Jenderal H.W. Daendels telah mengeluarkan peraturan yang mensederajatkan pejabat-pejabat Belanda seperti Residen Surakarta dan Yogyakarta dengan sultan dalam upacara-upacara resmi. Selanjutnya Daendels menuntut Patih Danureja II (kaki tangan Belanda) yang dipecat oleh sultan supaya dikembalikan kepada posisi semula. Tetapi sebaliknya Raden Rangga Prawiradirja III, yang menjadi bupati-wedana Mancanegara Yogyakarta, yang senantiasa menentang campur tangan Belanda, untuk diserahkan kepada Belanda guna mendapat hukuman.
Tuntutan Daendels ini ditolak oleh Sultan Hamengku Buwono II, sehingga ia mengirimkan pasukan Belanda untuk menundukkan sultan. Pertempuran terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan sultan; tetapi kekalahan berakhir bagi pasukan sultan, di mana Raden Rangga Prawiradirja gugur dalam pertempuran, dan Sultan Hamengku Buwono II pada bulan Januari 1811 diturunkan dari tahta dan digantikan oleh puteranya Adipati Anom menjadi Sultan Hamengku Buwono III atau Sultan Raja. Sultan Hamengku Buwono III ini adalah ayah dari Diponegoro. Pertentangan antara Sultan Hamengku Buwono II (paman Diponegoro) dengan Sultan Hamangku Buwono III (ayahnya sendiri), turut melibatkan Diponegoro yang pada saat itu telah cukup dewasa yaitu berumur 26 tahun (lahir tahun 1785). Dan ia secara politik berpihak kepada Sultan Hamengku Buwono II atau disebut Sultan Sepuh. Kemarahan Sultan Sepuh dan Diponegoro, bukan hanya Daendels secara sewenang-wenang menurunkannya dari tahta kesultanan Yogyakarta, tetapi juga daerah-daerah seperti Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto yang selama ini berada dibawah kekuasaan kesultanan Yogyakarta dirampas oleh Belanda.
Peran Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kejam dan rakus berakhir pada tanggal 16 Mei 1811, dan digantikan oleh J.W. Jansens. Jabatan Jansens sebagai Gubernur Jenderal hanya beberapa bulan saja, sebab setelah itu pasukan Inggris menyerbu Belanda, di mana akhirnya Belanda menyerah kalah di Kali Tuntang, Salatiga, Jawa Tengah. Peralihan kekuasaan antara Belanda kepada Inggris, dipergunakan sebaik-baiknya oleh Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II) untuk merebut kembali kesultanan Yogyakarta. Usaha ini berhasil dan bahkan Sultan Sepuh memerintahkan agar Patih Danureja II dihukum mati, karena persekongkolannya dengan Belanda.
Kehadiran Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal penguasa colonial Inggris di Indonesia, mengokohkan kekuasaan Sultan Sepuh dengan jalan tetapi mengakui Sultan Sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II yang berkuasa di daerah Yogyakarta dan menetapkan Sultan Hamengku Buwono III menjadi Adipati Anom. Tetapi tatkala Raffles meminta daerah-daerah Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto sebagai warisan dari Daendels, Sultan Sepuh menolaknya; tetapi Adipati Anom (Sultan Hamengku Buwono III) menerimanya bahkan membantu Inggris. Pertentangan ini menjadi alasan bagi Raffles untuk mengirimkan pasukan guna menundukkan Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II), dan berhasil. Sultan sepuh ditangkap dan dibuang ke Penang, Adipati Anom diangkat oleh Inggris menjadi Sultan Hamengku Buwono III pada tanggal 28 Juni 1812.
Untuk memberikan imbalan jasa kepada para pembantu Adipati Anom dalam mengalahkan Sultan Sepuh, maka Pangeran Natakusuma diberikan sebagian daerah kesultanan Yogyakarta menjadi seorang yang merdeka dengan Gelar Paku Alam I; dan Tan Jin Sing, seorang kapten Cina, diberikan pula tanah dan pangkat dengan gelar Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813).  Hal ini tentu saja suatu pukulan hebat bagi kesultanan Yogyakarta dan bagi para bangsawannya, karena kehilangan sumber penghidupannya; tanah-tanah lungguh makin susut dan banyak yang hilang.
Seperti halnya Daendels, maka Raffles-pun menjual tanah-tanah pemerintah kepada orang-orang swasta, seperti orang-orang asing Eropa dan Cina, untuk memperoleh penghasilan bagi penguasa kolonial Inggris. Disamping itu Raffles banyak membawa perubahan dan pembaharuan di dalam mengatur masalah-masalah agraria, antara lain mengadakan pajak tanah. Para petani diharuskan menyerahkan sepertiga dari hasil buminya kepada penguasa, baik dalam bentuk natura maupun uang.
Selanjutnya pada tanggal 3 Nopember 1814 Sultan Hamengku Buwono III wafat dalam usia 43 tahun; ia digantikan oleh puteranya Pangeran Adipati Anom yang bernama Jarot sebagai Sultan Hamengku Buwono IV. Sultan ini adalah adik Diponegoro dari lain ibu. Karena usia sultan masih sangat muda, maka dibentuklah sebuah 'Dewan Perwalian' dengan Pangeran Natakusuma (Paku Alam I) sebagai wakil sultan. Dalam priode ini, pada tanggal 19 Agustus 1816 John Fendall sebagai wakil pemerintah kolonial Inggris di Indonesia menyerahkan kekuasaan kepada Van der Capellen, Gubernur Jenderal Belanda sebagai wakil pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sultan Hamengku Buwono IV tidak lama berkuasa, sebab pada tanggal 6 Desember 1822 wafat; ia digantikan oleh puteranya yang masih kanak-kanak (lahir tanggal 25 Januari 1820), bernama Menol untuk menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Karena Sultan Bamengku Buwono V masih kecil, maka dibentuk 'Dewan Perwalian' yang terdiri atas: Kanjeng Ratu Ageng (nenek perempuan Sultan), Kanjeng Ratu Kencana (ibu Sultan), Pangeran Mangkubumi (anak Sultan Hamengku Buwono II atau paman Diponegoro) dan Diponegoro sendiri. Dewan perwalian, yang hampir sepenuhnya ditentukan oleh penguasa kolonial Belanda, yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama dan adat, maka Diponegoro menolak menjadi wali model penguasa kolonial Belanda. Penolakan ini dijadikan dasar untuk memfitnah Diponegoro oleh penguasa kolonial Belanda dan para kolaborator dari kalangan istana bahwa Diponegoro berambisi untuk menjadi sultan.
Peran penguasa kolonial Belanda dan Inggris yang seenaknya mengotak-atik pemegang tampuk pimpinan kesultanan Yogyakarta, mengurangkan daerah kekuasaannya dengan jalan merampas dari wilayah kekuasaan sultan serta membebani rakyat dengan berbagai tanam paksa dan pajak-pajak yang tinggi, adalah masalah yang susun susul-menyusul, yang menumbuhkan kebencian dan kemarahan Diponegoro dan rakyat yang mempunyai harga diri dan cinta terhadap kejujuran dan keadilan serta benci kepada setiap kezaliman dan tirani, baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri. Perasaan kesal dan marah tambah membengkak dengan tampilnya golongan Cina sebagai pemegang kunci yang menentukan di dalam kehidupan ekonomi dan sosial, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun di daerah kesultanan, bahkan sampai ke kraton.
Dominasi Cina di dalam bidang ekonomi dan sosial, yang mulai sejak Sultan Agung Mataram (1613-1646) sampai dengan Sultan Hamengku Buwono III (1812-1814), dimana sebagian orang kapten Cina secara resmi diberikan sebagian daerah kekuasaan sultan dengan pangkat Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813), adalah bentuk-bentuk kekuasaan Cina yang begitu mencolok di dalam kehidupan kesultanan Mataram dan dinasti penerusnya. Penguasaan kota-kota pelabuhan dengan syahbandar-syahbandar yang berhak memungut bea-cukai dikuasai Cina, penyewaan tanah yang jatuh ke tangan Cina, para tengkulak yang dimonopoli oleh Cina, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun sultan, menambah kemiskinan rakyat hingga menjadi melarat dan sengsara. Padahal sejak kehadiran Penguasa kolonial Belanda di Indonesia sampai saat keruntuhan Mataram, Cina senantiasa membantu dan bekerjasama dengan penguasa kolonial Belanda menghancurkan kesultanan Mataram.
Letusan perang Jawa ini hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja lagi. Api penyulut cukup sebatang korek api, tetapi lalang kering kerontang yang kena sulutan korek api itu akan meledak menjadi kebakaran yang sulit untuk dipadamkan. Moment yang tepat itu ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan tahun 1825, tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yang setia, telah memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta untuk membuat jalan, di mana antara lain menembus tanah milik Diponegoro dan neneknya di Tegalrejo. Penggunaan tanah milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemiliknya.
Oleh karena itu Diponegoro memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencabut tonggak-tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras dan menuntut supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda di Yogyakarta menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih
Danureja IV. Suasana tegang ini dikeruhkan oleh informasi yang menyatakan bahwa penguasa kolonial Belanda akan menangkap Diponegoro. Mendengar berita ini, rakyat yang telah dendam dan marah terhadap penguasa kolonial Belanda berkumpul menyatakan setia untuk membela dan mempertahankan Diponegoro, jika rencana penangkapan itu terjadi.
Ketegangan ini menimbulkan kegelisahan Langkah pertama yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa colonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi: "Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila saudara-saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya datanglah segera dan bersiap-siap untuk bertempur."
Seruan ini disebarluaskan di seluruh tanah Mataram, khusuanya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat. Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang bersama barisan santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan 'perang sabil' terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. Perang sabil menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hamper seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat. Tampilnya Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) dan sebagian para bangsawan di kalangan penguasa kolonial Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegalrejo untuk memanggil Diponegoro ke kraton. Semula Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari Pangeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang telah melakukan bai'ah (janji setia perjuangan).
Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi ini untuk memanggil Diponegoro, Residen A.H. Smisaert mengutus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer. Sebelum utusan Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang sedang berunding menjadi terhenti, karena mendengar letusan senjata dan tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan Belanda terhadap tempat kediaman Diponegoro, mengakibatkan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan rakyat mengungsi ke daerah Selarong, guna selanjutnya melancarkan peperangan untuk mengusir penguasa kolonial Belanda dari daerah kekuasaan kesultanan Yogyakarta khususnya dan Jawa umumnya. 
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan "Perang Jawa"Yogyakarta seperti antara lain Pangeran Ngabehi Jayakusuma, putera Sultan Hamengku Buwono II dan pangeran Mangkubumi melengkapi "Perang Jawa" yang dahsyat. Strategi perang gerilya yang dipergunakan oleh Diponegoro dengan taktik "serang dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian menghilang-bersembunyi", merupakan strategi dan taktik yang dapat melumpuhkan pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal perang Jawa.

(in sya Allah bersambung dengan Perang Jawa episode 2)
PERANG SABIL di NUSANTARA 3

PERANG BANTEN

Kemenangannya dengan Sultan Hasanuddin pada tahun 1667, membawa tekad yang lebih besar bagi Belanda untuk menundukkan Banten di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Strategi ini ditempuh, pertama, karena Banten adalah kekuasaan pemerintah Islam yang paling dekat dengan Batavia, dan senantiasa bisa mengancam keamanan dan ketenteraman Belanda di pusat pemerintahannya di Batavia. Kedua, Belanda telah mengadakan perjanjian damai dengan pemerintahan Mataram di bawah pimpinan Sultan Amangkurat I, putera Sultan Agung.
Sebelum konfrontasi bersenjata antara Belanda dengan Banten dibicarakan, sebaiknya diketahui tentang kondisi pemerintahan Islam di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Ia naik tahta kesultanan Banten pada tahun 1651, menggantikan ayahnya Sultan Abul Fath. Sejak kepemimpinannya, Banten telah naik kembali harkat dan martabatnya, sehingga kehidupan ekonomi berjalan sangat baik, pelabuhan Banten ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dagang dari Philipina, Jepang, Cina, India, Persia dan Arab. Islamisasi berjalan dengan sangat mantap, berkat kehadiran seorang ulama besar dari Makasar yang bernama Syeikh Yusuf. Perannya yang besar, dalam peningkatan Islamisasi di Banten; menyebabkan ia diambil menjadi menantu oleh Sultan. Setelah sepuluh tahun memerintah dengan sukses, Sultan mencoba menyiapkan penggantinya yaitu puteranya Pangeran Ratu untuk memegang kekuasaan di dalam negeri.
Untuk meningkatkan komunikasi dengan dunia Islam, Sultan pada tahun 1674 telah mengutus puteranya Pangeran Ratu atau dengan sebutan Sultan Abu Nashr Abdul Qahhar untuk melawat ke dunia Islam dan sekaligus naik Haji ke Mekah. Perjalanan ini memakan waktu kurang lebih dua tahun. Sekembalinya dari perlawatannya, ia diberikan kembali jabatan sebagai Sultan Muda, yang memerintah dalam negeri Banten, dengan sebutan Sultan Haji. Pergaulannya dengan para pejabat dan pengusaha Belanda yang mempunyai loji di Banten mempengaruhi pandangan hidupnya. Apalagi setelah diketahui bahwa adiknya pangeran Purbaya, yang mempunyai watak dan akhlaq menyerupai ayahnya dan lebih disenangi oleh para bangsawan Banten, menumbuhkan rasa kecurigaan, jika pengganti ayahnya itu akan beralih kepada adiknya. Perasaan kecurigaan dan ambisinya yang cepat menjadi sultan penuh, mendapat tanggapan positif oleh Belanda, yang sehari-harinya banyak bergaul dengan Sultan Haji. Persekutuan atau lebih tepat persekongkolan antara Sultan Haji dengan Belanda untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Purbaya berjalan dengan rapi. Peristiwa perompakan atau pembajakan kapal milik Banten yang pulang dari Jawa Timur oleh kapal-kapal Belanda, menimbulkam amarah Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga ia menyatakan perang kepada Belanda. Kebijaksanaan ini ditentang keras oleh anaknya Sultan Haji. Bahkan atas bantuan Belanda pada tanggal 1 Maret 1680, Sultan Haji menurunkan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan dan mengangkat dirinya menjadi Sultan Banten.
Tindakan pemecatan Sultan Ageng Tirtayasa menimbulkan reaksi besar dari para bangsawan Banten di bawah pimpinan Pangeran Purbaya dan para ulama dan rakyat di bawah pimpinan Syeikh Yusuf. Secara spontan rakyat Banten tidak mengakui kepemimpinan Sultan Haji di Banten. Dan sebaliknya mereka berkumpul dihadapan Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyatakan kesetiaannya dan bersedia berperang untuk menurunkan Sultan Haji dan Belanda-Kristen yang menjadi biang keladinya. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa telah berhasil menguasai seluruh Banten, kecuali istana Sultan Haji yang dikelilingi oleh benteng pertahanan yang kuat. Dalam situasi seperti itu, sesuai dengan persekongkolannya dengan Belanda, Sultan Haji meminta bantuan pasukan Belanda, yang berpangkalan tidak jauh dari pantai Banten. Dengan seketika itu pula armada pasukan Belanda-Kristen di bawah pimpinan Laksamana De Saint Martin pada tanggal 8 Maret 1680 mendarat di Banten. Untuk memperkuat pasukannya, Belanda mengirimkan lagi satu armadanya di bawah pimpinan Laksamana Tak.
Pada tanggal 7 April 1680 pagi-pagi buta pasukan Sultan Ageng di bawah pimpinannya langsung, didampingi oleh anaknya pangeran Purbaya dan menantunya Syeikh Yusuf melakukan serangan umum yang mematikan, terhadap kehidupan Sultan Haji dan pasukan Belanda. Dalam keadaan yang sangat kritis, Laksamana Saint Martin dan Laksamana Tak menyodorkan 'surat perjanjian' kepada Sultan Haji untuk ditanda-tangani, jika bantuan pasukan Belanda diperlukan oleh Sultan. Untuk mempertahankan hidupnya dan kekuasaannya, Sultan Haji menanda-tangani surat perjanjian yang sangat merugikan itu untuk selama-lamanya.
Setelah perjanjian selesai ditanda-tangani, mulailah pertempuran dahsyat antara pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dengan pasukan Belanda meledak. Meriam-meriam besar milik pasukan Belanda-Kristen dimuntahkan sebanyak-banyaknya ke tengah-tengah pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga menimbulkan korban yang banyak sekali, gugur menjadi syuhada. Kekuatan senjata yang sangat tidak seimbang, mengakibatkan pasukan Sultan Ageng mengalami kekalahan besar dan akhirnya ia, bersama pasukannya mengundurkan diri ke istananya di Tirtayasa dekat Pontang.
Tetapi tidak lama kemudian pasukan Belanda mengejarnya dan mengepung kota tersebut. Atas perintah Sultan Ageng, istana di bumi hanguskan, dan ia bersama Pangeran Purbaya dan Syeikh Yusuf serta pasukannya mengundurkan diri ke pedalaman dan membuat markasnya di Lebak (Rangkasbitung). Dari sini Sultan Ageng melancarkan pertempurannya dengan Belanda selama hampir setahun. Tetapi kemudian dalam pertempuran itu kerugian senantiasa diderita oleh pasukan sultan, bahkan Syeikh Yusuf sendiri tertangkap. Karena sudah tidak ada lagi kekuatan untuk melanjutkan peperangan, akhirnya pada bulan Maret 1683, Sultan Ageng Tirtayasa menyerah dan ia ditawan oleh Belanda di Batavia sampai wafatnya pada tahun 1695. Syeikh Yusuf yang ditangkap oleh Belanda dibuang mula-mula ke Sailan (Ceylon), kemudian ke Afrika Selatan dan di sana ia wafat, sedangkan Pangeran Purbaya meneruskan perjuangannya dengan bergerilya di daerah Periangan, tetapi akhirnya juga menyerah.
Selanjutnya, isi perjanjian antara Belanda dengan Sultan Haji, yang ditanda-tangani pada saat-saat genting itu berisi antara lain:
(a)   Semua hamba-sahaya (budak) milik Belanda yang lari melindungi diri ke Banten, wajib dikembalikan kepada Belanda;
(b)   Orang-orang Belanda yang membelot ke Banten dan bekerja untuk kepentingan Banten, seperti Cordeel, wajib diserahkan kepada Belanda;
(c)   Banten tidak boleh turut campur tangan dalam masalah-masalah politik di Cirebon dan daerah-daerah lain yang berada di bawah wewenang Mataram;
(d)   Segala kerugian yang diakibatkan oleh bajak laut dan sabotase oleh Banten terhadap milik Belanda, wajib ganti rugi dibayar oleh Banten;
(e)   Orang-orang asing tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan ekonomi di Banten, kecuali orang-orang Belanda.
Sultan Haji yang mengangkat dirinya menjadi sultan Banten sejak tanggal 1 Maret 1680 sampai wafatnya tahun 1687, pada hakekatnya telah menjadi bawahan Belanda-Kristen dan menyerahkan Banten ke bawah telapak jajahan Belanda dengan menumpahkan darah ayahnya dan saudara-saudaranya sendiri serta rakyat Banten.
Setelah Sultan Haji wafat pada tahun 1687, ia digantikan oleh puteranya dengan gelar Abu Fadl Muhammad Yahya. Pada tahun 1690, baru tiga tahun ia bertahta, Sultan Yahya wafat pula dan digantikan oleh adiknya Abu Mahasin Zainal Abidin. Gelar sultan setelah kekuasaan Sultan Haji pada dasarnya hanya 'sultan boneka Belanda', sebab yang berkuasa sebenarnya adalah Belanda.
Selanjutnya berdasarkan keputusan pemerintah Belanda di Nederland, pada tahun 1798 Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang didirikan sejak tahun 1606 dinyatakan bubar; segala hak-milik dan hutang-hutangnya seluruhnya diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Keputusan itu berlaku terhitung mulai tanggal 31 Desember 1799. Selanjutnya daerah kekuasaan VOC di Indonesia dikuasai langsung oleh pemerintah Belanda dengan jalan membentuk pemerintahan jajahan dengan nama 'Nederlandsch Indie' (Hindia Belanda). Dengan keputusan ini, secara resmi Indonesia merupakan daerah jajahan Belanda.
Untuk mengelola Hindia Belanda ini, maka pada tanggal 28 Januari 1807 Herman Willem Daendels telah diangkat menjadi Gubernur Jenderal, yang mulai berlaku pada hari keberangkatannya dari Nederland ke Indonesia yaitu pada tanggal 18 Februari 1807. Ia baru tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1808 dan pada tanggal 15 Januari 1808 timbang-terima dari Gubernur Jenderal Wiese sebagai pejabat tertinggi V OC terakhir dengan Gubernur Jenderal H.W. Daendels sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda dilangsungkan di Batavia.
H.W Daendels yang mempunyai tugas utama mengkonsolidir kekuatan militer Hindia Belanda untuk menghadapi kemungkinan serangan Inggris, maka pekerjaan pertama adalah membuat pelabuhan armada perang yang berpusat di ujung Kulon dan Merak, Banten-Jawa Barat. Untuk melaksanakan proyek ini H.W Daendels telah mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa yang terdiri dari rakyat Banten. Kerja paksa (rodi) yang di luar batas kemanusiaan mengakibatkan tidak kurang 1500 orang telah meninggal dunia.
Melihat nasib rakyat yang malang ini, Sultan Abdul Nasar dan Patih Wargadireja dari Banten menolak untuk turut serta melanjutkan proyek tersebut dengan jalan tidak lagi mau mengirimkan tenaga kerja ke sana. Penolakan sultan ini menimbulkan amarah Gubernur Jenderal, sehingga ia mengirimkan pasukan militer untuk menangkap Patih Wargadireja; yang dianggap sebagai pimpinan pembangkang, dan memerintahkan sultan untuk memindahkan istananya ke Anyer serta harus mengirimkan setiap hari 1000 tenaga kerja paksa ke proyek-proyek Daendels.
Pasukan Belanda yang dikirimkan kepada sultan disergap oleh prajurit dan rakyat Banten, kemudian dibunuh semuanya. Benteng Belanda yang ada di sekitar istana dan pegawai-pegawai Belanda yang diperbantukan di istana sultan semuanya diserbu dan dibunuh. Perlawanan terhadap tindakan sewenang-wenang penguasa kolonial Belanda yang bersifat putus asa telah berkembang menjadi huru-hara yang menyulut seluruh Banten.
Dalam menghadapi gerakan perlawanan Sultan Banten ini, H.W. Daendels telah mengirimkan pasukan militer yang besar sekali dari Batavia. Ibukota kesultanan Banten diserang habis-habisan dengan jalan pembunuhan massal dan perampokan harta milik rakyat Banten yang seluruhnya dilakukan oleh pasukan Belanda. Patih Wargadireja yang mati tertembak dalam pertempuran itu, jenazahnya dilemparkan ke laut oleh tentara Belanda. Sultan Abdul Nasar ditangkap dan dibuang ke Ambon dan seluruh daerah kesultanan dirampas, serta langsung dalam penguasaan Belanda dari Batavia. Untuk basa-basi putera mahkota diangkat menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Muhammad Aliuddin, yang berkuasa atas sebagian kecil saja dari daerah kesultanan Banten.
Kekejaman dan kebiadaban yang dilakukan oleh pasukan Belanda tidak menyebabkan matinya ruhul jihad (semangat berjuang) untuk melawan setiap bentuk kezaliman dan ketidak-adilan yang dilakukan oleh penjajah kafir Kristen. Di bawah pimpinan Pangeran Ahmad kekuatan perlawanan rakyat disusun kembali dan kali ini bukan hanya rakyat Banten tetapi juga dengan mengikut sertakan rakyat Lampung. Potensi rakyat besar yang disertai dengan tekad mati syahid di medan pertempuran perlawanan rakyat Banten-Lampung ini sulit untuk dapat ditumpas oleh Belanda-Kristen. Berulang kali pasukan militer Belanda yang dikirimkan dari Batavia untuk menghadapi perlawanan rakyat Banten-Lampung di bawah pimpinan Pangeran Ahmad senantiasa kandas dan gagal.
Perlawanan rakyat Banten-Lampung tambah seru, setelah H.W. Daendels membuka proyek jalan raya dari Anyer sampai Panarukan yang Panjangnya kurang lebih 1000 km, dengan tenaga kerja rodi. Para pekerja yang terdiri dari antara lain rakyat Banten dalam proyek jalan raya Anyer-Panarukan itu, tak ubahnya bagaikan budak belian yang pernah dijumpai dalam zaman Romawi kuno. Perlakuan kejam dan sadis oleh pasukan Belanda-Kristen ini, yang memperpanjang proses perlawanan rakyat Banten-Lampung. Walau akhirnya, perlawanan Pangeran Ahmad dengan rakyatnya bisa ditumpas oleh Belanda.
Kekejaman dan kebiadaban penguasa kolonial Belanda yang dilakukan di Indonesia, selain pandangan hidup yang dimiliki dari ajaran Kristen, yang menganggap umat Islam adalah keturunan palsu-penyembah syaitan dan manusia setengah monyet, juga karena dasar untuk mengatur pemerintahannya hanya berorientasi kepada kekuasaan tanpa hukum. Sebab hukum kolonial zaman VOC berkuasa yang ada hanya di Batavia dengan nama 'Statuta Betawi', yang berlaku untuk daerah 'Bataviase Ommelanden', dengan batas-batasnya:
- sebelah barat yaitu sungai Cisadane;
- sebelah utara yaitu teluk Batavia;
- sebelah timur yaitu aungai Citarum;
- belah selatan yaitu samudera Hindia.
Kemudian bagi beberapa daerah para penguasa VOC mencoba mengadakan kodifikasi dari hukum adat, untuk mengadili penduduk yang tunduk pada hukum adat, misalnya:
(a)   Kodifikasi hukum adat Cina yang berlaku bagi orang-orang Cina yang tinggal di sekitar pusat kekuasaan VOC;
(b)   Kodifikasi pepakem Cirebon, dimaksudkan berlaku bagi penduduk bumi putera (penduduk asli) di Cirebon dan sekitarnya;
(c)   Kodifikasi Kitab Hukum Mogharraer yang berlaku bagi penduduk bumi putera di Semarang dan sekitarnya;
(d)   Kodifikasi hukum adat Bone dan Goa, yang berlaku bagi penduduk bumi putera Bone dan Goa.
Dari fakta-fakta tentang hukum positif yang digambarkan di atas jelas bahwa penguasa VOC sebagai penguasa kolonial dalam mengatur daerah jajahannya (Indonesia) dari sejak tahun 1606 sampai dengan tahun 1798 semata-mata berdasarkan 'kekuasaan' dan bukan berdasarkan hukum.
Begitu pula penguasa Hindia Belanda yang mewarisi Indonesia sebagai daerah jajahan dari VOC tidak mendasarkan pemerintahannya dengan hukum, tetapi semata-mata berdasarkan kepentingan kekuasaan. Sebab baru pada tanggal 16 Mei 1846 penguasa Hindia Belanda melalui Keputusan Raja Belanda di Nederland telah mengeluarkan pengumuman Pengaturan Baru Tata Hukum di Indonesia, yang dimuat di dalam STB 1847, No. 23.
Pada saat berlakunya 'Tata Hukum Baru' itu maka terhapuslah ketentuan Hukum
Belanda Kuno dan Hukum Romawi; demikian juga segala peraturan dengan nama 'verordeningen, reglementen, publication, ordonansien, instruksien, plakkaten, statuten, costumen; dan pada umumnya segala peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis, yang di Indonesia mempunyai kekuatan hukum, sepanjang tidak tegas dipertahankan untuk seluruh Indonesia atau sebagiannya.
Pada pasal 1 dari keputusan Raja Belanda itu, mengatur antara lain tentang:
(a)  Ketentuan umum tentang perundang-undangan;
(b)  Peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan pengadilan;
(c)  Kitab Hukum Perdata;
(d)  Kitab Hukum Dagang.
Sedangkan pengaturan tentang Hukum Pidana termuat dalam pasal 8 dari keputusan raja tersebut di atas. Tetapi penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru dapat direalisasikan pada tahun 1886, di mana pada waktu itu negeri Belanda telah membuat Kitab Undang-undang Hukum Pidana sendiri yang bernama 'Nederlandsch Wetboek van Strafrecht'.
Bagi Indonesia yang menjadi daerah jajahan Belanda dengan Hindia Belanda sebagai
penguasanya, waktu itu dibuatkan pula Kitab Undang-Undang Hukum Pidana guna
masing-masing golongan sendiri-sendiri, yaitu:
(a)  Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan dengan Koninklijk Besluit tertanggal 10 Februari 1886; berisi mengenai tindak kejahatan saja;
(b)  Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk bumi putera dan timur asing, ditetapkan dengan Ordonansi 6 Mei 1872, berisi hanya mengenai tindak kejahatan saja;
(c)  Algemeene Politie Strafreglement untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan dengan Ordonansi tertanggal 15 Juni 1872, yang berisi hanya tentang tindak pelanggaran saja;
(d)  Algemeene Politie Strafreglement untuk golongan bumi putera dan timur asing, ditetapkan dengan ordonansi tertanggal 15 Oktober 1915.
Uraian historis tentang hukum positif yang digunakan oleh penguasa kolonial Hindia Belanda di Indonesia; baru secara formal diatur pada tahun 1846, yang pelaksanaannya baru bisa dilaksanakan pada tahun 1886. Dengan demikian penguasa Hindia Belanda yang mengambil-alih kekuasaan VOC pada tahun 1799 dan secara efektif baru berjalan sejak Januari 1808, dengan Gubernur Jenderal Daendels sebagai penguasa tertingginya, maka roda pemerintahan kolonial Belanda diatur semata-mata berdasarkan kekuasaan sampai pada tahun 1886.
Oleh karena itu hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia selama hampir 100 tahun Hindia Belanda berkuasa, senantiasa tergantung pada selera dan keinginan penguasa kolonial. Nilai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk seluruhnya tergantung kepada pertimbangan akal dan hawa nafsu penguasa kolonial Belanda. Kriteria mengenai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk sepenuhnya kembali kepada benak dan perut penguasa kolonial Belanda. Dengan kata lain, hampir satu abad penguasa Hindia Belanda berkuasa di Indonesia (dari 1799-1886) hukum yang berlaku adalah hukum rimba.
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.
Kekejaman dan kebiadaban yang pola contohnya telah diberikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.W. Daendels adalah merupakan pola kekuasaan Hukum rimba yang diwarisi turun-menurun oleh penguasa kolonial Belanda sampai mereka angkat kaki dari Indonesia pada tahun 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia. Kekejaman dan kebiadaban yang tak terperikan itu, yang melahirkan perlawanan umat Islam sepanjang masa, dalam periode kekuasaan kolonial Belanda.

(in sya Allah bersambung dengan Perang Jawa)