Pendahuluan
Datangnya Portugis dan
Belanda ke Indonesia, selain untuk menjajah juga untuk mengkristenkan umat Islam
Indonesia. Kedua tujuan tersebut dilaksanakan dalam ruang lingkup Perang Salib yang
tidak pernah padam dalam dada umat Kristen Barat.
Kesimpulan ini berasal dari
data yang tertera di bawah ini:
a. Th. Muller Kruger, guru besar
Sekolah Tinggi Kristen di Jakarta, pernah menulis antara lain:
Tentulah orang-orang Portugis ini
bukan saja ingin untuk menemukan negeri-negeri lain, melainkan mereka ingin pula
menaklukkan negeri-negeri tersebut, serta mencari kekayaan dunia. Tetapi tak dapat
disangkal bahwa yang mendorong mereka ialah "hasrat untuk mengkristenkan
daerah-daerah yang ditemukan dan ditaklukannya itu". Tiada percuma pada layar-layar kapal
mereka tertera "tanda salib". Mereka hendak menenamkan salib di tengah-tengah
bangsa kafir, bahkan dapat juga dikatakan bahwa merupakan semacam "perang
salib" apa yang mereka lakukan. Perang Salib yang penghabisan tidak mengikuti lagi
jalan-jalan yang semula. Sekarang "musuh Islam" ini diserang dari belakang; maksudnya
untuk memotong dari sumber penghidupannya. Penyebaran Injil
sudah menjadi tujuan yang utama, bukannya sebagai pekerjaan sambil lalu saja,
sebagaimana halnya dengan usaha-usaha bangsa Belanda dan Inggris kemudiannya.[1]
b.
d'Albuquerque, komandan Portugis tatkala menaklukkan Malaka pada tahun 1511, yang
pada saat itu dikuasai oleh kerajaan Islam, Sultan Mahmud Syah. Setelah membakar semua kapal-kapal umat
Islam, d'Albuquerque berpidato di depan pasukannya, antara lain:
Jasa yang akan
kita berikan pada Tuhan dengan mengusir orang Moor (Islam Arab) dari negeri
ini, adalah memadamkan api dari agama Muhammad, sehingga api itu tidak akan
menyebar lagi sesudah ini saya yakin benar, jika kita rampas perdagangan Malaka
ini dan mereka (umat Islam) Kairo dan Mekah akan hancur.[2]
Karena misi utama kedatangan
Portugis dan Belanda ke Indonesia untuk melanjutkan perang salib terhadap umat Islam
Indonesia, maka perlawanan umat Islam seperti Perang Padri, Perang Jawa, Perang Banjar, Perang Aceh,
dan lain-lain adalah PERANG SABIL, dimana panji-panji
Islam menjadi lambang perjuangan. Demikian ungkap W.F. Wartheim
Jalannya Perang Maluku
Konfrontasi
umat Islam dengan penjajah Portugis-Kristen tidak hanya terjadi di Jawa dan
Sumatera, tetapi juga terjadi di Maluku.Seperti telah diungkapkan di muka bahwa
kedatangan Portugis ke Maluku bersamaan waktunya dengan kedatangan Spanyol
yaitu pada tahun 1521. Kedatangan Portugis Kristen
ke Maluku, semula disambut baik oleh kedua kesultanan Islam di Tidore di bawah pimpinan Sultan Mansur
dan di Ternate di bawah pimpinan Sultan Khairun.
Kedatangan
Portugis-Kristen bukan saja bermaksud untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah
seperti cengkeh dan pala, tetapi juga bertujuan untuk mengkristenkan umat Islam
Maluku. sebab pada tahun 1546 rombongan missi Kristen Katholik di bawah
pimpinan. propagandis terkenal Franciscus Xaverius telah turut terjun mengkristenkan
umat Islam di Maluku. Methoda yang dilakukan, bukan
saja dengan da'wah tetapi lebih banyak dengan
jalan paksaan, melalui kekerasan militer dan senjata sebagaimana dilakukan di Spanyol
pada akhir abad-ke-15.
Perjanjian persahabatan dan
dagang antara Sultan Khairun dengan gubernur Portugis- Kristen de Mesquita yang ;di
tanda-tangani pada tahun 1564, dianggap seolah-olah Sultan Khairun itu di bawah jajahan
Portugis-Kristen. Pada suatu kali Sultan Khairun ditangkap oleh Gubernur Lopez de Mesquita dan dibawa ke Goa, pusat jajahan
Portugis- Kristen di Timur. Dari Goa sultan di bawa ke portugal
di Eropa. Di dalam pertemuan antara Raja Portugis dengan Sultan Khairun berjalan tidak seimbang, sehingga
keputusan yang diambil sangat menguntungkan
Portugis-Kristen. Persetujuan perjanjian yang diperbaharui itu menyebutkan bahwa hak-hak sultan
sebagaimana biasa diakui, tetapi Portugis-Kristen berhak memonopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate
dan usaha misi Kristen Katholik untuk kristenisasi tidak boleh
dihalang-halangi oleh sultan. Dan jika terjadi perselisihan antara sultan dengan gubernur
Portugis-Kristen, maka raja Portugislah yang berhak menyelesaikannya.
Perjanjian yang sangat
merugikan ini, mengakibatkan posisi kesultanan Ternate makin terjepit, apalagi sultan-sultan
Tidore, Jailolo (Gilolo) dan Bacan boleh dikatakan telah kehilangan kekuasaannya. Tidore
semenjak meninggalnya Sultan Mansur praktis telah kehilangan kedaulatan; Sultan Bacan telah dipaksa
memeluk agama Kristen dan Jailolo telah sepenuhnya dikuasai Portugis-Kristen. Melihat kondisi
seperti itu, tinggal Sultan Khairun masih berdiri tegak
menghadapi penjajah Portugis-Kristen.
Baru
saja satu tahun perjanjian Sultan Khairun dengan Raja Portugis-Kristen
berjalan, ternyata Gubernur de Mesquita sebagai pelaksana perjanjian itu telah
menganggap bahwa kesultanan Ternate sebagai daerah jajahannya saja. Akhirnya Sultan Khairun kehilangan kesabarannya dan
membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut serta sekaligus menyatakan perang kepada
Portugis-Kristen. Keputusan ini dilanjutkan dengan tindakan militer yaitu pasukan tentera Islam diperintahkan
mengusir semua orang Kristen, baik Portugis maupun
penduduk asli, dari kekuasaan Sultan Ternate.
Pelaksanaan perintah ini menimbulkan pertempuran, yang mengakibatkan
beratus-ratus missionaris dan umat Kristen mati
terbunuh dan beribu-ribu orang Kristen yang sempat melarikan diri ke Ambon dan
Mindanao. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan
Gubernur de Mesquita dan pimpinan missionaris, sehingga cepat-cepat meminta bantuan dari Malaka dan
Goa. Datangnya tentara
Portugis-Kristen dari Malaka dan
Goa, tidak menyebabkan pasukan tentera Islam di bawah pimpinan Sultan Khairun menjadi gentar, bahkan
menumbuhkan semangat untuk mati syahid di medan
pertempuran, pertempuran yang gagah-perkasa dari pasukan tentara Islam Ternate ini,
mengakibatkan kerugian yang besar bagi pasukan tentara Portugis-Kristen. Oleh karena itu
Portugis-Kristen yang licik ini, cepat-cepat mengajak damai.
Ajakan damai diterima oleh
Sultan Khairun dengan syarat bahwa semua pemeluk Kristen harus keluar dari Ternate sekaligus dan tidak
boleh ada lagi kegiatan Kristenisasi di Ternate. Perjanjian
perdamaian dan persahabatan ditanda-tangani lagi antara Sultan Khairun dengan Gubernur de Masquita,
dengan masing-masing memegang Kitab Suci al-Qur'an bagi Sultan Khairun dan
Injil bagi Gubernur de Masquita. Kemudian atas inisiatif
Gubernur de Masquita akan diselenggarakan resepsi peresmian perjanjian perdamaian itu di kediaman
gubernur sendiri. Di saat resepsi berlangsung, di mana Sultan Khairun dengan rombongannya
duduk berhadap-hadapan dengan gubernur de Masquita, tiba-tiba seorang pengawal
dari tentara Portugis-Kristen telah menikam Sultan dari belakang, akibatnya terjadi
perkelahian berdarah, sehingga sultan dan sebagian dari rombongannya meninggal dunia, hanya sebagian kecil yang
dapat menyelamatkan diri dan pulang ke Ternate.
Pengkhianatan ini terjadi
pada 28 Februari 1570. Peristiwa ini sepenuhnya dilaporkan
kepada Pangeran Babullah, putera Sultan Khairun, di Ternate. Pengkhianatan keji Portugis-Kristen ini
menimbulkan amarah umat Islam di Ternate, dan secepat mungkin mengangkat Pangeran Babullah menjadi
Sultan Ternate menggantikan ayahnya. Dalam
pelantikan Sultan Babullah menyentakkan pedang pusaka ayahnya dan meminta sumpah-setia dari rakyatnya
untuk berperang dengan Portugis-Kristen, sampai
Portugis-Kristen terusir dari Ternate dan tuntutan bela atas kematian ayahnya terlaksana, semua
rakyat yang hadir dalam upacara pelantikan sultan ini, menyatakan kesetiaannya dengan penuh ruhul jihad dan mati syahid.
Pasukan tentara Islam dibawah
pimpinan Sultan Babullah sendiri bergerak menuju kedua jurusan: satu pasukan tentara Islam dikirim untuk
menghancurkan benteng pertahanan Portugis-Kristen di
Ternete dan satu pasukan tentara Islam lainnya ditugaskan untuk menghancurkan benteng Portugis-Kristen
di Ambon. Raja Bacan yang telah menjadi pemeluk Kristen
sepenuhnya memberi bantuan kepada Portugis-Kristen, sedangkan Sultan Tidore menyokong
tentara Islam Ternate. Pertempuran dahsyat tak terhindar,
sehingga korban di kedua belah-pihak banyak yang berguguran. Berkat semangat mati syahid yang dimiliki
oleh pasukan Sultan Ternate, maka akhirnya benteng
pertahanan Portugis Kristen di Ambon berhasil dibakar, sehingga hanya sebagian kecil
pasukan Portugis-Kristen dapat menyelamatkan diri dan terus ke Malaka. Tinggallah para
pemeluk Kristen di Ambon menjadi panik dan cemas, khawatir disembelih oleh tentara Islam Ternate. Tetapi
begitu pasukan tentara Islam tiba, dengan tegas mereka
menyatakan bahwa umat Kristen Ambon akan diampuni dan tidak akan dipaksa masuk agama
Islam, asal mengakui tunduk kepada kekuasaan Sultan Babullah. Yang dikejar dan harus
dibunuh adalah penjajah Portugis-Kristen sebagai pengkhianat yang keji.
Walau benteng pertahanan
Portugis-Kristen Ambon telah ditaklukkan, tetapi benteng pertahanan Portugis-Kristen di
Ternate sendiri masih mampu bertahan selama lima tahun lamanya. Benteng pertahanan Portugis-Kristen di
Ternate yang terkurung selama lima tahun lamanya dan
bantuan dari tentara Portugis-Kristen yang didatangkan dari Malaka dan Goa tidak mampu menembus
blokade pasukan Sultan Ternate, akibatnya timbul kelaparan dan penyakit yang melanda pasukan
Portugis-Kristen yang terkurung itu. Dan alternatif
satu-satunya tidak lain adalah menyerah kalah kepada tentara Islam Ternate. Mendengar penderitaan dan
kesengsaraan yang diderita oleh tentara Portugis-Kristen di dalam benteng yang terkurung itu
maka Sultan Babullah mengirim utusannya kepada mereka yang terkurung di dalam benteng untuk menerima
usul Sultan. Isi usul atau tawaran Sultan itu antara
lain berbunyi: "Apabila orang-orang Portugis mau mengakui kekalahannya dalam 24 jam ini,
Sultan bersedia memberi izin tentara Portugis-Kristen meninggalkan benteng itu dengan
senjatanya sekaligus dan terus berangkat ke Malaka atau tempat lain. Bahkan jika
bangsa Portugis-Kristen bersedia menyerahkan hidup-hidup Gubernur de Masquita ke tangan
Sultan, untuk menjalankan hukum "qishas", maka sultan bersedia untuk
melakukan perjanjian persahabatan kembali dengan Portugis-Kristen, dengan tidak
mengurangi kedaulatan Sultan Ternate atas negeri dan rakyatnya”.
Akhirnya pada akhir tahun
1575 tentara Portugis-Kristen menyerah kepada Sultan Babullah, dan berkibarlah bendera
pemerintahan Islam di benteng tersebut untuk selama-lamanya, menggantikan bendera Portugis-Kristen.
(Insya Allah
bersambung episode Perang Makassar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar