Selasa, 18 Oktober 2016

PARA PENYEBAR ISLAM DI NUSANTARA (1)



WALI SANGA

A.    Generasi Wali Sanga Penyebar Islam di Jawa

1.
      Arti Wali Sanga
Ada beberapa pendapat mengenai arti Wali Sanga. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat. Pendapat lain yang mengatakan bahwa Wali Sanga adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Sebenarnya Wali Sanga adalah nama suatu da'wah atau Dewan Mubaligh. Apabila salah seorang dari dewan tersebut pergi atau meninggal dunia maka akan segera diganti oleh wali lainnya.
Dalam kitab Kanzul Ulum Ibnul Bathuthah yang penulisnya dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghrobi, yang tersimpan di Museum Istana Turki di Istambul disebutkan bahwa Wali Sanga dikirim oleh Sultan Muhammad I pada tahun 1404 M (808 H). Pada waktu Sultan Muhamad I memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat (India). Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang nikah dengan para penduduk pribumi yaitu di kota- kota pelabuhan yaitu Gresik, Tuban, dan Jepara. Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada para pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta kepada para ulama' yang mempunyai karomah dan keahlian untuk dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta mempunyai karomah.
Tidak ada seorangpun diantara ulama tersebut yang berasal dari pribumi asli Jawa. Sultan Muhammad I pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi memberangkatkan para ulama itu ke Pulau Jawa. Jalur perjalanan dari Turki ke Gresik ini melalui Gujarat di India. Setelah itu singgah di Pasai lalu ke Palembang, kemudian ke Jawa melalui Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, rembang, Tuban hingga sampai ke Gresik tahun 1404 M. Tim dakwah yang berjumlah sembilan ulama ini yang kemudian disebut sebagai Wali Sanga angkatan I. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Era Wali Sanga adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam.
2.      Generasi Wali Sanga
a. Wali Sanga Periode Pertama (1404-1421 M)
Pada waktu Sultan Muhammad I/Mehmed I Celeby memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.
Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta memiliki karomah. Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
1.   Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, berasal dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya terletak di Gresik.
2.   Maulana Ishaq berasal dari Samarkand dekat Bukhara-Uzbekistan. Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai Maulana Ishaq pindah ke Samudra Pasai dan wafat di sana.
3.   Syekh Jumadil Qubro, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di Troloyo, Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
4.   Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko, beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
5.   Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
6.   Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia Iran. Ahli pengobatan. Wafat 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
7.   Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
8.   Maulana Aliyyuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping Masjid Banten Lama.
9.   Syekh Subakir, berasal dari Persia, ahli ruqyah. Banyak daerah di Jawa yang sudah beliau ruqyah. Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur. Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.
b.      Wali Sanga Periode Kedua (1421-1436 M)
Pada periode kedua ini masuklah satu orang wali menggantikan satu wali yang wafat. Beliau adalah Raden Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden Rahmat atau Sunan Ampel berasal dari Champa, Muangthai Selatan (Thailand Selatan). Para wali kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil Kubro bertugas di Jawa Timur. Maulana Al-Maghrobi, Maulana Malik Israil dan Syekh Subakir  bertugas di Jawa Tengah. Maulana Ali Akbar, Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian tugas ini maka masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah sendiri-sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.
c.       Wali Sanga Periode Ketiga(1436-1463)
Pada tahun 1436 M masuklah dua wali menjadi anggota Wali Sanga yaitu:
1.      Sayyid Ja’far Shodiq berasal dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436 menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di Kudus sehingga dikenal dengan Sunan Kudus.
2.      Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, berasal dari Palestina. Datang di Jawa pada tahun 1436 M. Menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat tahun 1435 M. Sidang walisongo yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya.
d.      Wali Sanga Periode Keempat(1463-1466 M)
Pada tahun 1463, masuklah empat wali menggantikan wali yang wafat. Yakni
1.      Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir di Ampel Surabaya. Beliau adalah putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan kedudukan Maulana Hasanuddin yang wafat pada tahun 1462. Sidang Wali Sanga yang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya.
2.      Sunan Giri kelahiran Blambangan Jawa Timur. Putra dari Syekh Maulana Ishak dengan putrid Kerajaan Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Raden Paku ini menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke negeri Pasai. Karena Raden Paku tinggal di Giri maka beliau lebih terkenal dengan sebutan Sunan Giri. Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur.
3.      Raden Said, atau Sunan Kalijaga, kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau adalah putra Adipati Wilwatikta yang berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang kembali ke Persia.
e.       Wali Sanga Periode Kelima (1466-1478 M)
Pada tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya ialah:
1.      Raden Patah adalah murid Sunan Ampel, beliau adalah putra Raja Brawijaya Majapahit. Beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada tahun 1462 M. Kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465 dan dinobatkan sebagai Raja atau Sultan Demak pada tahun 1468.
2.      Fathullah Khan, putra Sunan Gunungjati, beliau dipilih sebagai anggota Wali Sanga menggantikan ayahnya yang telah berusia lanjut.
f.        Wali Sanga Periode Keenam (1478 M)
Dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar Said-putra Sunan Kalijaga menggantikan Raden Patah, dan Sunan Pandanaran menggantikan Fathullah Khan. Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu anggota Wali Sanga, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama maka Siti Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat, bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah menjadi murid Sunan Kalijaga, anggota Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14.
Dari nama para Wali Sanga tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Wali Sanga yang paling terkenal, yaitu:
1)      Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2)      Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3)      Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
4)      Sunan Drajat atau Raden Qasim
5)      Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq
6)      Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7)      Sunan Kalijaga atau Raden Said
8)      Sunan Muria atau Raden Umar Said
9)      Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Para Wali Sanga adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

1.      Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo .  Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As- Samarqandy.
Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.  
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

2.      Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang, Siti Syari’ah, Sunan Derajat, Sunan Sedayu, Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera Dewi Murtasiyah, Asyiqah, Raden Husamuddin (Sunan Lamongan, Raden Zainal Abidin (Sunan Demak), Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel).
Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M. Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”  Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
3.      Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim dan lahir diperkirakan 1465 M.  Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Suna Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya.  Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525 di Pulau Bawean. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
4.      
Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M. Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog, pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan. Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya, langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta, beri makan pada yang lapar, beri pakaian pada yang telanjang‟. Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
5.      Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.  Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
6.      
Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma). Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai. Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata. Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.  Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18. Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran IslamSalah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.
7.      Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilwatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.
Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.  Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam („kungkum) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan. Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya.
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
8.      Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus. Ia putra Dewi Saroh-adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti
9.      Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa putra Sri Baduga Maharaja. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda bin Ali Nurul Alam bin Syekh Husain Jamaluddin Akbar, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya Wali Sanga yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.  Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

B.     Metode Dakwah Wali Sanga
Pertama, Tasamuh (toleran). Tanah Jawa, sebagai medan dakwah Wali Sanga waktu itu, bukanlah sebuah kawasan bebas nilai dan keyakinan. Sebaliknya, ketika pendakwah-pendakwah mulai masuk, Tanah Jawa adalah pusat dari lingkaran budaya Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara, di mana nilai-nilai keyakinan dan budaya telah mengakar dengan kuat di hati masyarakat. Belum lagi tantangan berupa nilai-nilai lokal masyarakat Jawa, yang kemudian berakulturasi dengan budaya Hindu Budha dan membentuk sebuah kearifan batiniah yang unik. Maka, dibutuhkan sebuah kearifan tersendiri jika hendak mengadakan sebuah revolusi kebudayaan.
Wali Sanga, yang memang berasal dari kultur sunni dan sufi, memahami betul pendekatan bagaimana yang dibutuhkan untuk merangkul masyarakat Jawa. Perbedaan besar antara ajaran Islam dengan Hindu Budha tidak lantas menciptakan jarak antara generasi awal Wali Sanga yang berasal dari Arab dengan masyarakat lokal. Dengan tingkat toleransi yang tinggi, secara perlahan para wali meleburkan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Para wali menjadi tempat mengadu bagi masyarakat yang tengah dalam kesulitan besar akibat perang saudara di Kerjaan Majapahit yang tak kunjung usai. Tanpa memandang perbedaan agama dan keyakinan, para wali –dengan caranya sendiri- turun tangan membenahi dan melindungi masyarakat kecil. Empati dan keberpihakan ini yang kemudian menimbulkan simpati masyarakat terhadap para wali, dan belakangan pada ajaran yang dibawanya.
Kedua, Tawasuth (moderat atau non ekstrim). Ajaran Islam yang turun di tanah Arab, tentu mempunyai kultur yang sangat berbeda dengan kultur masyarakat Jawa. Namun perbedaan cara pandang tersebut tidak dengan serta merta dilawan dan diberangus secara ekstrim. Sebaliknya, para wali justru ngemong dan membiarkan masyarakat melakukan tradisi-tradisi yang sudah berabad-abad dilakoninya sambil perlahan-lahan mewarnai dengan nuansa keislaman. Maka, di tanah Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya dikenal ritual-ritual yang tidak terdapat di Timur Tengah. Tradisi peringatan nelung dina (peringatan hari ketiga kematian), pitung dina (hari ketujuh), dan seterusnya, misalnya, merupakan warisan dari budaya hindu Jawa. Oleh para wali tradisi ini tidak ditentang, namun diwarnai dengan nuansa keislaman. Pembacaan mantra dan puja-puji bagi roh leluhur digantikan dengan bacaan tahlil dan mendoakan orang yang meninggal serta umat Islam secara keseluruhan.  Dengan demikian, secara perlahan dan Non Violence (tanpa kekerasan) ritus-ritus yang sarat kemusyrikan berganti alunan zikir dan doa. Perubahan secara damai ini juga perlahan menumbuhkan Culture Of Peace di hati umat Islam Jawa.
Ketiga, Tawazun (keseimbangan atau harmoni). Diantara ciri khas kultur masyarakat Jawa dan Nusantara secara umum adalah kecenderungan kepada harmoni. Bagi orang Jawa, kultur harmoni atau keseimbangan sangat mendarah daging. Orang Jawa sangat tidak menyukai gejolak sekecil apapun, terlihat dari kecenderungan untuk selalu ngalah dan nrimo ing pandum. Maka, upaya perubahan terhadap masyarakat Jawa mau tidak mau harus mempertimbangan harmoni tersebut. Dengan pola pendekatan sufistik, yang lebih mengutamakan sisi esoteris dalam beragama ketimbang penegakan syariah, porses islamisasi pun berjalan dengan damai, tanpa gejolak yang berarti.
Keempat, Iqtida’ atau I’tidal (Keberpihakan pada keadilan). Meski bangga menjadi anggota masyarakat dari sebuah kerajaan besar, rakyat Majapahit yang menganut agama Hindu tetap saja mempunyai ganjalan besar, yaitu sistem diskriminasi kultural yang dinamakan kasta. Sistem kasta ini secara perlahan menciptakan kesenjangan sosial antar masyarakat. Terlebih ketika pecah saudara antar keluarga kerajaan yang berujung pada maraknya kerusuhan, kelaliman dan kemiskinan. Dalam situasi seperti itulah Wali Sanga masuk dan memperkenalkan ajaran Islam yang egaliter. Prinsip kesetaraan dan keadilan yang diusung oleh agama baru tersebut kontan saja meraih simpati masyarakat yang kemudian berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dalam Islam, masyarakat Jawa menemukan ketenangan yang dicari-cari selama ini, perlindungan spiritual dan kultural.
Strategi lain yang dipandang para sejarawan cukup efektif dalam proses Islamisasi Jawa adalah dakwah politik.  Islam telah berhasil dipeluk oleh kraton Jawa, sehingga seluruh rakyat mengikutinya. Melalui tokoh Raden Fatah (putra Prabu Brawijaya V), Sunan Ampel (kemenakan permaisuri Majapahit), Sunan Giri (cucu Raja Blambangan), Sunan Kalijaga (putra Adipati Wilwatikta) dan lainnya, Islam masuk ke lingkungan kerajaan. Ini berbeda dengan di Asia Selatan, di mana proses Islamisasi mengalami benturan hebat karena berhadapan dengan para bangsawan secara frontal.

*Diolah dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar