Rabu, 21 September 2016

PERANG SABIL di NUSANTARA 1


PERANG MALUKU

Pendahuluan
Datangnya Portugis dan Belanda ke Indonesia, selain untuk menjajah juga untuk mengkristenkan umat Islam Indonesia. Kedua tujuan tersebut dilaksanakan dalam ruang lingkup Perang Salib yang tidak pernah padam dalam dada umat Kristen Barat.
Kesimpulan ini berasal dari data yang tertera di bawah ini:

a. Th. Muller Kruger, guru besar Sekolah Tinggi Kristen di Jakarta, pernah menulis antara lain:
Tentulah orang-orang Portugis ini bukan saja ingin untuk menemukan negeri-negeri lain, melainkan mereka ingin pula menaklukkan negeri-negeri tersebut, serta mencari kekayaan dunia. Tetapi tak dapat disangkal bahwa yang mendorong mereka ialah "hasrat untuk mengkristenkan daerah-daerah yang ditemukan dan ditaklukannya itu". Tiada percuma pada layar-layar kapal mereka tertera "tanda salib". Mereka hendak menenamkan salib di tengah-tengah bangsa kafir, bahkan dapat juga dikatakan bahwa merupakan semacam "perang salib" apa yang mereka lakukan. Perang Salib yang penghabisan tidak mengikuti lagi jalan-jalan yang semula. Sekarang "musuh Islam" ini diserang dari belakang; maksudnya untuk memotong dari sumber penghidupannya. Penyebaran Injil sudah menjadi tujuan yang utama, bukannya sebagai pekerjaan sambil lalu saja, sebagaimana halnya dengan usaha-usaha bangsa Belanda dan Inggris kemudiannya.[1]
b. d'Albuquerque, komandan Portugis tatkala menaklukkan Malaka pada tahun 1511, yang pada saat itu dikuasai oleh kerajaan Islam, Sultan Mahmud Syah. Setelah membakar semua kapal-kapal umat Islam, d'Albuquerque berpidato di depan pasukannya, antara lain:
Jasa yang akan kita berikan pada Tuhan dengan mengusir orang Moor (Islam Arab) dari negeri ini, adalah memadamkan api dari agama Muhammad, sehingga api itu tidak akan menyebar lagi sesudah ini saya yakin benar, jika kita rampas perdagangan Malaka ini dan mereka (umat Islam) Kairo dan Mekah akan hancur.[2]
Karena misi utama kedatangan Portugis dan Belanda ke Indonesia untuk melanjutkan perang salib terhadap umat Islam Indonesia, maka perlawanan umat Islam seperti Perang Padri, Perang Jawa, Perang Banjar, Perang Aceh, dan lain-lain adalah PERANG SABIL, dimana panji-panji Islam menjadi lambang perjuangan. Demikian ungkap W.F. Wartheim

Jalannya Perang Maluku
Konfrontasi umat Islam dengan penjajah Portugis-Kristen tidak hanya terjadi di Jawa dan Sumatera, tetapi juga terjadi di Maluku.Seperti telah diungkapkan di muka bahwa kedatangan Portugis ke Maluku bersamaan waktunya dengan kedatangan Spanyol yaitu pada tahun 1521. Kedatangan Portugis Kristen ke Maluku, semula disambut baik oleh kedua kesultanan Islam di Tidore di bawah pimpinan Sultan Mansur dan di Ternate di bawah pimpinan Sultan Khairun.
Kedatangan Portugis-Kristen bukan saja bermaksud untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala, tetapi juga bertujuan untuk mengkristenkan umat Islam Maluku. sebab pada tahun 1546 rombongan missi Kristen Katholik di bawah pimpinan. propagandis terkenal Franciscus Xaverius telah turut terjun mengkristenkan umat Islam di Maluku. Methoda yang dilakukan, bukan saja dengan da'wah tetapi lebih banyak dengan jalan paksaan, melalui kekerasan militer dan senjata sebagaimana dilakukan di Spanyol pada akhir abad-ke-15.
Perjanjian persahabatan dan dagang antara Sultan Khairun dengan gubernur Portugis- Kristen de Mesquita yang ;di tanda-tangani pada tahun 1564, dianggap seolah-olah Sultan Khairun itu di bawah jajahan Portugis-Kristen. Pada suatu kali Sultan Khairun ditangkap oleh Gubernur Lopez de Mesquita dan dibawa ke Goa, pusat jajahan Portugis- Kristen di Timur. Dari Goa sultan di bawa ke portugal di Eropa. Di dalam pertemuan antara Raja Portugis dengan Sultan Khairun berjalan tidak seimbang, sehingga keputusan yang diambil sangat menguntungkan Portugis-Kristen. Persetujuan perjanjian yang diperbaharui itu menyebutkan bahwa hak-hak sultan sebagaimana biasa diakui, tetapi Portugis-Kristen berhak memonopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate dan usaha misi Kristen Katholik untuk kristenisasi tidak boleh dihalang-halangi oleh sultan. Dan jika terjadi perselisihan antara sultan dengan gubernur Portugis-Kristen, maka raja Portugislah yang berhak menyelesaikannya.
Perjanjian yang sangat merugikan ini, mengakibatkan posisi kesultanan Ternate makin terjepit, apalagi sultan-sultan Tidore, Jailolo (Gilolo) dan Bacan boleh dikatakan telah kehilangan kekuasaannya. Tidore semenjak meninggalnya Sultan Mansur praktis telah kehilangan kedaulatan; Sultan Bacan telah dipaksa memeluk agama Kristen dan Jailolo telah sepenuhnya dikuasai Portugis-Kristen. Melihat kondisi seperti itu, tinggal Sultan Khairun masih berdiri tegak menghadapi penjajah Portugis-Kristen.
Baru saja satu tahun perjanjian Sultan Khairun dengan Raja Portugis-Kristen berjalan, ternyata Gubernur de Mesquita sebagai pelaksana perjanjian itu telah menganggap bahwa kesultanan Ternate sebagai daerah jajahannya saja. Akhirnya Sultan Khairun kehilangan kesabarannya dan membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut serta sekaligus menyatakan perang kepada Portugis-Kristen. Keputusan ini dilanjutkan dengan tindakan militer yaitu pasukan tentera Islam diperintahkan mengusir semua orang Kristen, baik Portugis maupun penduduk asli, dari kekuasaan Sultan Ternate.
Pelaksanaan perintah ini menimbulkan pertempuran, yang mengakibatkan beratus-ratus missionaris dan umat Kristen mati terbunuh dan beribu-ribu orang Kristen yang sempat melarikan diri ke Ambon dan Mindanao. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan Gubernur de Mesquita dan pimpinan missionaris, sehingga cepat-cepat meminta bantuan dari Malaka dan Goa. Datangnya tentara
Portugis-Kristen dari Malaka dan Goa, tidak menyebabkan pasukan tentera Islam di bawah pimpinan Sultan Khairun menjadi gentar, bahkan menumbuhkan semangat untuk mati syahid di medan pertempuran, pertempuran yang gagah-perkasa dari pasukan tentara Islam Ternate ini, mengakibatkan kerugian yang besar bagi pasukan tentara Portugis-Kristen. Oleh karena itu Portugis-Kristen yang licik ini, cepat-cepat mengajak damai.
Ajakan damai diterima oleh Sultan Khairun dengan syarat bahwa semua pemeluk Kristen harus keluar dari Ternate sekaligus dan tidak boleh ada lagi kegiatan Kristenisasi di Ternate. Perjanjian perdamaian dan persahabatan ditanda-tangani lagi antara Sultan Khairun dengan Gubernur de Masquita, dengan masing-masing memegang Kitab Suci al-Qur'an bagi Sultan Khairun dan Injil bagi Gubernur de Masquita. Kemudian atas inisiatif Gubernur de Masquita akan diselenggarakan resepsi peresmian perjanjian perdamaian itu di kediaman gubernur sendiri. Di saat resepsi berlangsung, di mana Sultan Khairun dengan rombongannya duduk berhadap-hadapan dengan gubernur de Masquita, tiba-tiba seorang pengawal dari tentara Portugis-Kristen telah menikam Sultan dari belakang, akibatnya terjadi perkelahian berdarah, sehingga sultan dan sebagian dari rombongannya meninggal dunia, hanya sebagian kecil yang dapat menyelamatkan diri dan pulang ke Ternate.
Pengkhianatan ini terjadi pada 28 Februari 1570. Peristiwa ini sepenuhnya dilaporkan kepada Pangeran Babullah, putera Sultan Khairun, di Ternate. Pengkhianatan keji Portugis-Kristen ini menimbulkan amarah umat Islam di Ternate, dan secepat mungkin mengangkat Pangeran Babullah menjadi Sultan Ternate menggantikan ayahnya. Dalam pelantikan Sultan Babullah menyentakkan pedang pusaka ayahnya dan meminta sumpah-setia dari rakyatnya untuk berperang dengan Portugis-Kristen, sampai Portugis-Kristen terusir dari Ternate dan tuntutan bela atas kematian ayahnya terlaksana, semua rakyat yang hadir dalam upacara pelantikan sultan ini, menyatakan kesetiaannya dengan penuh ruhul jihad dan mati syahid.
Pasukan tentara Islam dibawah pimpinan Sultan Babullah sendiri bergerak menuju kedua jurusan: satu pasukan tentara Islam dikirim untuk menghancurkan benteng pertahanan Portugis-Kristen di Ternete dan satu pasukan tentara Islam lainnya ditugaskan untuk menghancurkan benteng Portugis-Kristen di Ambon. Raja Bacan yang telah menjadi pemeluk Kristen sepenuhnya memberi bantuan kepada Portugis-Kristen, sedangkan Sultan Tidore menyokong tentara Islam Ternate. Pertempuran dahsyat tak terhindar, sehingga korban di kedua belah-pihak banyak yang berguguran. Berkat semangat mati syahid yang dimiliki oleh pasukan Sultan Ternate, maka akhirnya benteng pertahanan Portugis Kristen di Ambon berhasil dibakar, sehingga hanya sebagian kecil pasukan Portugis-Kristen dapat menyelamatkan diri dan terus ke Malaka. Tinggallah para pemeluk Kristen di Ambon menjadi panik dan cemas, khawatir disembelih oleh tentara Islam Ternate. Tetapi begitu pasukan tentara Islam tiba, dengan tegas mereka menyatakan bahwa umat Kristen Ambon akan diampuni dan tidak akan dipaksa masuk agama Islam, asal mengakui tunduk kepada kekuasaan Sultan Babullah. Yang dikejar dan harus dibunuh adalah penjajah Portugis-Kristen sebagai pengkhianat yang keji.
Walau benteng pertahanan Portugis-Kristen Ambon telah ditaklukkan, tetapi benteng pertahanan Portugis-Kristen di Ternate sendiri masih mampu bertahan selama lima tahun lamanya. Benteng pertahanan Portugis-Kristen di Ternate yang terkurung selama lima tahun lamanya dan bantuan dari tentara Portugis-Kristen yang didatangkan dari Malaka dan Goa tidak mampu menembus blokade pasukan Sultan Ternate, akibatnya timbul kelaparan dan penyakit yang melanda pasukan Portugis-Kristen yang terkurung itu. Dan alternatif satu-satunya tidak lain adalah menyerah kalah kepada tentara Islam Ternate. Mendengar penderitaan dan kesengsaraan yang diderita oleh tentara Portugis-Kristen di dalam benteng yang terkurung itu maka Sultan Babullah mengirim utusannya kepada mereka yang terkurung di dalam benteng untuk menerima usul Sultan. Isi usul atau tawaran Sultan itu antara lain berbunyi: "Apabila orang-orang Portugis mau mengakui kekalahannya dalam 24 jam ini, Sultan bersedia memberi izin tentara Portugis-Kristen meninggalkan benteng itu dengan senjatanya sekaligus dan terus berangkat ke Malaka atau tempat lain. Bahkan jika bangsa Portugis-Kristen bersedia menyerahkan hidup-hidup Gubernur de Masquita ke tangan Sultan, untuk menjalankan hukum "qishas", maka sultan bersedia untuk melakukan perjanjian persahabatan kembali dengan Portugis-Kristen, dengan tidak mengurangi kedaulatan Sultan Ternate atas negeri dan rakyatnya”.
Akhirnya pada akhir tahun 1575 tentara Portugis-Kristen menyerah kepada Sultan Babullah, dan berkibarlah bendera pemerintahan Islam di benteng tersebut untuk selama-lamanya, menggantikan bendera Portugis-Kristen.

(Insya Allah bersambung episode Perang Makassar)




[1] Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia; BPK, Jakarta, 1959, hal. 18-19.
[2] Hamid Algadri; C. Snouck Hugronye, Politik Belanda Terhadap Islam dan Arab; Sinar Harapan, Jakarta, 1984, hal. 76-77.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar