PERANG SABIL di NUSANTARA 3
PERANG BANTEN
Kemenangannya dengan Sultan
Hasanuddin pada tahun 1667, membawa tekad yang lebih besar bagi Belanda
untuk menundukkan Banten di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa.
Strategi ini ditempuh, pertama, karena Banten adalah kekuasaan pemerintah Islam
yang paling dekat dengan Batavia, dan senantiasa bisa mengancam keamanan dan ketenteraman
Belanda di pusat pemerintahannya di Batavia. Kedua, Belanda telah mengadakan
perjanjian damai dengan pemerintahan Mataram di bawah pimpinan Sultan Amangkurat
I, putera Sultan Agung.
Sebelum konfrontasi bersenjata
antara Belanda dengan Banten dibicarakan, sebaiknya diketahui
tentang kondisi pemerintahan Islam di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa.
Ia naik tahta kesultanan Banten pada tahun 1651, menggantikan ayahnya Sultan
Abul Fath. Sejak kepemimpinannya, Banten telah naik kembali harkat dan martabatnya,
sehingga kehidupan ekonomi berjalan sangat baik, pelabuhan Banten ramai
dikunjungi oleh kapal-kapal dagang dari Philipina, Jepang, Cina, India, Persia
dan Arab. Islamisasi berjalan dengan sangat mantap, berkat
kehadiran seorang ulama besar dari Makasar yang bernama Syeikh Yusuf. Perannya yang
besar, dalam peningkatan Islamisasi di Banten; menyebabkan ia diambil menjadi
menantu oleh Sultan. Setelah sepuluh tahun memerintah dengan sukses, Sultan
mencoba menyiapkan penggantinya yaitu puteranya Pangeran Ratu untuk
memegang kekuasaan di dalam negeri.
Untuk
meningkatkan komunikasi dengan dunia Islam, Sultan pada tahun 1674 telah mengutus
puteranya Pangeran Ratu atau dengan sebutan Sultan Abu Nashr Abdul Qahhar untuk
melawat ke dunia Islam dan sekaligus naik Haji ke Mekah. Perjalanan ini memakan
waktu kurang lebih dua tahun. Sekembalinya dari perlawatannya, ia diberikan
kembali jabatan sebagai Sultan Muda, yang memerintah dalam negeri
Banten, dengan sebutan Sultan Haji. Pergaulannya dengan para pejabat dan
pengusaha Belanda yang mempunyai loji di Banten mempengaruhi pandangan
hidupnya. Apalagi setelah diketahui bahwa adiknya pangeran Purbaya,
yang mempunyai watak dan akhlaq menyerupai ayahnya dan lebih disenangi oleh
para bangsawan Banten, menumbuhkan rasa kecurigaan, jika pengganti ayahnya itu akan
beralih kepada adiknya. Perasaan kecurigaan dan ambisinya yang cepat menjadi
sultan penuh, mendapat tanggapan positif oleh Belanda, yang sehari-harinya banyak
bergaul dengan Sultan Haji. Persekutuan atau lebih tepat persekongkolan antara Sultan
Haji dengan Belanda untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Purbaya
berjalan dengan rapi. Peristiwa perompakan atau pembajakan kapal milik Banten
yang pulang dari Jawa Timur oleh kapal-kapal Belanda, menimbulkam amarah
Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga ia menyatakan perang kepada Belanda.
Kebijaksanaan ini ditentang keras oleh anaknya Sultan Haji. Bahkan atas bantuan Belanda pada
tanggal 1 Maret 1680, Sultan Haji menurunkan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa dari
kesultanan dan mengangkat dirinya menjadi Sultan Banten.
Tindakan pemecatan Sultan Ageng
Tirtayasa menimbulkan reaksi besar dari para bangsawan Banten di bawah
pimpinan Pangeran Purbaya dan para ulama dan rakyat di bawah
pimpinan Syeikh Yusuf. Secara spontan rakyat Banten tidak mengakui kepemimpinan
Sultan Haji di Banten. Dan sebaliknya mereka berkumpul dihadapan Sultan
Ageng Tirtayasa untuk menyatakan kesetiaannya dan bersedia berperang untuk menurunkan
Sultan Haji dan Belanda-Kristen yang menjadi biang keladinya. Pasukan
Sultan Ageng Tirtayasa telah berhasil menguasai seluruh Banten, kecuali istana Sultan
Haji yang dikelilingi oleh benteng pertahanan yang kuat. Dalam situasi seperti itu,
sesuai dengan persekongkolannya dengan Belanda, Sultan Haji meminta bantuan pasukan
Belanda, yang berpangkalan tidak jauh dari pantai Banten. Dengan seketika itu pula
armada pasukan Belanda-Kristen di bawah pimpinan Laksamana De Saint Martin pada
tanggal 8 Maret 1680 mendarat di Banten. Untuk memperkuat pasukannya, Belanda
mengirimkan lagi satu armadanya di bawah pimpinan Laksamana Tak.
Pada
tanggal 7 April 1680 pagi-pagi buta pasukan Sultan Ageng di bawah pimpinannya langsung,
didampingi oleh anaknya pangeran Purbaya dan menantunya Syeikh Yusuf melakukan
serangan umum yang mematikan, terhadap kehidupan Sultan Haji dan pasukan
Belanda. Dalam keadaan yang sangat kritis,
Laksamana Saint Martin dan Laksamana
Tak menyodorkan 'surat perjanjian' kepada Sultan Haji untuk
ditanda-tangani, jika bantuan pasukan Belanda diperlukan oleh Sultan. Untuk
mempertahankan hidupnya dan kekuasaannya, Sultan Haji menanda-tangani surat
perjanjian yang sangat merugikan itu untuk selama-lamanya.
Setelah perjanjian selesai
ditanda-tangani, mulailah pertempuran dahsyat antara pasukan Sultan
Ageng Tirtayasa dengan pasukan Belanda meledak. Meriam-meriam besar milik pasukan
Belanda-Kristen dimuntahkan sebanyak-banyaknya ke tengah-tengah pasukan Sultan
Ageng Tirtayasa, sehingga menimbulkan korban yang banyak sekali, gugur menjadi
syuhada. Kekuatan senjata yang sangat tidak seimbang, mengakibatkan pasukan
Sultan Ageng mengalami kekalahan besar dan akhirnya ia, bersama pasukannya
mengundurkan diri ke istananya di Tirtayasa dekat Pontang.
Tetapi tidak lama kemudian pasukan
Belanda mengejarnya dan mengepung kota tersebut. Atas perintah Sultan Ageng, istana di bumi
hanguskan, dan ia bersama Pangeran Purbaya dan Syeikh Yusuf serta pasukannya
mengundurkan diri ke pedalaman dan membuat markasnya di Lebak (Rangkasbitung). Dari
sini Sultan Ageng melancarkan pertempurannya dengan Belanda selama hampir
setahun. Tetapi kemudian dalam pertempuran itu kerugian senantiasa diderita oleh
pasukan sultan, bahkan Syeikh Yusuf sendiri tertangkap. Karena sudah tidak ada lagi kekuatan untuk
melanjutkan peperangan, akhirnya pada bulan Maret 1683, Sultan Ageng Tirtayasa
menyerah dan ia ditawan oleh Belanda di Batavia sampai wafatnya pada tahun
1695. Syeikh Yusuf yang ditangkap oleh Belanda dibuang mula-mula ke Sailan
(Ceylon), kemudian ke Afrika Selatan dan di sana ia wafat, sedangkan Pangeran
Purbaya meneruskan perjuangannya dengan bergerilya di daerah Periangan, tetapi
akhirnya juga menyerah.
Selanjutnya, isi perjanjian antara
Belanda dengan Sultan Haji, yang ditanda-tangani pada saat-saat genting itu
berisi antara lain:
(a)
Semua
hamba-sahaya (budak) milik Belanda yang lari melindungi diri ke Banten, wajib
dikembalikan kepada Belanda;
(b)
Orang-orang
Belanda yang membelot ke Banten dan bekerja untuk kepentingan Banten,
seperti Cordeel, wajib diserahkan kepada Belanda;
(c)
Banten
tidak boleh turut campur tangan dalam masalah-masalah politik di Cirebon dan
daerah-daerah lain yang berada di bawah wewenang Mataram;
(d)
Segala
kerugian yang diakibatkan oleh bajak laut dan sabotase oleh Banten terhadap milik
Belanda, wajib ganti rugi dibayar oleh Banten;
(e) Orang-orang asing tidak dibenarkan
untuk melakukan kegiatan ekonomi di Banten, kecuali orang-orang Belanda.
Sultan
Haji yang mengangkat dirinya menjadi sultan Banten sejak tanggal 1 Maret 1680 sampai
wafatnya tahun 1687, pada hakekatnya telah menjadi bawahan Belanda-Kristen dan
menyerahkan Banten ke bawah telapak jajahan Belanda dengan menumpahkan darah
ayahnya dan saudara-saudaranya sendiri serta rakyat Banten.
Setelah Sultan Haji wafat pada
tahun 1687, ia digantikan oleh puteranya dengan gelar Abu Fadl
Muhammad Yahya. Pada tahun 1690, baru tiga tahun ia bertahta, Sultan Yahya
wafat pula dan digantikan oleh adiknya Abu Mahasin Zainal Abidin. Gelar sultan
setelah kekuasaan Sultan Haji pada dasarnya hanya 'sultan boneka Belanda', sebab
yang berkuasa sebenarnya adalah Belanda.
Selanjutnya
berdasarkan keputusan pemerintah Belanda di Nederland, pada tahun 1798 Verenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC) yang didirikan sejak tahun 1606 dinyatakan bubar;
segala hak-milik dan hutang-hutangnya seluruhnya diambil alih oleh Pemerintah
Belanda. Keputusan itu berlaku terhitung
mulai tanggal 31 Desember 1799. Selanjutnya daerah kekuasaan VOC di Indonesia dikuasai
langsung oleh pemerintah Belanda dengan jalan membentuk pemerintahan jajahan
dengan nama 'Nederlandsch Indie' (Hindia Belanda). Dengan keputusan ini, secara
resmi Indonesia merupakan daerah jajahan Belanda.
Untuk mengelola Hindia Belanda ini,
maka pada tanggal 28 Januari 1807 Herman Willem Daendels telah diangkat menjadi Gubernur Jenderal,
yang mulai berlaku pada hari keberangkatannya dari Nederland ke Indonesia yaitu
pada tanggal 18 Februari 1807. Ia baru tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari
1808 dan pada tanggal 15 Januari 1808 timbang-terima dari Gubernur Jenderal Wiese
sebagai pejabat tertinggi V OC terakhir dengan Gubernur Jenderal H.W. Daendels sebagai
penguasa tertinggi Hindia Belanda dilangsungkan di Batavia.
H.W
Daendels yang mempunyai tugas utama mengkonsolidir kekuatan militer Hindia Belanda
untuk menghadapi kemungkinan serangan Inggris, maka pekerjaan pertama adalah
membuat pelabuhan armada perang yang berpusat di ujung Kulon dan Merak, Banten-Jawa
Barat. Untuk melaksanakan proyek ini H.W
Daendels telah mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa yang terdiri dari rakyat
Banten. Kerja paksa (rodi) yang di luar batas kemanusiaan mengakibatkan tidak kurang 1500
orang telah meninggal dunia.
Melihat
nasib rakyat yang malang ini, Sultan Abdul Nasar dan Patih Wargadireja dari Banten
menolak untuk turut serta melanjutkan proyek tersebut dengan jalan tidak lagi mau
mengirimkan tenaga kerja ke sana. Penolakan sultan ini menimbulkan amarah Gubernur
Jenderal, sehingga ia mengirimkan pasukan militer untuk menangkap Patih Wargadireja;
yang dianggap sebagai pimpinan pembangkang, dan memerintahkan sultan untuk
memindahkan istananya ke Anyer serta harus mengirimkan setiap hari 1000 tenaga
kerja paksa ke proyek-proyek Daendels.
Pasukan Belanda yang dikirimkan
kepada sultan disergap oleh prajurit dan rakyat Banten, kemudian dibunuh
semuanya. Benteng Belanda yang ada di sekitar istana dan pegawai-pegawai
Belanda yang diperbantukan di istana sultan semuanya diserbu dan dibunuh.
Perlawanan terhadap tindakan sewenang-wenang penguasa kolonial Belanda yang
bersifat putus asa telah berkembang menjadi huru-hara yang menyulut seluruh Banten.
Dalam menghadapi gerakan perlawanan
Sultan Banten ini, H.W. Daendels telah mengirimkan pasukan militer yang besar sekali dari
Batavia. Ibukota kesultanan Banten diserang habis-habisan dengan jalan pembunuhan massal
dan perampokan harta milik rakyat Banten yang seluruhnya dilakukan oleh pasukan
Belanda. Patih Wargadireja yang mati tertembak dalam pertempuran itu, jenazahnya
dilemparkan ke laut oleh tentara Belanda. Sultan Abdul Nasar ditangkap dan
dibuang ke Ambon dan seluruh daerah kesultanan dirampas, serta langsung dalam
penguasaan Belanda dari Batavia. Untuk basa-basi putera mahkota diangkat menjadi Sultan
Banten dengan gelar Sultan Muhammad Aliuddin, yang berkuasa atas sebagian kecil
saja dari daerah kesultanan Banten.
Kekejaman
dan kebiadaban yang dilakukan oleh pasukan Belanda tidak menyebabkan matinya
ruhul jihad (semangat berjuang) untuk melawan setiap bentuk kezaliman dan ketidak-adilan
yang dilakukan oleh penjajah kafir Kristen. Di bawah
pimpinan Pangeran Ahmad kekuatan perlawanan rakyat disusun kembali dan
kali ini bukan hanya rakyat Banten tetapi juga dengan mengikut sertakan rakyat
Lampung. Potensi rakyat besar yang disertai dengan tekad mati syahid di medan
pertempuran perlawanan rakyat Banten-Lampung ini sulit untuk dapat ditumpas oleh
Belanda-Kristen. Berulang kali pasukan militer Belanda yang dikirimkan dari Batavia
untuk menghadapi perlawanan rakyat Banten-Lampung di bawah pimpinan Pangeran Ahmad
senantiasa kandas dan gagal.
Perlawanan
rakyat Banten-Lampung tambah seru, setelah H.W. Daendels membuka proyek jalan
raya dari Anyer sampai Panarukan yang Panjangnya kurang lebih 1000 km, dengan
tenaga kerja rodi. Para pekerja yang terdiri dari
antara lain rakyat Banten dalam proyek jalan raya Anyer-Panarukan itu, tak
ubahnya bagaikan budak belian yang pernah dijumpai dalam zaman Romawi kuno. Perlakuan
kejam dan sadis oleh pasukan Belanda-Kristen ini, yang memperpanjang proses
perlawanan rakyat Banten-Lampung. Walau akhirnya, perlawanan Pangeran Ahmad dengan
rakyatnya bisa ditumpas oleh Belanda.
Kekejaman
dan kebiadaban penguasa kolonial Belanda yang dilakukan di Indonesia, selain
pandangan hidup yang dimiliki dari ajaran Kristen, yang menganggap umat Islam adalah
keturunan palsu-penyembah syaitan dan manusia setengah monyet, juga karena dasar
untuk mengatur pemerintahannya hanya berorientasi kepada kekuasaan tanpa hukum.
Sebab hukum kolonial zaman VOC berkuasa yang ada hanya
di Batavia dengan nama 'Statuta Betawi', yang berlaku untuk daerah
'Bataviase Ommelanden', dengan batas-batasnya:
- sebelah barat yaitu sungai Cisadane;
- sebelah utara yaitu teluk Batavia;
- sebelah timur yaitu aungai Citarum;
- belah selatan yaitu samudera Hindia.
Kemudian bagi beberapa daerah para
penguasa VOC mencoba mengadakan kodifikasi dari hukum adat, untuk mengadili penduduk yang tunduk
pada hukum adat, misalnya:
(a)
Kodifikasi
hukum adat Cina yang berlaku bagi orang-orang Cina yang tinggal di sekitar
pusat kekuasaan VOC;
(b)
Kodifikasi
pepakem Cirebon, dimaksudkan berlaku bagi penduduk bumi putera (penduduk
asli) di Cirebon dan sekitarnya;
(c)
Kodifikasi
Kitab Hukum Mogharraer yang berlaku bagi penduduk bumi putera di Semarang
dan sekitarnya;
(d)
Kodifikasi
hukum adat Bone dan Goa, yang berlaku bagi penduduk bumi putera Bone dan
Goa.
Dari fakta-fakta tentang hukum
positif yang digambarkan di atas jelas bahwa penguasa VOC
sebagai penguasa kolonial dalam mengatur daerah jajahannya (Indonesia) dari sejak
tahun 1606 sampai dengan tahun 1798 semata-mata berdasarkan 'kekuasaan' dan bukan
berdasarkan hukum.
Begitu pula penguasa Hindia Belanda
yang mewarisi Indonesia sebagai daerah jajahan dari VOC tidak mendasarkan
pemerintahannya dengan hukum, tetapi semata-mata berdasarkan kepentingan
kekuasaan. Sebab baru pada tanggal 16 Mei 1846 penguasa Hindia
Belanda melalui Keputusan Raja Belanda di Nederland telah mengeluarkan pengumuman
Pengaturan Baru Tata Hukum di Indonesia, yang dimuat di dalam STB 1847,
No. 23.
Pada saat berlakunya 'Tata Hukum
Baru' itu maka terhapuslah ketentuan Hukum
Belanda Kuno dan Hukum Romawi; demikian juga segala
peraturan dengan nama 'verordeningen, reglementen, publication, ordonansien,
instruksien, plakkaten, statuten, costumen; dan pada umumnya segala
peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis, yang di Indonesia mempunyai kekuatan
hukum, sepanjang tidak tegas dipertahankan untuk seluruh Indonesia atau sebagiannya.
Pada pasal 1 dari keputusan Raja
Belanda itu, mengatur antara lain tentang:
(a)
Ketentuan
umum tentang perundang-undangan;
(b)
Peraturan
tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan pengadilan;
(c)
Kitab
Hukum Perdata;
(d)
Kitab
Hukum Dagang.
Sedangkan pengaturan tentang Hukum
Pidana termuat dalam pasal 8 dari keputusan raja tersebut di atas. Tetapi penyusunan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru dapat direalisasikan pada tahun
1886, di mana pada waktu itu negeri Belanda telah membuat Kitab Undang-undang
Hukum Pidana sendiri yang bernama 'Nederlandsch Wetboek van Strafrecht'.
Bagi Indonesia yang menjadi daerah
jajahan Belanda dengan Hindia Belanda sebagai
penguasanya, waktu itu dibuatkan pula Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana guna
masing-masing golongan sendiri-sendiri, yaitu:
(a)
Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan
dengan Koninklijk Besluit tertanggal 10 Februari 1886; berisi mengenai tindak
kejahatan saja;
(b)
Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk bumi putera
dan timur asing, ditetapkan dengan Ordonansi 6 Mei 1872, berisi hanya mengenai
tindak kejahatan saja;
(c)
Algemeene
Politie Strafreglement untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan dengan
Ordonansi tertanggal 15 Juni 1872, yang berisi hanya tentang tindak pelanggaran
saja;
(d)
Algemeene
Politie Strafreglement untuk golongan bumi putera dan timur asing, ditetapkan
dengan ordonansi tertanggal 15 Oktober 1915.
Uraian historis tentang hukum
positif yang digunakan oleh penguasa kolonial Hindia Belanda
di Indonesia; baru secara formal diatur pada tahun 1846, yang pelaksanaannya baru
bisa dilaksanakan pada tahun 1886. Dengan demikian penguasa Hindia Belanda yang
mengambil-alih kekuasaan VOC pada tahun 1799 dan secara efektif baru berjalan sejak Januari
1808, dengan Gubernur Jenderal Daendels sebagai penguasa tertingginya, maka
roda pemerintahan kolonial Belanda diatur semata-mata berdasarkan kekuasaan sampai
pada tahun 1886.
Oleh karena itu hukum dan peraturan
yang berlaku di Indonesia selama hampir 100 tahun Hindia Belanda
berkuasa, senantiasa tergantung pada selera dan keinginan penguasa
kolonial. Nilai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk seluruhnya tergantung
kepada pertimbangan akal dan hawa nafsu penguasa kolonial Belanda. Kriteria
mengenai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk sepenuhnya kembali kepada
benak dan perut penguasa kolonial Belanda. Dengan kata lain, hampir satu abad penguasa
Hindia Belanda berkuasa di Indonesia (dari 1799-1886) hukum yang berlaku adalah
hukum rimba.
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh
pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun
takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran
Surasowan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.
Kekejaman
dan kebiadaban yang pola contohnya telah diberikan oleh Gubernur Jenderal
Hindia Belanda H.W. Daendels adalah merupakan pola kekuasaan Hukum rimba yang
diwarisi turun-menurun oleh penguasa kolonial Belanda sampai mereka angkat kaki
dari Indonesia pada tahun 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik
Indonesia. Kekejaman dan kebiadaban yang tak terperikan itu, yang melahirkan
perlawanan umat Islam sepanjang masa, dalam periode kekuasaan kolonial Belanda.
(in sya Allah bersambung dengan Perang Jawa)
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut