MATERI SKI 8 BAB 3
http://gg.gg/inhar_ski8_materibab3
LATIHAN UJI KOMPETENSI BAB 3
http://gg.gg/inhar_latihanposttest_ski8_bab3
Senin, 31 Oktober 2016
Kamis, 27 Oktober 2016
PR 1 SKI KELAS 7 BAB 2
DAKWAH RASULULLAH PERIODE MADINAH
http://gg.gg/inhar_pr_ski_7_dakwahperiodeMadinah
DAKWAH RASULULLAH PERIODE MADINAH
http://gg.gg/inhar_pr_ski_7_dakwahperiodeMadinah
Rabu, 19 Oktober 2016
Ulama
Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara (14)
HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin
Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis
Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia dilahirkan pada tanggal 17
Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Hindia Belanda (saat
itu). Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji
Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari
Makkah pada tahun 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas
dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera
Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami
bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid
yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid,
Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Hamka mula-mula
bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan
dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik
sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah,
Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat
menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas
Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai
Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan
itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau
bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun
Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki
karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan,
Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab
juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert
Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl
Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran
dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas
Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil
mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia
mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat,
bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau
mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka
mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau
menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua
Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah,
menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali
pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada
tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26
Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai
ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan
pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi
anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu
menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan
menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka
diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi
anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum
1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno
karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis
Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari
penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional,
Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga
Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang
wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi
wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang
Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah
Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan
majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman
Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel
dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara
novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di
Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah
Lindungan Ka’bah dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah
pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor
Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas
Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah
Indonesia.
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan
pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia
bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara
kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan
Singapura, turut dihargai.
Ulama
Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara (13)
K.H AHMAD DAHLAN
Ahmad Dahlan
dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis, anak
dari seorang Kyai Haji Abubakar bin Kyai Sulaiman, khatib di masjid sulthan
kota itu. Ibunya
adalah Siti Aminah binti Kyai Haji Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Muhammad Darwis adalah anak ke empat dari tujuh bersaudara. Adapun
saudara Muhammad Darwis menurut urutannya adalah: (1) Nyai Chatib Arum, (2)
Nyai Muhsinah (Nyai Nur), (3) Nyai H. Sholeh, (4) M. Darwis (K.H.A. Dahlan),
(5) Nyai Abdurrahman, (6) Nyai H. Muhammad Fekih (Ibu H. Ahmad Badawi), dan (7)
Muhammad Basir.
Muhammad Darwis lahir dan dibesarkan di daerah Yogyakarta, yang terkenal
dengan nama kampung Kauman. Kauman secara populer kemudian menjadi nama dari
setiap daerah yang berdekatan letaknya dengan masjid, dan kampung
Kauman dikenal anti dengan penjajah. Suasana seperti ini tidak memungkinkan bagi Muhammad Darwis untuk
memasuki sekolah yang dikelola oleh pemerintah penjajah. Pada waktu itu
siapa yang memasuki sekolah Gubernamen, yaitu sekolah yang diselenggarakan
oleh pemerintah jajahan, dianggap kafir atau kristen. Sebab itu
Muhammad Darwis tidak menuntut ilmu pada sekolah Gubernamen, ia mendapatkan
pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan dari ayahnya sendiri.
Setelah
menginjak dewasa, Muhammad Darwis mulai membuka kebetan kitab mengaji
kepada K.H. Muhammad Saleh dalam bidang pelajaran ilmu Fiqih dan kepada K.H.
Muhsin dalam bidang ilmu Nahwu. Kedua guru tersebut, merupakan kakak ipar yang rumahnya berdampingan dalam
satu komplek. Sedangkan pelajaran yang lain berguru kepada ayahnya
sendiri, juga berguru kepada K.H. Muhammad Noor bin K.H. Fadlil, Hoofd Panghulu Hakim
Kota Yogyakarta dan K.H. Abdulhamid di Kampung Lempuyang Wangi
Yogyakarta.
Selain itu
Muhammad Darwis juga berguru kepada beberapa guru, diantaranya: belajar ilmu
fikih kepada kiyai Haji Muhammad Shaleh, belajar ilmu nahwu kepada K.H. Muhsin,
ilmu falak kepada Kiyai Raden Haji
Dahlan, ilmu hadis kepada Kyai Mahfudh dan Syaikh Khayyat, ilmu Qiraah
kepada Syaikh Amin dan Syaikh Bakri Satock. Guru-guru Muhammad Darwis
lain yang bisa disebut adalah: Kyai Haji Abdul Khamid, Kyai Haji Muhammad
Nur, Syaikh Hasan, dan lain-lain.
Ketika masa dewasa (tahun 1890) K.H Ahmad Dahlan menunaikan ibadah
haji ke Makkah. Di Makkah beliau tidak hanya menunaikan ibadah haji
saja, tetapi juga memperluas pengetahuannya dengan berguru selama setahun kepada para Alim Ulama’ Indonesia yang sudah bermukim disana seperti; K.H. Mahfudz
dari Termas, K.H. Nakhrawi (Muhtaram) dari Banyumas, K.H. Muhammmad
Nawawi dari Bantan, serta kepada para alim ulama’ Makkah yang
sudah dikenalnya di Jawa. Salah seorang gurunya adalah Syaikh Ahmad
Khatib. Dalam kesempatan itu seorang gurunya bernama Sayyid Bakri Syatha
memberikan nama baru kepada Muhammad Darwis, yaitu Ahmad Dahlan.
Selepas pulang
dari Makkah, K.H. Ahmad Dahlan mengajar dan berjuang ditanah kelahirannya.
Sekitar tahun 1898, Ahmad Dahlan berhasil menghimpun para alim ulama’ dari kota
Yogyakarta dan sekitarnya untuk membicarakan hal arah kiblat. Ada sekitar 20
orang yang hadir dalam musyawarah di surau Ahmad Dahlan,
pertemuan tersebut hanya merupakan forum tukar pikiran saja, tidak menetapkan
suatu apapun. Ternyata pikiran Ahmad Dahlan yang belum mencapai
kata sepakat dikalangan para ulama’, telah cukup berpengaruh dikalangan
generasi muda daerah Kauman. Babarapa hari setelah musyawarah
itu selesai, terjadilah hal yang cukup menggemparkan karena lantai
masjid Agung Kauman digaris dengan kapur yang menunjuk kearah barat
laut. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam
masjid. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan
bahwa kiblat dimasjid agung itu kurang benar, dan oleh karena itu
harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid agung dengan
cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid dan tanda shaf yang
ditulis dengan benar. Ahmad Dahlan kemudian mendirikan langgar pribadi yang dibangun tepat
menghadap kiblat. Akan tetapi langgar tersebut dirobohkan. Kemudian ia
mendirikan lagi langgar yang persis menghadap kebarat dan lantainya diberi
tanda shaf yang tepat menghadap kearah Makkah.
Sesudah
peristiwa ini, sekitar tahun 1903 beliau kembali ke Makkah bersama putranya
yang baru berumur 6 tahun (Muhammad Siradj) untuk menuntut ilmu dan
melaksanakan haji untuk kedua kalinya dan memeperdalam agama selama dua tahun.
Disana beliau berguru kepada beberapa guru spesialis, dalam ilmu fiqih
berguru kepada Kyai Machful Tremas, Kyai Muhtaram Banyumas, Syeikh Shaleh
Bafadhal, Syeikh Sa’id Jamani, Syeikh Sa’id Babusyel. Dalam ilmu hadish berguru
kepada Mufti Syafi’i. Kiyai Asy’ari Baweyan dalam ilmu Falak (Cakrawala) dan
Syaikh Ali Mishri Makkah dalam ilmu Qira’at.
Selain belajar
kepada guru spesialis, K.H. Ahmad Dahlan juga membaca kitab-kitab berjiwa tamaddun
dari luar negeri, diantaranya tafsir Qur’an Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh
Jamaluddin al-Afgani, Imam Ghazali, Rasyid Ridla, Thantawi Jauhari dan
lain-lain sebagainya. Yang tentu saja kitab-kitab itu tidak ditelaah mentah-mentah tetapi difahami
dengan sesempurna-sempurnanya. Akitab-kitab inilah yang kemudian hari menginspirasi
K.H. Ahmad Dahlan dalam memperjuangkan kemurnian Islam di
Indonesia.
Penting sekali dicatat bahwa dalam kepergian kedua kali di Makkah ini,
Ahmad Dahlan sempat berjumpa dengan Rasyid Ridha, tokoh pembaharuan
Islam di Mesir. Perjumpaannya dan dialog dengan Rasyid Ridha
ini memberikan pengaruh yang kuat terhadap pemikiran Ahmad Dahlan,
karena pandangan para pembaharu Islam itu menitikberatkan pada pemurnian
tauhid (keesaan Allah), tidak beriman secara taklid (secara membabi buta percaya kepada keterangan seseorang tanpa mengetahui landasan
yang primer); yang selama ini juga dipikirkan oleh Ahmad Dahlan. Selain
pertemuan yang sangat bermanfaat dengan para tokoh pembaharu, beliau
juga membaca dan menelaah berbagai kitab. Dan
kitab-kitab yang menjadi kegemaran dan mengilhami beliau adalah kitab karya
Syekh Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyyah, Rasyid Ridha dan Farid Wajdi.
Sekembalinya
dari Makkah Ahmad Dahlan diangkat sebagai khatib menggantikan ayahnya, dan mendapat
gelar “Mas”. Dengan demikian, dia sudah masuk kelompok kaum bangsawan
atau ningrat, meskipun pada strata yang rendah. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Ahmad Dahlan berdagang
kain. Oleh karena itu, dia sering bepergian dan mengadakan hubungan
dagang pedagang lain, termasuk dengan sejumlah pedagang arab. Selain
berdagang, pada hari-hari tertentu ia memberikan pengajian kepada beberapa
kelompok orang, terutama pada sekelompok murid pendidikan guru pribumi
di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan madrasah dengan
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam lingkungan
keraton Yogyakarta. Di sekolah ini pelajaran umum diberikan oleh beberapa
guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan Gubernemen. Sekolah ini
dapat dikatakan sebagai sekolah Islam swasta pertama yang memenuhi persyaratan
untuk mendapatkan subsidi pemerintah dan kemudian memenuhi subsidi
tersebut. Ahmad Dahlan adalah seorang yang lebih bersifat pragmatikus yang sering
menekankan semboyan kepada murid-muridnya, sedikit bicara, banyak bekerja.
Dia juga salah seorang murid ulama Syafi’iyah, Syeikh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi yang terkenal dimakkah. Ahmad Dahlan banyak membaca buku-buku dan
majalah-majalah agama dan umum, banyak bergaul dengan berbagai kalangan,
selama perjalanannya, terutama dengan orang-orang
Arab, sehingga ide-idennya bertambah dan berkembang terus menerus.
Untuk membangun
upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, Dahlan gigih membina angkatan
muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga
untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa
ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat
Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas
gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon
pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru
yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh
pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut. Dengan
mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera
memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai
pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon
guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang
gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh
karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan
Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat
(Kweekschool Putri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa
menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Di samping
aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia
juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab
pada keluarganya. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan
yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi
entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat. Sebagai seorang yang
aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang,
Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat,
sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam’iyatul
Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad
Saw.
Pada tahun
1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan
cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan
suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam.
Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan
Al-Qur’an dan Al-Hadis. Perkumpulan ini berdiri pada tanggal 18 Nopember 1912.
Sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik
tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Di bidang pendidikan,
Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang
menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran
mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Kiai
Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan
umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S.
met de Qur'an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada
sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah.
Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid,
langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah
pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran
pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa
semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau
juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang
berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan
tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran
ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan Kejawen.
Di bidang
organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus
untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian
dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam
hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara
untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang dikenal
dengan nama Pramuka - dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para
pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi,
dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam,
mirip Pramuka sekarang. Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai
tempat pendidikan para pemuda yang merupakan bunga harapan agama dan bangsa.
Sebagai tempat persemaian kader-kader terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa
Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak ketinggalan zaman,
namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman.
Karena semua
pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang ada
saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang
Kiai sering diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran
binatang. Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan
resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai
fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak
mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai
palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam
tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun
rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk
melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa
mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20
Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia
Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada
tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914.
Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh
bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul
kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya
dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti
Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri Cabang
Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah
Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka K.H. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan
menganjurkan agar Cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain,
misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan di Garut dengan
nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh
Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari Cabang Muhammadiyah. Di dalam kota
Yogyakarta sendiri, Ahmad Dahlan menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan
untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Perkumpulan-perkumpulan dan Jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya
Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub,
Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri,
Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Gagasan
pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan
tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang
dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari
masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain
berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah.
Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh
karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada
pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di
seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda
pada tanggal 2 September 1921.
Pada usia 54
tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di
Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman,
wilayah bernama Mergangsan di Yogyakarta. Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan
dalam mem-bangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan
pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan
Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.
Ulama
Nusantara: Generasi Penerus Perkembangan Islam di Nusantara (12)
K.H HASYIM ASY’ARI
KH. Hasyim Asy’ari
atau nama lengkapnya Muhammad Hasyim, lahir di desa Gedang Jombang pada 24
Zulkaidah 1287 H/14 Februari 1871, dan wafat di Jombang pada Juli 1947. Secara
genealogi, KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kyai, karena kakek buyutnya
adalah Kyai Sihah yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras,
sedangkan kakeknya Kyai Usman adalah kyai terkenal pendiri pondok pesantren
Gedang, sedangkan ayahnya Asy’ari adalah pengasuh pondok pesantren Keras di
Jombang.
Dari silsilah ini maka dapat dilihat bahwa KH. Hasyim Asy’ari lahir
dan dibesarkan di lingkungan pondok pesantren. Bahkan pada usia
13 tahun ia sudah menguasai kitab-kitab Islam klasik dan diangkat
menjadi badal (asisten pengajar) di pondok pesantren ayahnya. Pada
usia 15 tahun, Hasyim Asy’ari mulai mengembara ke berbagai
pesantren di pulau Jawa untuk memperdalam ilmu agama, seperti
di Pesantren Wonocolo Jombang, Pesantren Probolinggo, Pesantren
Langitan, Pesantern Tranggilis, dan berguru kepada Kyai Kholil
di Bangkalan, Madura. Tak lama di sini, Hasyim pindah
lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya’qub
inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.
Kiai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama.
Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai
Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka,
Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21
tahun, dinikahkan dengan Chadijah, salah satu puteri Kiai Ya’qub. Tidak lama
setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan
ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri
dan anaknya meninggal.
Pada 1893, KH. Hasyim Asy’ari berangkat ke Mekah untuk memperdalam
ilmu agama dan berguru kepada Syekh Mahfudh At- Tarmisi yang
berasal dari Tremas, Jawa Timur. Syekh Mahfudh At- Tarmisi
menjadi pengajar di Masjidil Haram dan merupakan ulama ahli
hadits di Mekah, beliau adalah murid Syekh Nawawi al-Bantany yang
menjadi murid Syekh Ahmad Khatib Sambasi (tokoh tasawuf yang
berhasil menggabungkan tarikat Qadariah dan tarikat Naqsyabandiah).
Untuk melengkapi pengetahuannya di bidang agama, KH. Hasyim
Asy’ari kemudian berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al- Minangkabau.
Namun dari sekian banyak gurunya itu, yang paling mempengaruhi
jalan pikiran KH. Hasyim Asy’ari adalah Syekh Mahfudh
At-Tarmisi. Dari gurunya inilah dia memperoleh ijazah tarikat
Qadariah dan Naqsabandiah. Setelah 7 tahun belajar di Mekah, KH. Hasyim Asy’ari pulang ke Jawa
dan mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang pada 26
Rabiul Awal 1317 H/1899 M. Di pondok pesantren inilah KH. Hasyim
Asy’ari mengajarkan kitab-kitab klasik kepada santrinya yang oleh
kalangan NU dikenal dengan “kitab kuning”. Dari pesantren ini pula
kemudian banyak bermunculan kyai dan ulama terkemuka yang mewarnai
pemikiran Islam di Indonesia.
Setelah mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng, KH. Hasyim Asy’ari
mewarnai lembaga pendidikannya dengan pandangan dan metodologi
tradisional. Ia banyak mengadopsi pendidikan Islam klasik
yang lebih mengedepankan aspek-aspek normatif, tradisi belajar-mengajar,
dan etika dalam belajar yang dipandangnya telah mengantarkan
umat Islam kepada zaman keeemasan. Dalam karyanya, Adab al-‘Alim wa-Al-Mutta’allim, KH. Hasyim
Asy’ari terlihat banyak dipengaruhi oleh tradisi pendidikan Islam klasik
dan penulis-penulis klasik seperti Imam al-Ghazali dan Al-Zarnuji.
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam paham keagamaan terlihat dari pembelaannya
terhadap cara beragama dengan sistem bermazhab. Inilah
pandangannya yang erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas
kaum Muslimin yang disebut sebagai “ahli sunnah wal jama’ah”.
Pemikirannya
tentang paham bermazhab ini tertuang dalam karyanya Qanun Asasy li-Jam’iyyati Nahdlatul Ulama yang kemudian
dijadikan pijakan dasar organisasi NU. Menurut KH.
Hasyim Asy’ari, paham bermazhab timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran
al-Qur’an dan al-Sunnah secara benar, sebab dalam sejarahnya, sebagai upaya
pemahaman terhadap dua sumber utama ajaran Islam itu, sering terjadi
perselisihan pendapat. Hal ini menyebabkan banyak lahir pemikir besar (mujtahid).
Namun karena pemikiran mereka tidak gampang dirumuskan secara sederhana,
KH. Hasyim Asy’ari menyimpulkan bahwa untuk pemahaman
keagamaan dan fiqih ditetapkan empat mazhab (Syafi’i, Maliki,
Hambali, dan Hanafi) yang menjadi cirri utama paham ahlusunnah
dan
NU.
KH. Hasyim
Asy’ari dalam karyanya yang berjudul al-Risalah al- Tauhidiyyah dan
al-Qaid fi Bayan Ma Yajib Min al-Qaid menjelaskan bahwa ada tiga tingkat
apresiasi manusia tentang Tuhan. Pertama, meliputi penilaian tentang keesaan Tuhan (adalah pemahaman tauhid untuk
orang awam). Kedua, pengetahuan dan teori kepastian adalah bersumber
dari Allah (pemahaman tauhid untuk para ulama). Ketiga, menggambarkan
dari perasaan yang paling dalam akan keagungan Tuhan (untuk
para sufi yang membawa kepada pengetahuan tentang Tuhan atau
Ma’rifat). Tarikat juga tidak luput dari perhatian
KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini sebagaimana tertuang dalam karyanya al-Durar
al-Muntasyirah fi Masail al-Tis’a ‘Asyarah yang berisi tentang
bimbingan praktis agar umat Islam lebih berhati-hati memasuki dunia tarikat. Dalam kitab tersebut,
KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan apa arti wali Allah yang selama
ini dijadikan sandaran kaum tarikat.
Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa,
dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan yang kemudian pada 1912 membentuk
organisasi Muhammadiyah yang banyak melakukan kritik terhadap
praktik-praktik keagamaan yang dilakukan kelompok muslim
tradisional, seperti menolak tarikat atau praktik seperti talqin yang
berkembang sebagai tradisi keagamaan muslim tradisional. Puncak dari pertentangan muslim “modern” dan muslim “tradisional” ini
terjadi ketika pemerintah Ibnu Saud dari kerajaan Saudi Arabia ingin mengadakan
kongres tentang kekhalifahan di Mekah dalam usahanya untuk mendirikan
kekhalifahan baru, bahkan terdapat keinginan membongkar makam Rasulullah SAW.
Hal ini mendapatkan respons yang positif dari tokoh-tokoh Islam di Indonesia,
sehingga diadakanlah kongres di Bandung yang dihadiri kelompok
Islam modernis dan tradisional. Hasil dari kongres ini menunjuk
Tjokroaminoto dari SI dan KH. Mas Mansyur dari Muhammadiyah
(keduanya kelompok modernis) untuk mengikuti kongres tentang
kekhalifahan di Mekah tersebut. Hal ini menimbulkan kekecewaan kelompok Islam tradisional karena tidak terwakili
mengikuti kongres tersebut. Karena itu KH. Wahab Hasbullah
(kelompok tradisional) mengusulkan agar utusan Indonesia
meminta kepada pemerintah Wahabi Saudi Arabia agar tetap
mempertahankan ajaran dan praktik keagamaan empat mazhab, walaupun
permintaan itu ditolak.
Untuk memperjuangkan aspirasi ulama-ulama tradisional agar dapat
bertemu dengan Raja Ibnu Su’ud, pada 31 Januari 1926 KH. Wahab
Hasbullah mengundang ulama tradional terkemuka seperti KH.
Hasyim Asy’ari, KH. Asnawi, dan beberapa tokoh lainnya untuk membicarakan
langkah-langkah atas utusan ulama tradisional untuk dapat
mengirimkan utusan sendiri mengikuti kongres kekhalifahan di
Arab Saudi, dalam pertemuan tersebut dihasilkan beberapa keputusan
penting sebagai berikut:
a.
Mereka secara resmi membentuk komite
Hijaz, yang akan mengirimkan utusan sendiri untuk menghadapi Raja Ibnu Su’ud.
b.
Membentuk organisasi yang berfungsi
sebagai wahana para ulama dalam membimbing ulama mencapai kejayaan, dan organisasi
tersebut diberi nama “Nahdlatul Ulama”.
Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 sebenarnya tak
bisa dilepaskan dengan perkembangan kelompok Islam yang secara relatif
berhaluan pembaruan ke arah “yang disebut” pemurnian (purifikasi) ajaran Islam.
Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada 1912 oleh KH Ahmad Dahan
yang kemudian gerakannya dianggap cenderung berbeda dengan kebiasaan
praktik-praktik keagamaan (Islam) masyarakat lokal merupakan bagian dari efek
picu (trigger effect) yang mempercepat lahirnya NU. Ditambah lagi pada saat itu
gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah di bawah pengaruh kuat ajaran Muhammad
bin Abdul Wahab (Wahabi) dianggap sudah kebablasan karena sudah sampai pada
keinginan membongkar makam Rasulullah SAW. Kalangan ulama Indonesia berhaluan
Sunni akhirnya membentuk komite (yang disebut Komite Hijaz) yang selanjutnya
diutus khusus untuk menemui Raja Fahd di Arab Saudi.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan
Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah, baik Belanda maupun Jepang
berusaha untuk merangkulnya. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng
bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat
Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang
dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak
luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim
seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan
dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh
Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam
pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu
menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari
jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan
beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri
10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda,
dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus
berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada
tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda
kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad
(perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih
melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah
mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa
Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der
Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah
mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya. Namun sempat juga Kyai Hasyim
mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai
Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya,
saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan
bersama Kyainya itu.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah
kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure,
kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon
menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang
represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan
kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah
satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh
beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim
menolak melakukan seikerei, yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan
badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada
Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).
Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan
Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai
Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan
manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah,
mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara
Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada
di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam
tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari
tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus
Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum
total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai
berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren
Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18
Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang
karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai
Hasyim juga berkat usaha dari KH Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah
dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil
Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu
yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya)
dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama
menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.
Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya,
meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang
bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari
kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan
gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai
Hari Pahlawan Nasional. Resolusi itu sendiri didasarkan atas fatwa Kyai Hasyim bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan Soekarno-Hatta adalah
sah secara fikih.
Pada tanggal 7 Nopember 1945, tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember
1945 di Surabaya umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro
Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah
konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is
‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan
mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus
jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah,
Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo
senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
Di samping seorang nasionalis, Kyai Hasyim juga bukan sosok yang
haus jabatan. Ia tidak pernah tergoda untuk berpolitik praktis. Ketika diberi
jabatan oleh Jepang sebagai Kepala Shumubu (Kantor Urusan Agama), misalnya,
jabatan itu ia serahkan kepada putranya, KH. A Wahid Hasyim. Jadi Kyai Hasyim
hanya menjadi kepala secara de jure. Demikian juga jabatan sebagai
Ketua Masyumi. Semua urusan politik praktis didelegasikan kepada putranya, sementara
Kyai Hasyim sendiri tetap istiqamah berdakwah dan menjadi guru di pesantren. Ia tidak pernah
meninggalkan-apalagi melalaikan-tugas utamanya sebagai kyai pesantren.
Kyai Hasyim tidak pernah melarang kyai dan santri-santrinya berpolitik.
Ia sendiri memberi contoh bagaimana berpolitik. Namun politik
Kyai Hasyim adalah politik makrostrategis. Ia benar-benar melibatkan
dirinya dalam urusan politik jika ada situasi darurat yang mengancam
kedaulatan bangsa dan kemerdekaan umat untuk menjalankan
ajaran agamanya. Demikian juga Kyai Hasyim. Ia hanya terjun ke dunia politik dalam
situasi dan alasan khusus. Selebihnya ia kembali ke pesantren mengabdikan
hidupnya untuk pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan umat. Pada tanggal
25 Juli 1947, K.H Hasyim Asy’ari wafat dan dimakamkan di Tebu Ireng,
Jombang, Jawa Timur.
Langganan:
Postingan (Atom)