Rabu, 19 Oktober 2016

                  Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara(14)
                       

HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia dilahirkan pada tanggal 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Hindia Belanda (saat itu). Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.


                  Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara(13)
                       

K.H AHMAD DAHLAN

Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis, anak dari seorang Kyai Haji Abubakar bin Kyai Sulaiman, khatib di masjid sulthan kota itu. Ibunya adalah Siti Aminah binti Kyai Haji Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Muhammad Darwis adalah anak ke empat dari tujuh bersaudara. Adapun saudara Muhammad Darwis menurut urutannya adalah: (1) Nyai Chatib Arum, (2) Nyai Muhsinah (Nyai Nur), (3) Nyai H. Sholeh, (4) M. Darwis (K.H.A. Dahlan), (5) Nyai Abdurrahman, (6) Nyai H. Muhammad Fekih (Ibu H. Ahmad Badawi), dan (7) Muhammad Basir.
Muhammad Darwis lahir dan dibesarkan di daerah Yogyakarta, yang terkenal dengan nama kampung Kauman. Kauman secara populer kemudian menjadi nama dari setiap daerah yang berdekatan letaknya dengan masjid, dan kampung Kauman dikenal anti dengan penjajah. Suasana seperti ini tidak memungkinkan bagi Muhammad Darwis untuk memasuki sekolah yang dikelola oleh pemerintah penjajah. Pada waktu itu siapa yang memasuki sekolah Gubernamen, yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah jajahan, dianggap kafir atau kristen. Sebab itu Muhammad Darwis tidak menuntut ilmu pada sekolah Gubernamen, ia mendapatkan pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan dari ayahnya sendiri.
Setelah menginjak dewasa, Muhammad Darwis mulai membuka kebetan kitab mengaji kepada K.H. Muhammad Saleh dalam bidang pelajaran ilmu Fiqih dan kepada K.H. Muhsin dalam bidang ilmu Nahwu. Kedua guru tersebut, merupakan kakak ipar yang rumahnya berdampingan dalam satu komplek. Sedangkan pelajaran yang lain berguru kepada ayahnya sendiri, juga berguru kepada K.H. Muhammad Noor bin K.H. Fadlil, Hoofd Panghulu Hakim Kota Yogyakarta dan K.H. Abdulhamid di Kampung Lempuyang Wangi Yogyakarta.
Selain itu Muhammad Darwis juga berguru kepada beberapa guru, diantaranya: belajar ilmu fikih kepada kiyai Haji Muhammad Shaleh, belajar ilmu nahwu kepada K.H. Muhsin, ilmu falak kepada Kiyai Raden Haji  Dahlan, ilmu hadis kepada Kyai Mahfudh dan Syaikh Khayyat, ilmu Qiraah kepada Syaikh Amin dan Syaikh Bakri Satock. Guru-guru Muhammad Darwis lain yang bisa disebut adalah: Kyai Haji Abdul Khamid, Kyai Haji Muhammad Nur, Syaikh Hasan, dan lain-lain.
Ketika masa dewasa (tahun 1890) K.H Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji ke Makkah. Di Makkah beliau tidak hanya menunaikan ibadah haji saja, tetapi juga memperluas pengetahuannya dengan berguru selama setahun kepada para Alim Ulama’ Indonesia yang sudah bermukim disana seperti; K.H. Mahfudz dari Termas, K.H. Nakhrawi (Muhtaram) dari Banyumas, K.H. Muhammmad Nawawi dari Bantan, serta kepada para alim ulama’ Makkah yang sudah dikenalnya di Jawa. Salah seorang gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib. Dalam kesempatan itu seorang gurunya bernama Sayyid Bakri Syatha memberikan nama baru kepada Muhammad Darwis, yaitu Ahmad Dahlan.
Selepas pulang dari Makkah, K.H. Ahmad Dahlan mengajar dan berjuang ditanah kelahirannya. Sekitar tahun 1898, Ahmad Dahlan berhasil menghimpun para alim ulama’ dari kota Yogyakarta dan sekitarnya untuk membicarakan hal arah kiblat. Ada sekitar 20 orang yang hadir dalam musyawarah di surau Ahmad Dahlan, pertemuan tersebut hanya merupakan forum tukar pikiran saja, tidak menetapkan suatu apapun. Ternyata pikiran Ahmad Dahlan yang belum mencapai kata sepakat dikalangan para ulama’, telah cukup berpengaruh dikalangan generasi muda daerah Kauman. Babarapa hari setelah musyawarah itu selesai, terjadilah hal yang cukup menggemparkan karena lantai masjid Agung Kauman digaris dengan kapur yang menunjuk kearah barat laut. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat dimasjid agung itu kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid dan tanda shaf yang ditulis dengan benar. Ahmad Dahlan kemudian mendirikan langgar pribadi yang dibangun tepat menghadap kiblat. Akan tetapi langgar tersebut dirobohkan. Kemudian ia mendirikan lagi langgar yang persis menghadap kebarat dan lantainya diberi tanda shaf yang tepat menghadap kearah Makkah.
Sesudah peristiwa ini, sekitar tahun 1903 beliau kembali ke Makkah bersama putranya yang baru berumur 6 tahun (Muhammad Siradj) untuk menuntut ilmu dan melaksanakan haji untuk kedua kalinya dan memeperdalam agama selama dua tahun. Disana beliau berguru kepada beberapa guru spesialis, dalam ilmu fiqih berguru kepada Kyai Machful Tremas, Kyai Muhtaram Banyumas, Syeikh Shaleh Bafadhal, Syeikh Sa’id Jamani, Syeikh Sa’id Babusyel. Dalam ilmu hadish berguru kepada Mufti Syafi’i. Kiyai Asy’ari Baweyan dalam ilmu Falak (Cakrawala) dan Syaikh Ali Mishri Makkah dalam ilmu Qira’at.
Selain belajar kepada guru spesialis, K.H. Ahmad Dahlan juga membaca kitab-kitab berjiwa tamaddun dari luar negeri, diantaranya tafsir Qur’an Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Jamaluddin al-Afgani, Imam Ghazali, Rasyid Ridla, Thantawi Jauhari dan lain-lain sebagainya. Yang tentu saja kitab-kitab itu tidak ditelaah mentah-mentah tetapi difahami dengan sesempurna-sempurnanya. Akitab-kitab inilah yang kemudian hari menginspirasi K.H. Ahmad Dahlan dalam memperjuangkan kemurnian Islam di Indonesia.
Penting sekali dicatat bahwa dalam kepergian kedua kali di Makkah ini, Ahmad Dahlan sempat berjumpa dengan Rasyid Ridha, tokoh pembaharuan Islam di Mesir. Perjumpaannya dan dialog dengan Rasyid Ridha ini memberikan pengaruh yang kuat terhadap pemikiran Ahmad Dahlan, karena pandangan para pembaharu Islam itu menitikberatkan pada pemurnian tauhid (keesaan Allah), tidak beriman secara taklid (secara membabi buta percaya kepada keterangan seseorang tanpa mengetahui landasan yang primer); yang selama ini juga dipikirkan oleh Ahmad Dahlan. Selain pertemuan yang sangat bermanfaat dengan para tokoh pembaharu, beliau juga membaca dan menelaah berbagai kitab. Dan kitab-kitab yang menjadi kegemaran dan mengilhami beliau adalah kitab karya Syekh Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyyah, Rasyid Ridha dan Farid Wajdi.
Sekembalinya dari Makkah Ahmad Dahlan diangkat sebagai khatib menggantikan ayahnya, dan mendapat gelar “Mas”. Dengan demikian, dia sudah masuk kelompok kaum bangsawan atau ningrat, meskipun pada strata yang rendah. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Ahmad Dahlan berdagang kain. Oleh karena itu, dia sering bepergian dan mengadakan hubungan dagang pedagang lain, termasuk dengan sejumlah pedagang arab. Selain berdagang, pada hari-hari tertentu ia memberikan pengajian kepada beberapa kelompok orang, terutama pada sekelompok murid pendidikan guru pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan madrasah dengan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam lingkungan keraton Yogyakarta. Di sekolah ini pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan Gubernemen. Sekolah ini dapat dikatakan sebagai sekolah Islam swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah dan kemudian memenuhi subsidi tersebut. Ahmad Dahlan adalah seorang yang lebih bersifat pragmatikus yang sering menekankan semboyan kepada murid-muridnya, sedikit bicara, banyak bekerja. Dia juga salah seorang murid ulama Syafi’iyah, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang terkenal dimakkah. Ahmad Dahlan banyak membaca buku-buku dan majalah-majalah agama dan umum, banyak bergaul dengan berbagai kalangan, selama perjalanannya, terutama dengan orang-orang Arab, sehingga ide-idennya bertambah dan berkembang terus menerus.
Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk meng­ajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut. Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat (Kweekschool Putri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muham­madiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat. Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Perkumpulan ini berdiri pada tanggal 18 Nopember 1912. Sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur'an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan Kejawen.
Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang dikenal dengan nama Pramuka - dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang. Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman.
Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang ada saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai sering diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang. Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri Cabang Muham­madiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk meng­atasinya, maka K.H. Ahmad Dahlan menyiasa­tinya dengan menganjurkan agar Cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain, misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari Cabang Muhammadiyah. Di dalam kota Yogyakarta sendiri, Ahmad Dahlan menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Pada usia 54 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, wilayah bernama Mergangsan di Yogyakarta. Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam mem-bangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pemba­haruan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.


                  Ulama Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara(12)
                       


K.H HASYIM ASY’ARI

KH. Hasyim Asy’ari atau nama lengkapnya Muhammad Hasyim, lahir di desa Gedang Jombang pada 24 Zulkaidah 1287 H/14 Februari 1871, dan wafat di Jombang pada Juli 1947. Secara genealogi, KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kyai, karena kakek buyutnya adalah Kyai Sihah yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, sedangkan kakeknya Kyai Usman adalah kyai terkenal pendiri pondok pesantren Gedang, sedangkan ayahnya Asy’ari adalah pengasuh pondok pesantren Keras di Jombang.
Dari silsilah ini maka dapat dilihat bahwa KH. Hasyim Asy’ari lahir dan dibesarkan di lingkungan pondok pesantren. Bahkan pada usia 13 tahun ia sudah menguasai kitab-kitab Islam klasik dan diangkat menjadi badal (asisten pengajar) di pondok pesantren ayahnya. Pada usia 15 tahun, Hasyim Asy’ari mulai mengembara ke berbagai pesantren di pulau Jawa untuk memperdalam ilmu agama, seperti di Pesantren Wonocolo Jombang, Pesantren Probolinggo, Pesantren Langitan, Pesantern Tranggilis, dan berguru kepada Kyai Kholil di Bangkalan, Madura. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadijah, salah satu puteri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.
Pada 1893, KH. Hasyim Asy’ari berangkat ke Mekah untuk memperdalam ilmu agama dan berguru kepada Syekh Mahfudh At- Tarmisi yang berasal dari Tremas, Jawa Timur. Syekh Mahfudh At- Tarmisi menjadi pengajar di Masjidil Haram dan merupakan ulama ahli hadits di Mekah, beliau adalah murid Syekh Nawawi al-Bantany yang menjadi murid Syekh Ahmad Khatib Sambasi (tokoh tasawuf yang berhasil menggabungkan tarikat Qadariah dan tarikat Naqsyabandiah).
Untuk melengkapi pengetahuannya di bidang agama, KH. Hasyim Asy’ari kemudian berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al- Minangkabau. Namun dari sekian banyak gurunya itu, yang paling mempengaruhi jalan pikiran KH. Hasyim Asy’ari adalah Syekh Mahfudh At-Tarmisi. Dari gurunya inilah dia memperoleh ijazah tarikat Qadariah dan Naqsabandiah. Setelah 7 tahun belajar di Mekah, KH. Hasyim Asy’ari pulang ke Jawa dan mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang pada 26 Rabiul Awal 1317 H/1899 M. Di pondok pesantren inilah KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan kitab-kitab klasik kepada santrinya yang oleh kalangan NU dikenal dengan “kitab kuning”. Dari pesantren ini pula kemudian banyak bermunculan kyai dan ulama terkemuka yang mewarnai pemikiran Islam di Indonesia.
Setelah mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng, KH. Hasyim Asy’ari mewarnai lembaga pendidikannya dengan pandangan dan metodologi tradisional. Ia banyak mengadopsi pendidikan Islam klasik yang lebih mengedepankan aspek-aspek normatif, tradisi belajar-mengajar, dan etika dalam belajar yang dipandangnya telah mengantarkan umat Islam kepada zaman keeemasan. Dalam karyanya, Adab al-‘Alim wa-Al-Mutta’allim, KH. Hasyim Asy’ari terlihat banyak dipengaruhi oleh tradisi pendidikan Islam klasik dan penulis-penulis klasik seperti Imam al-Ghazali dan Al-Zarnuji.
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam paham keagamaan terlihat dari pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem bermazhab. Inilah pandangannya yang erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas kaum Muslimin yang disebut sebagai “ahli sunnah wal jama’ah”. Pemikirannya tentang paham bermazhab ini tertuang dalam karyanya Qanun Asasy li-Jam’iyyati Nahdlatul Ulama yang kemudian dijadikan pijakan dasar organisasi NU. Menurut KH. Hasyim Asy’ari, paham bermazhab timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah secara benar, sebab dalam sejarahnya, sebagai upaya pemahaman terhadap dua sumber utama ajaran Islam itu, sering terjadi perselisihan pendapat. Hal ini menyebabkan banyak lahir pemikir besar (mujtahid). Namun karena pemikiran mereka tidak gampang dirumuskan secara sederhana, KH. Hasyim Asy’ari menyimpulkan bahwa untuk pemahaman keagamaan dan fiqih ditetapkan empat mazhab (Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi) yang menjadi cirri utama paham ahlusunnah dan NU.
KH. Hasyim Asy’ari dalam karyanya yang berjudul al-Risalah al- Tauhidiyyah dan al-Qaid fi Bayan Ma Yajib Min al-Qaid menjelaskan bahwa ada tiga tingkat apresiasi manusia tentang Tuhan. Pertama, meliputi penilaian tentang keesaan Tuhan (adalah pemahaman tauhid untuk orang awam). Kedua, pengetahuan dan teori kepastian adalah bersumber dari Allah (pemahaman tauhid untuk para ulama). Ketiga, menggambarkan dari perasaan yang paling dalam akan keagungan Tuhan (untuk para sufi yang membawa kepada pengetahuan tentang Tuhan atau Ma’rifat). Tarikat juga tidak luput dari perhatian KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini sebagaimana tertuang dalam karyanya al-Durar al-Muntasyirah fi Masail al-Tis’a ‘Asyarah yang berisi tentang bimbingan praktis agar umat Islam lebih berhati-hati memasuki dunia tarikat. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan apa arti wali Allah yang selama ini dijadikan sandaran kaum tarikat.
Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan yang kemudian pada 1912 membentuk organisasi Muhammadiyah yang banyak melakukan kritik terhadap praktik-praktik keagamaan yang dilakukan kelompok muslim tradisional, seperti menolak tarikat atau praktik seperti talqin yang berkembang sebagai tradisi keagamaan muslim tradisional. Puncak dari pertentangan muslim “modern” dan muslim “tradisional” ini terjadi ketika pemerintah Ibnu Saud dari kerajaan Saudi Arabia ingin mengadakan kongres tentang kekhalifahan di Mekah dalam usahanya untuk mendirikan kekhalifahan baru, bahkan terdapat keinginan membongkar makam Rasulullah SAW.
Hal ini mendapatkan respons yang positif dari tokoh-tokoh Islam di Indonesia, sehingga diadakanlah kongres di Bandung yang dihadiri kelompok Islam modernis dan tradisional. Hasil dari kongres ini menunjuk Tjokroaminoto dari SI dan KH. Mas Mansyur dari Muhammadiyah (keduanya kelompok modernis) untuk mengikuti kongres tentang kekhalifahan di Mekah tersebut. Hal ini menimbulkan kekecewaan kelompok Islam tradisional karena tidak terwakili mengikuti kongres tersebut. Karena itu KH. Wahab Hasbullah (kelompok tradisional) mengusulkan agar utusan Indonesia meminta kepada pemerintah Wahabi Saudi Arabia agar tetap mempertahankan ajaran dan praktik keagamaan empat mazhab, walaupun permintaan itu ditolak.
Untuk memperjuangkan aspirasi ulama-ulama tradisional agar dapat bertemu dengan Raja Ibnu Su’ud, pada 31 Januari 1926 KH. Wahab Hasbullah mengundang ulama tradional terkemuka seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Asnawi, dan beberapa tokoh lainnya untuk membicarakan langkah-langkah atas utusan ulama tradisional untuk dapat mengirimkan utusan sendiri mengikuti kongres kekhalifahan di Arab Saudi, dalam pertemuan tersebut dihasilkan beberapa keputusan penting sebagai berikut:
a.       Mereka secara resmi membentuk komite Hijaz, yang akan mengirimkan utusan sendiri untuk menghadapi Raja Ibnu Su’ud.
b.      Membentuk organisasi yang berfungsi sebagai wahana para ulama dalam membimbing ulama mencapai kejayaan, dan organisasi tersebut diberi nama “Nahdlatul Ulama”.
Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 sebenarnya tak bisa dilepaskan dengan perkembangan kelompok Islam yang secara relatif berhaluan pembaruan ke arah “yang disebut” pemurnian (purifikasi) ajaran Islam. Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada 1912 oleh KH Ahmad Dahan yang kemudian gerakannya dianggap cenderung berbeda dengan kebiasaan praktik-praktik keagamaan (Islam) masyarakat lokal merupakan bagian dari efek picu (trigger effect) yang mempercepat lahirnya NU. Ditambah lagi pada saat itu gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah di bawah pengaruh kuat ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) dianggap sudah kebablasan karena sudah sampai pada keinginan membongkar makam Rasulullah SAW. Kalangan ulama Indonesia berhaluan Sunni akhirnya membentuk komite (yang disebut Komite Hijaz) yang selanjutnya diutus khusus untuk menemui Raja Fahd di Arab Saudi.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah, baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya. Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei, yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari KH Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Resolusi itu sendiri didasarkan atas fatwa Kyai Hasyim bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan Soekarno-Hatta adalah sah secara fikih.
Pada tanggal 7 Nopember 1945, tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
Di samping seorang nasionalis, Kyai Hasyim juga bukan sosok yang haus jabatan. Ia tidak pernah tergoda untuk berpolitik praktis. Ketika diberi jabatan oleh Jepang sebagai Kepala Shumubu (Kantor Urusan Agama), misalnya, jabatan itu ia serahkan kepada putranya, KH. A Wahid Hasyim. Jadi Kyai Hasyim hanya menjadi kepala secara de jure. Demikian juga jabatan sebagai Ketua Masyumi. Semua urusan politik praktis didelegasikan kepada putranya, sementara Kyai Hasyim sendiri tetap istiqamah berdakwah dan menjadi guru di pesantren. Ia tidak pernah meninggalkan-apalagi melalaikan-tugas utamanya sebagai kyai pesantren.
Kyai Hasyim tidak pernah melarang kyai dan santri-santrinya berpolitik. Ia sendiri memberi contoh bagaimana berpolitik. Namun politik Kyai Hasyim adalah politik makrostrategis. Ia benar-benar melibatkan dirinya dalam urusan politik jika ada situasi darurat yang mengancam kedaulatan bangsa dan kemerdekaan umat untuk menjalankan ajaran agamanya. Demikian juga Kyai Hasyim. Ia hanya terjun ke dunia politik dalam situasi dan alasan khusus. Selebihnya ia kembali ke pesantren mengabdikan hidupnya untuk pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan umat. Pada tanggal  25 Juli 1947, K.H Hasyim Asy’ari wafat dan dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.