PARA PENYEBAR ISLAM DI NUSANTARA (1)
WALI SANGA
A. Generasi Wali Sanga Penyebar Islam di Jawa
1. Arti Wali Sanga
Ada beberapa pendapat mengenai arti Wali Sanga. Pertama
adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau
sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat
lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti
tempat. Pendapat lain yang mengatakan bahwa Wali Sanga adalah sebuah majelis
dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Sebenarnya Wali Sanga adalah nama suatu
da'wah atau Dewan Mubaligh. Apabila salah seorang dari dewan tersebut pergi
atau meninggal dunia maka akan segera diganti oleh wali lainnya.
Dalam kitab Kanzul Ulum Ibnul Bathuthah yang
penulisnya dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghrobi, yang tersimpan di Museum
Istana Turki di Istambul disebutkan bahwa Wali
Sanga dikirim oleh Sultan Muhammad I pada
tahun 1404 M (808 H). Pada waktu Sultan Muhamad I memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan agama
Islam kepada para pedagang dari Gujarat (India). Dari mereka Sultan mendapat
kabar berita bahwa di pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan
Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang
Gujarat yang nikah dengan para penduduk pribumi yaitu di kota- kota pelabuhan yaitu Gresik, Tuban, dan Jepara. Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada para pembesar Islam di
Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta kepada para ulama' yang mempunyai
karomah dan keahlian untuk dikirim ke pulau
Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta mempunyai karomah.
Tidak ada seorangpun diantara ulama tersebut
yang berasal dari pribumi asli Jawa. Sultan Muhammad I pada tahun 808 Hijrah atau 1404
Masehi memberangkatkan para ulama itu ke Pulau Jawa. Jalur perjalanan dari Turki ke Gresik ini
melalui Gujarat di India. Setelah itu singgah di Pasai lalu ke Palembang,
kemudian ke Jawa melalui Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, rembang, Tuban hingga
sampai ke Gresik tahun 1404 M. Tim dakwah yang berjumlah sembilan ulama ini
yang kemudian disebut sebagai Wali
Sanga angkatan I. Mereka tinggal di tiga wilayah
penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur,
Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Era Wali Sanga adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha
dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam.
2. Generasi Wali
Sanga
a. Wali Sanga Periode Pertama (1404-1421 M)
Pada waktu Sultan
Muhammad I/Mehmed I Celeby memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan
perkembangan agama Islam kepada
para pedagang dari Gujarat. Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di
Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu
yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas
pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.
Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta memiliki karomah. Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
1. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, berasal dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya terletak di Gresik.
Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta memiliki karomah. Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
1. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, berasal dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya terletak di Gresik.
2. Maulana Ishaq berasal dari Samarkand dekat Bukhara-Uzbekistan. Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai
Maulana Ishaq pindah ke Samudra Pasai dan wafat di sana.
3. Syekh Jumadil Qubro, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah
keliling. Makamnya di Troloyo, Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko, beliau
berdakwah keliling. Wafat tahun 1465
M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
5. Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung
Santri.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia Iran. Ahli
pengobatan. Wafat 1435 M. Makamnya
di Gunung Santri.
7. Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina Berdakwah keliling.
Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten
Lama.
8. Maulana Aliyyuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada
tahun 1462 M. Makamnya disamping Masjid Banten Lama.
9. Syekh Subakir, berasal dari Persia, ahli ruqyah. Banyak daerah di Jawa yang sudah beliau
ruqyah. Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di
sana. Salah seorang pengikut atau sahabat
Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur.
Disana ada peninggalan Syekh
Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.
b. Wali Sanga Periode Kedua (1421-1436 M)
Pada periode kedua ini masuklah satu orang wali menggantikan satu wali yang wafat. Beliau adalah Raden Ahmad
Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden
Rahmat atau Sunan Ampel berasal dari Champa, Muangthai Selatan (Thailand Selatan). Para wali kemudian membagi tugas.
Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil
Kubro bertugas di Jawa Timur. Maulana Al-Maghrobi, Maulana
Malik Israil dan Syekh Subakir bertugas
di Jawa Tengah. Maulana Ali
Akbar, Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian tugas ini maka
masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah sendiri-sendiri, mereka
bertugas sesuai keahlian masing-masing.
c. Wali Sanga Periode Ketiga(1436-1463)
Pada tahun 1436 M masuklah dua wali menjadi
anggota Wali Sanga yaitu:
1. Sayyid Ja’far Shodiq berasal dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436 menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di Kudus sehingga dikenal dengan Sunan Kudus.
1. Sayyid Ja’far Shodiq berasal dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436 menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di Kudus sehingga dikenal dengan Sunan Kudus.
2. Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati, berasal dari Palestina. Datang di Jawa pada tahun 1436 M.
Menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat tahun 1435 M. Sidang walisongo yang
kedua ini diadakan di Ampel Surabaya.
d. Wali Sanga Periode Keempat(1463-1466 M)
Pada tahun 1463, masuklah empat wali menggantikan
wali yang wafat. Yakni
1. Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan
Bonang, lahir di Ampel Surabaya. Beliau adalah putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan
kedudukan Maulana Hasanuddin yang wafat pada tahun 1462. Sidang Wali Sanga yang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya.
2. Sunan Giri kelahiran Blambangan
Jawa Timur. Putra dari Syekh Maulana Ishak dengan putrid Kerajaan Blambangan bernama Dewi
Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Raden Paku ini menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke
negeri Pasai. Karena Raden Paku tinggal di Giri maka beliau lebih terkenal dengan sebutan
Sunan Giri. Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur.
3. Raden Said, atau Sunan Kalijaga,
kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau adalah putra Adipati Wilwatikta yang berkedudukan di Tuban.
Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang kembali ke Persia.
e. Wali Sanga Periode Kelima
(1466-1478 M)
Pada tahun 1466 diangkat dua wali
menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana
Muhammad Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya ialah:
1. Raden Patah adalah murid Sunan
Ampel, beliau adalah putra Raja Brawijaya Majapahit. Beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada
tahun 1462 M. Kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465 dan dinobatkan sebagai Raja
atau Sultan Demak pada tahun 1468.
2. Fathullah Khan, putra Sunan Gunungjati, beliau
dipilih sebagai anggota Wali Sanga menggantikan ayahnya yang telah
berusia lanjut.
f. Wali Sanga Periode Keenam
(1478 M)
Dalam periode ini masuk Sunan Muria atau
Raden Umar Said-putra Sunan Kalijaga menggantikan Raden Patah, dan Sunan
Pandanaran menggantikan Fathullah Khan. Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah
Abang itu adalah salah satu anggota Wali Sanga, namun karena Siti Jenar di
kemudian hari mengajarkan ajaran yang menimbulkan keresahan umat dan
mengabaikan syariat agama maka Siti Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan
Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat, bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang)
yang telah menjadi murid Sunan Kalijaga, anggota Walisanga dikenal sebagai
penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14.
Dari nama para Wali Sanga tersebut, pada
umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Wali Sanga yang
paling terkenal, yaitu:
1)
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2)
Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3)
Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
4)
Sunan Drajat atau Raden Qasim
5)
Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq
6)
Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7)
Sunan Kalijaga atau Raden Said
8)
Sunan Muria atau Raden Umar Said
9)
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Para Wali Sanga adalah intelektual yang
menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka
terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa,
mulai dari kesehatan,
bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid
Akbar Thariqat Wali Songo . Ia
diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14.
Babad Tanah Jawi menyebutnya
Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As- Samarqandy.
Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang
mendakwahkan Islam di Jawa. Ia
mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat
kebanyakan, yaitu golongan
masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang
tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar
agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura
Wetan, Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, ia
adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama
Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Sunan Ampel
umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat
di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam
tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng
Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi
Karimah binti Ki Kembang Kuning.
Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti
Aryo Tejo, berputera: Sunan
Bonang, Siti Syari’ah, Sunan Derajat, Sunan
Sedayu, Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi
Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera Dewi Murtasiyah, Asyiqah, Raden Husamuddin (Sunan Lamongan, Raden Zainal Abidin (Sunan Demak), Pangeran Tumapel dan Raden Faqih
(Sunan Ampel).
Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus)
hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama
di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu
Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M. Di Ampel
Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun
mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya.
Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang
sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para
santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian
disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya
memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan
ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling,
moh madat, moh madon). Yakni
seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak
menggunakan narkotik, dan tidak berzina.” Sunan
Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah
barat Masjid Ampel, Surabaya.
3. Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
3. Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila,
putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Nama
kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim dan lahir diperkirakan 1465 M. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta.
Setelah cukup dewasa, ia
berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama
Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal
Daha. Ia kemudian menetap di
Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa
itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus
pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi
pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi
panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk
berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia
acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau
tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil"
yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada
899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah
pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah
Fansuri. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk
Jawa agar memeluk agama Islam. Ia
dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih
sering dinyanyikan orang.
Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan
namanya. Dalam pentas
pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah
menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas
Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan
Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525 di Pulau Bawean. Jenazahnya dimakamkan di
Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh
masyarakat Bawean dan Tuban.
4. Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila,
putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan
Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat
yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M. Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk
berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog, pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya
Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri
Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan. Dalam pengajaran
tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya, langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun
demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan
Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di
antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta, beri makan pada yang lapar, beri pakaian pada yang telanjang‟. Sunan Drajat juga dikenal sebagai
seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak
memelihara anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Sunan Drajat banyak
berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran
masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Tembang macapat Pangkur
disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok
peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
5. Sunan Kudus
5. Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau
Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom
Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar
dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan
Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa
dan priyayi Jawa.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia
berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga
Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat
toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu
sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas
masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat
Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu
terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan
pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud
kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu
waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya.
Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di
halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati.
Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al
Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat
tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga
menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri,
sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan
yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.
Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
6. Sunan Giri
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Ia memiliki nama kecil
Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini
Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama
yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga
ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku
kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana
Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua.
Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke
Samudra Pasai. Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan
Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka
dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan
Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia
dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti
sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon
karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan
padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi
salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin
pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata. Giri Kedaton
tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden
Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai
penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam
Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui
juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa. Giri Kedaton bertahan hingga 200
tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh
paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18. Para santri
pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai
pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara.
Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah
murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam
ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga
pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran,
lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula
Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran
IslamSalah satu keturunannya yang
terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah
Lombok dan Bima.
7. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah “wali” yang namanya paling banyak
disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah
Arya Wilwatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit,
Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki
sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau
Raden Abdurrahman.
Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang
disandangnya. Masyarakat
Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon.
Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan
Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk
berendam („kungkum‟) di sungai (kali) atau “jaga kali”.
Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa”
yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan. Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan
kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk.
Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya.
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan
menikah dengan Dewi Sarah binti
Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu
Kano Kediri binti Raja Kediri. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan
mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir
kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan
Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan
Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang
merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya,
Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan
sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai
sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa
masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati
secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan
jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran
Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni
ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah
pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada,
lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun
dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode
dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam
melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura,
Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga
dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia
adalah putra dari Sunan Kalijaga dari
isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan
Dewi Sujinah, putri Sunan
Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus. Ia putra Dewi Saroh-adik kandung Sunan Giri sekaligus
anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden
Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung
Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara
ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka
tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan
agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata,
sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan
melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai
penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal
sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya
masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak
yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar
Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan
Kinanti
9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri
dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa putra Sri Baduga Maharaja. Sedangkan
ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda bin Ali Nurul Alam bin Syekh
Husain Jamaluddin Akbar, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat
dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya
yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan
menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan
Banten.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun
dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul
berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia
mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya Wali Sanga yang memimpin pemerintahan. Sunan
Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk
menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut
kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan
membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga
melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan
sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal
Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya
untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran
Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di
Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati,
sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
B.
Metode Dakwah Wali Sanga
Pertama, Tasamuh (toleran). Tanah Jawa, sebagai
medan dakwah Wali Sanga waktu itu, bukanlah sebuah kawasan bebas nilai dan
keyakinan. Sebaliknya, ketika pendakwah-pendakwah mulai masuk, Tanah Jawa
adalah pusat dari lingkaran budaya Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara,
di mana nilai-nilai keyakinan dan budaya telah mengakar dengan kuat di hati
masyarakat. Belum lagi tantangan berupa nilai-nilai lokal masyarakat Jawa,
yang kemudian berakulturasi
dengan budaya Hindu Budha dan membentuk sebuah kearifan batiniah yang unik. Maka, dibutuhkan sebuah kearifan
tersendiri jika hendak mengadakan sebuah revolusi kebudayaan.
Wali Sanga, yang memang berasal dari kultur
sunni dan sufi, memahami betul pendekatan bagaimana
yang dibutuhkan untuk merangkul masyarakat Jawa. Perbedaan besar antara ajaran Islam dengan Hindu Budha tidak lantas
menciptakan jarak antara generasi awal Wali Sanga yang berasal dari
Arab dengan masyarakat lokal. Dengan tingkat toleransi yang tinggi, secara
perlahan para wali meleburkan
diri dalam kehidupan bermasyarakat. Para
wali menjadi tempat mengadu bagi masyarakat yang tengah dalam kesulitan besar akibat perang saudara di Kerjaan
Majapahit yang tak kunjung usai. Tanpa memandang perbedaan agama dan keyakinan, para wali –dengan
caranya sendiri- turun tangan membenahi dan melindungi
masyarakat kecil. Empati dan keberpihakan ini yang kemudian menimbulkan simpati masyarakat terhadap para wali, dan
belakangan pada ajaran yang dibawanya.
Kedua, Tawasuth (moderat atau non ekstrim). Ajaran
Islam yang turun di tanah Arab, tentu
mempunyai kultur yang sangat berbeda dengan kultur masyarakat Jawa. Namun
perbedaan cara pandang tersebut
tidak dengan serta merta dilawan dan diberangus secara ekstrim. Sebaliknya, para wali justru ngemong dan membiarkan masyarakat
melakukan tradisi-tradisi yang sudah
berabad-abad dilakoninya sambil perlahan-lahan mewarnai dengan nuansa
keislaman. Maka, di tanah Jawa
khususnya dan Indonesia pada umumnya dikenal
ritual-ritual yang tidak terdapat
di Timur Tengah. Tradisi peringatan nelung
dina (peringatan hari ketiga
kematian), pitung dina (hari ketujuh), dan seterusnya,
misalnya, merupakan warisan dari budaya hindu Jawa. Oleh para wali tradisi ini tidak
ditentang, namun diwarnai dengan nuansa keislaman. Pembacaan mantra dan puja-puji bagi roh leluhur
digantikan dengan bacaan tahlil dan mendoakan orang yang meninggal serta umat Islam secara
keseluruhan. Dengan demikian, secara perlahan
dan Non Violence (tanpa kekerasan) ritus-ritus yang sarat kemusyrikan berganti alunan
zikir dan doa. Perubahan secara damai ini juga perlahan menumbuhkan Culture Of Peace di hati umat Islam Jawa.
Ketiga, Tawazun (keseimbangan atau harmoni).
Diantara ciri khas kultur masyarakat Jawa
dan Nusantara secara umum adalah kecenderungan kepada harmoni.
Bagi orang Jawa, kultur harmoni
atau keseimbangan sangat mendarah daging. Orang Jawa sangat tidak menyukai gejolak sekecil apapun, terlihat dari
kecenderungan untuk selalu ngalah dan nrimo ing pandum. Maka, upaya perubahan terhadap
masyarakat Jawa mau tidak mau harus mempertimbangan
harmoni tersebut. Dengan pola pendekatan sufistik, yang lebih mengutamakan sisi esoteris dalam
beragama ketimbang penegakan syariah, porses islamisasi pun berjalan dengan damai, tanpa gejolak
yang berarti.
Keempat, Iqtida’ atau I’tidal (Keberpihakan pada keadilan). Meski bangga menjadi anggota masyarakat dari sebuah kerajaan besar, rakyat Majapahit yang menganut agama Hindu tetap saja mempunyai ganjalan besar, yaitu sistem diskriminasi kultural yang dinamakan kasta. Sistem kasta ini secara perlahan menciptakan kesenjangan sosial antar masyarakat. Terlebih ketika pecah saudara antar keluarga kerajaan yang berujung pada maraknya kerusuhan, kelaliman dan kemiskinan. Dalam situasi seperti itulah Wali Sanga masuk dan memperkenalkan ajaran Islam yang egaliter. Prinsip kesetaraan dan keadilan yang diusung oleh agama baru tersebut kontan saja meraih simpati masyarakat yang kemudian berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dalam Islam, masyarakat Jawa menemukan ketenangan yang dicari-cari selama ini, perlindungan spiritual dan kultural.
Keempat, Iqtida’ atau I’tidal (Keberpihakan pada keadilan). Meski bangga menjadi anggota masyarakat dari sebuah kerajaan besar, rakyat Majapahit yang menganut agama Hindu tetap saja mempunyai ganjalan besar, yaitu sistem diskriminasi kultural yang dinamakan kasta. Sistem kasta ini secara perlahan menciptakan kesenjangan sosial antar masyarakat. Terlebih ketika pecah saudara antar keluarga kerajaan yang berujung pada maraknya kerusuhan, kelaliman dan kemiskinan. Dalam situasi seperti itulah Wali Sanga masuk dan memperkenalkan ajaran Islam yang egaliter. Prinsip kesetaraan dan keadilan yang diusung oleh agama baru tersebut kontan saja meraih simpati masyarakat yang kemudian berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dalam Islam, masyarakat Jawa menemukan ketenangan yang dicari-cari selama ini, perlindungan spiritual dan kultural.
Strategi lain yang dipandang para sejarawan cukup efektif dalam proses
Islamisasi Jawa adalah dakwah
politik. Islam telah berhasil dipeluk oleh kraton Jawa, sehingga seluruh rakyat
mengikutinya. Melalui tokoh Raden Fatah (putra Prabu
Brawijaya V), Sunan Ampel (kemenakan permaisuri Majapahit), Sunan Giri (cucu
Raja Blambangan), Sunan Kalijaga (putra Adipati Wilwatikta) dan lainnya, Islam
masuk ke lingkungan kerajaan. Ini berbeda dengan di Asia Selatan, di mana proses Islamisasi mengalami
benturan hebat karena berhadapan dengan para bangsawan secara frontal.
*Diolah dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar