PERANG SABIL di NUSANTARA 4
PERANG JAWA (1): PERMULAAN PERANG
Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk membicarakan sekitar 'Perang Jawa', sebaiknya kita berbicara serba sedikit tentang pelaku-pelaku utama dari perang Jawa tersebut, untuk mendapat gambaran mengenai corak perang yang menggoncangkan eksistensi kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia. Pangeran Diponegoro, menurut Babad Diponegoro yang ditulisnya sendiri di Penjara Manado, menceritakan bahwa ia sejak muda telah mengabdi pada agama, mengikuti jejak dan hidup moyangnya yang sangat taat pada agama. Moyangnya itu tinggal di Tegalrejo. Untuk menghindari diri dari pengaruh kraton Yogyakarta, ia tinggal bersama neneknya di Tegalrejo. Di tempat ini, selain memperdalam pengetahuannya tentang Islam, ia juga secara tekun untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan syari'at Islam. Hal ini menyebabkan ia kurang senang mengikuti kakeknya Sultan Yogyakarta dan karenanya jarang sekali datang di kraton, kecuali pada waktu perayaan Grebeg, seperti perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW, Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha dimana kehadirannya diharuskan.
Pada waktu ia berumur 20 tahun
telah berhasrat hidup sebagai fakir (sufi), sehingga seringkali
keliling mengunjungi masjid, di mana ia dapat bergaul dengan para santri. Di bagian
lain dari bukunya itu, Diponegoro bercerita, ketika ia sedang berada di gua Secang,
ia dikunjungi oleh seorang berpakaian haji yang mengaku dirinya utusan Ratu Adil,
yang meminta pada Diponegoro untuk menemuinya di puncak gunung yang bernama
gunung Rasamani, seorang diri. Diponegoro segera mengikuti utusan itu hingga sampai di
puncak gunung. Di sana ia berjumpa dengan Ratu Adil yang memakai serban (ikat
kepala model Arab) hijau dan jubah (pakaian khas Arab yang panjang dengan lengan
tangan lebar pula) dari sutera; dengan celana dari sutera juga. Ratu Adil mengatakan
kepada Abdul Hamid (Diponegoro) bahwa sebabnya ia memanggil Diponegoro
adalah karena ia mewajibkannya untuk memimpin prajuritnya untuk
menaklukkan Pulau Jawa. Kalau ada orang yang menanyakan padanya, kata Ratu Adil,
"siapa yang memberi kuasa padanya?" Diponegoro harus menjawab, bahwa:
"yang memberi kuasa padanya adalah Al-Qur'an".
Di
bagian lain Diponegoro menceritakan, bahwa pada suatu waktu, ketika ia duduk di
bawah pohon beringin, ia mendengar suara yang mengatakan bahwa ia akan diangkat
menjadi Sultan Erucakra, Sayidina Panatagama, Khalifah daripada Rasulullah. Oleh
karena itu Diponegoro dalam memimpin "Perang Jawa" ini senantiasa
diwarnai oleh ajaran Islam dan bahkan berusaha agar syari'at Islam itu tegak di
dalam daerah kekuasaannya.
Hal ini
dapat dilihat dari surat Diponegoro yang ditujukan kepada penduduk Kedu, yang ditulis
dalam bahasa Jawa, antara lain berbunyi "Surat ini datangnya dari saya
Kanjeng Gusti Pangeran Diponegoro bersama dengan Pangeran Mangkubumi di
Yogyakarta Adiningrat kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan bahwa
sekarang kami sudah minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui oleh
semua orang baik laki-laki maupun perempun, besar atau kecil tidak usah kami sebutkan
satu demi satu. Adapun orang yang kami suruh bernama Kasan Basari. Jikalau sudah
menurut surat undangan kami ini, segeralah sediakan senjata, rebutlah negeri dan
'betulkan agama Rasul'. Jikalau ada yang berani tidak mau percaya akan bunyi surat saya
ini, maka dia akan kami penggal lehernya…" Kamis tanggal 5 bulan Kaji tahun Be (31
Juli 1825).
Kiai Mojo adalah seorang ulama
terkenal dari daerah Mojo Solo. Ia adalah seorang penasehat keagamaan
Diponegoro yang memberikan corak dan jiwa Islam kepada perjuangan
yang dipimpinnya. Disamping penasehat Diponegoro, ia juga memimpin pasukan
bersama-sama anaknya di daerah Solo. Sebelum 'perang Jawa' pecah, ia telah berkenalan erat
dengan Diponegoro, sehingga tatkala perang dicetuskan ia bersama anaknya Kiai
GazaIi dan para santrinya bergabung dengan pasukan Diponegoro. Alibasah
Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) adalah putera Raden Rangga Prawiradirja III yang
gugur di dalam pertempuran melawan pasukan Belanda. Ibu Prawiradirja (nenek
Alibasah) adalah puteri Sultan Hamengku Buwono I. Jadi apabila dilihat dari silsilah
keturunannya, ia adalah keturunan kraton Yogyakarta yang mempunyai hubungan
darah dengan Diponegoro. Dilihat dari namanya, ia adalah seorang muslim. Pada
saat 'perang Jawa' pecah, Alibasah masih muda sekali yaitu berumur 16 tahun. Sebagai remaja yang
penuh semangat perjuangan yang diwarisi dari ayahnya, pengaruh agama Islam juga
sangat besar dari tokoh utama perang Jawa, yaitu Diponegoro dan Kiai Mojo.
Dilihat dari para pelaku utama
dalam Perang Jawa ini dapat disimpulkan bahwa Islam memegang
peranan penting dalam memberikan motivasi dan inspirasi untuk menentang kezaliman
dan tirani yang bertitik kulminasi dengan meletusnya perang tersebut. Kesimpulan
ini sejalan dengan tulisan W.F. Wertheim yang antara lain menyatakan bahwa
faktor baru muncul pada abad ke-19, di mana daerah-daerah di Indonesia rakyat tani
banyak yang masuk Islam. Hal ini memperkuat posisi para kiai, karena sekarang mereka
dapat mengandalkan untuk mendapatkan dukungan kuat dari rakyat.
Para penguasa kolonial Belanda
terus menerus konfrontasi dengan sultan-sultan Indonesia mendorong mereka
untuk mempersatukan diri dengan para kiai serta mengibarkan bendera Istam,
sultan-sultan itu dapat mengobarkan pemberontakan umum. Ini dapat disaksikan
dalam perang Jawa, perang Bonjol, perang Aceh. Lebih daripada
itu keadaan perang ternyata menambah prestise dan kekuatan para 'ekstremis' di
antara kiai itu untuk menggunakan senjata "Perang Sabil".
Sebagaimana telah diuraikan di muka
bahwa Sultan Hamengku Buwono II dinobatkan pada tanggal 2 April 1792. Dalam masa kesultanannya,
Gubernur Jenderal H.W. Daendels telah mengeluarkan peraturan yang
mensederajatkan pejabat-pejabat Belanda seperti Residen Surakarta dan Yogyakarta dengan sultan
dalam upacara-upacara resmi. Selanjutnya Daendels menuntut Patih Danureja II (kaki
tangan Belanda) yang dipecat oleh sultan supaya dikembalikan kepada posisi semula.
Tetapi sebaliknya Raden Rangga Prawiradirja III, yang menjadi bupati-wedana
Mancanegara Yogyakarta, yang senantiasa menentang campur tangan Belanda, untuk
diserahkan kepada Belanda guna mendapat hukuman.
Tuntutan Daendels ini ditolak oleh
Sultan Hamengku Buwono II, sehingga ia mengirimkan pasukan Belanda untuk menundukkan sultan.
Pertempuran terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan sultan; tetapi kekalahan
berakhir bagi pasukan sultan, di mana Raden Rangga Prawiradirja gugur dalam
pertempuran, dan Sultan Hamengku Buwono II pada bulan Januari 1811 diturunkan dari tahta
dan digantikan oleh puteranya Adipati Anom menjadi Sultan Hamengku Buwono III atau
Sultan Raja. Sultan Hamengku Buwono III ini adalah ayah dari
Diponegoro. Pertentangan antara Sultan Hamengku Buwono II (paman Diponegoro) dengan
Sultan Hamangku Buwono III (ayahnya sendiri), turut melibatkan Diponegoro yang
pada saat itu telah cukup dewasa yaitu berumur 26 tahun (lahir tahun 1785). Dan
ia secara politik berpihak kepada Sultan Hamengku Buwono II atau disebut Sultan
Sepuh. Kemarahan Sultan Sepuh dan Diponegoro, bukan hanya Daendels secara
sewenang-wenang menurunkannya dari tahta kesultanan Yogyakarta, tetapi juga
daerah-daerah seperti Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto yang selama ini berada
dibawah kekuasaan kesultanan Yogyakarta dirampas oleh Belanda.
Peran Daendels sebagai Gubernur
Jenderal Hindia Belanda yang kejam dan rakus berakhir pada tanggal 16 Mei
1811, dan digantikan oleh J.W. Jansens. Jabatan Jansens sebagai
Gubernur Jenderal hanya beberapa bulan saja, sebab setelah itu pasukan Inggris menyerbu
Belanda, di mana akhirnya Belanda menyerah kalah di Kali Tuntang, Salatiga,
Jawa Tengah. Peralihan kekuasaan antara Belanda kepada Inggris, dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II) untuk merebut
kembali kesultanan Yogyakarta. Usaha ini berhasil dan bahkan Sultan Sepuh memerintahkan
agar Patih Danureja II dihukum mati, karena persekongkolannya dengan
Belanda.
Kehadiran
Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal penguasa colonial Inggris di
Indonesia, mengokohkan kekuasaan Sultan Sepuh dengan jalan tetapi mengakui
Sultan Sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II yang berkuasa di daerah Yogyakarta
dan menetapkan Sultan Hamengku Buwono III menjadi Adipati Anom. Tetapi tatkala
Raffles meminta daerah-daerah Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto sebagai warisan
dari Daendels, Sultan Sepuh menolaknya; tetapi Adipati Anom (Sultan Hamengku
Buwono III) menerimanya bahkan membantu Inggris. Pertentangan
ini menjadi alasan bagi Raffles untuk mengirimkan pasukan
guna menundukkan Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II), dan berhasil. Sultan
sepuh ditangkap dan dibuang ke Penang, Adipati Anom diangkat oleh Inggris
menjadi Sultan Hamengku Buwono III pada tanggal 28 Juni 1812.
Untuk memberikan imbalan jasa
kepada para pembantu Adipati Anom dalam mengalahkan Sultan Sepuh, maka Pangeran Natakusuma
diberikan sebagian daerah kesultanan Yogyakarta menjadi seorang yang merdeka
dengan Gelar Paku Alam I; dan Tan Jin Sing, seorang kapten Cina, diberikan pula tanah
dan pangkat dengan gelar Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813). Hal ini tentu saja suatu
pukulan hebat bagi kesultanan Yogyakarta dan bagi para bangsawannya,
karena kehilangan sumber penghidupannya; tanah-tanah lungguh makin susut
dan banyak yang hilang.
Seperti halnya Daendels, maka
Raffles-pun menjual tanah-tanah pemerintah kepada orang-orang swasta, seperti
orang-orang asing Eropa dan Cina, untuk memperoleh penghasilan
bagi penguasa kolonial Inggris. Disamping itu Raffles banyak membawa perubahan
dan pembaharuan di dalam mengatur masalah-masalah agraria, antara lain mengadakan
pajak tanah. Para petani diharuskan menyerahkan sepertiga dari hasil buminya
kepada penguasa, baik dalam bentuk natura maupun uang.
Selanjutnya pada tanggal 3 Nopember
1814 Sultan Hamengku Buwono III wafat dalam usia 43 tahun; ia digantikan
oleh puteranya Pangeran Adipati Anom yang bernama Jarot sebagai
Sultan Hamengku Buwono IV. Sultan ini adalah adik Diponegoro dari lain ibu. Karena
usia sultan masih sangat muda, maka dibentuklah sebuah 'Dewan Perwalian' dengan
Pangeran Natakusuma (Paku Alam I) sebagai wakil sultan. Dalam priode ini, pada
tanggal 19 Agustus 1816 John Fendall sebagai wakil pemerintah kolonial Inggris di
Indonesia menyerahkan kekuasaan kepada Van der Capellen, Gubernur Jenderal Belanda
sebagai wakil pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sultan
Hamengku Buwono IV tidak lama berkuasa, sebab pada tanggal 6 Desember 1822
wafat; ia digantikan oleh puteranya yang masih kanak-kanak (lahir tanggal 25 Januari
1820), bernama Menol untuk menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Karena Sultan
Bamengku Buwono V masih kecil, maka dibentuk 'Dewan Perwalian' yang terdiri
atas: Kanjeng Ratu Ageng (nenek perempuan Sultan), Kanjeng Ratu Kencana (ibu
Sultan), Pangeran Mangkubumi (anak Sultan Hamengku Buwono II atau paman Diponegoro)
dan Diponegoro sendiri. Dewan perwalian, yang hampir
sepenuhnya ditentukan oleh penguasa kolonial Belanda, yang
menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama dan adat, maka Diponegoro menolak menjadi
wali model penguasa kolonial Belanda. Penolakan ini dijadikan dasar untuk memfitnah
Diponegoro oleh penguasa kolonial Belanda dan para kolaborator dari kalangan
istana bahwa Diponegoro berambisi untuk menjadi sultan.
Peran
penguasa kolonial Belanda dan Inggris yang seenaknya mengotak-atik pemegang tampuk
pimpinan kesultanan Yogyakarta, mengurangkan daerah kekuasaannya dengan jalan
merampas dari wilayah kekuasaan sultan serta membebani rakyat dengan berbagai tanam
paksa dan pajak-pajak yang tinggi, adalah masalah yang susun susul-menyusul, yang
menumbuhkan kebencian dan kemarahan Diponegoro dan rakyat yang mempunyai harga
diri dan cinta terhadap kejujuran dan keadilan serta benci kepada setiap
kezaliman dan tirani, baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsa
sendiri. Perasaan kesal dan marah tambah membengkak dengan tampilnya golongan
Cina sebagai pemegang kunci yang menentukan di dalam kehidupan ekonomi dan
sosial, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun di daerah kesultanan,
bahkan sampai ke kraton.
Dominasi
Cina di dalam bidang ekonomi dan sosial, yang mulai sejak Sultan Agung Mataram
(1613-1646) sampai dengan Sultan Hamengku Buwono III (1812-1814), dimana
sebagian orang kapten Cina secara resmi diberikan sebagian daerah kekuasaan sultan
dengan pangkat Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813), adalah bentuk-bentuk
kekuasaan Cina yang begitu mencolok di dalam kehidupan kesultanan Mataram dan dinasti penerusnya. Penguasaan kota-kota pelabuhan
dengan syahbandar-syahbandar yang berhak memungut bea-cukai dikuasai Cina, penyewaan
tanah yang jatuh ke tangan Cina, para tengkulak yang dimonopoli
oleh Cina, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun sultan, menambah
kemiskinan rakyat hingga menjadi melarat dan sengsara. Padahal
sejak kehadiran Penguasa kolonial Belanda di Indonesia sampai saat keruntuhan
Mataram, Cina senantiasa membantu dan bekerjasama dengan penguasa kolonial
Belanda menghancurkan kesultanan Mataram.
Letusan perang Jawa ini hanya tinggal
menunggu waktu yang tepat saja lagi. Api penyulut cukup sebatang korek api, tetapi
lalang kering kerontang yang kena sulutan korek api itu akan meledak menjadi kebakaran
yang sulit untuk dipadamkan. Moment yang tepat itu ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan
tahun 1825, tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator
Belanda yang setia, telah memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta
untuk membuat jalan, di mana antara lain menembus tanah milik Diponegoro dan
neneknya di Tegalrejo. Penggunaan tanah
milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemiliknya.
Oleh
karena itu Diponegoro memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencabut tonggak-tonggak
yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras dan
menuntut supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H.
Smisaert, selaku Residen Belanda di Yogyakarta menolak dan menekan sultan untuk tetap
mempertahankan Patih
Danureja IV. Suasana tegang ini dikeruhkan oleh informasi yang
menyatakan bahwa penguasa kolonial Belanda akan menangkap Diponegoro. Mendengar
berita ini, rakyat yang telah dendam dan marah terhadap penguasa kolonial Belanda
berkumpul menyatakan setia untuk membela dan mempertahankan Diponegoro, jika
rencana penangkapan itu terjadi.
Ketegangan ini menimbulkan
kegelisahan Langkah pertama yang ditempuh oleh Diponegoro adalah
mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang
menentang penguasa colonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas
rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi: "Saudara-saudara di tanah dataran!
Apabila saudara-saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama
saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya datanglah segera dan bersiap-siap untuk
bertempur."
Seruan
ini disebarluaskan di seluruh tanah Mataram, khusuanya di Jawa Tengah dan
mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah Selarong
penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat. Seruan ini disambut baik oleh Kiai
Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang bersama barisan
santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan 'perang
sabil' terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan
santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah pimpinan
Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. Perang sabil menentang penguasa kolonial
Belanda-Kristen meledak membakar hamper seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan
Jawa Barat. Tampilnya Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) dan
sebagian para bangsawan di kalangan penguasa kolonial Belanda dan kraton
Yogyakarta. Akhimya diutuslah Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegalrejo
untuk memanggil Diponegoro ke kraton. Semula Diponegoro bersedia datang
ke kraton, apabila ada jaminan dari Pangeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan
ditangkap. Tetapi karena Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia
sendiri tidak akan kembali lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri
dengan pasukan rakyat yang telah melakukan bai'ah (janji setia perjuangan).
Melihat kegagalan Pangeran
Mangkubumi ini untuk memanggil Diponegoro, Residen A.H.
Smisaert mengutus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer.
Sebelum utusan Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang
sedang berunding menjadi terhenti, karena mendengar letusan senjata dan tembakan
meriam yang ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan Belanda terhadap
tempat kediaman Diponegoro, mengakibatkan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi
yang disertai kawalan pasukan rakyat mengungsi ke daerah Selarong, guna
selanjutnya melancarkan peperangan untuk mengusir penguasa kolonial Belanda dari
daerah kekuasaan kesultanan Yogyakarta khususnya dan Jawa umumnya.
Peristiwa ini
terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan "Perang
Jawa". Yogyakarta seperti antara lain
Pangeran Ngabehi Jayakusuma, putera Sultan Hamengku Buwono
II dan pangeran Mangkubumi melengkapi "Perang Jawa" yang
dahsyat. Strategi perang gerilya yang dipergunakan oleh
Diponegoro dengan taktik "serang dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian
menghilang-bersembunyi", merupakan strategi dan taktik yang dapat melumpuhkan pasukan
kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal perang Jawa.
(in sya Allah bersambung dengan Perang Jawa episode 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar